Ketika saya paling akhir diperbolehkan berfoya-foya di Tanah Air - hampir 23 taon yang lalu - pada suatu malam saya nongkrong ngobrol-ngobrol dengan temen-temen di salah satu warung di kota Sala. Tahu - tahu pembicaraan kami pindah ke topik 'kuburan cino'. Dari pembicaraan itu muncul ungkapan bahwa 'si cino' itu tidak berhak untuk beristirahat untuk selamanya di bumi Indonesia tanpa gangguan, sehingga 'layak digusur' . Timbullah beberapa pertanyaan di benakku : mengapa 'kuburan cino', perlu digusur, dan kapan bertumbuh fantasi keblinger ini.
Pertanyaan tadi baru mulai terjawab setelah saya sempat membuat riset di Pilipina pada akhir tahun 80-an. Karena di sana saya melihat banyak sekali manusia yang jelas keturunan campur 'intsik', pribumi dan Spanyol. Mungkin sekali prosentasi penduduk 'intsik' di Pilipina jauh lebih tinggi dari prosentase 'cino' di Tanah Air. Selain itu sebagian besar cukup berada, plus mereka nongol di segala bidang politik, sastra, kriminalitas, agama, profesi dan sebagainya. Tetapi - dan ini aneh mengingat bahwa para pribumi Pilipina masih masuk bangsa Melayu raya - selama 100 tahun belakangan ini, di mana timbul revolusi pertama di Asia, penjajahan Amerika, Perang Dunia ke-2, dllnya, tidak pernah ada huruhara anti-cino. Malahan kasus-kasus kekejaman dengan skala besar terhadap si cino dilakukan oleh penguasa Spanyol, bukan pribumi, dan pembantaian paling akhir terjadi pada taon 1762: pas duapuluh dua tahun setelah pembantaian 'cino' yang pertama di Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang Belanda di Batavia pada tahun 1740, 250 tahun yang lalu. Yang lebih menarik lagi, ialah bahwa istilah Spanyol untuk manusia 'pendatang' ini, sampai pertengahan adab ke-19, bukannya 'cino' tapi 'sangley'. Kita kenal kata ini dalam versi Indonesianya yaitu 'sengli', yang berarti dalam bahasa Hokkien 'si pedagang'.
Seolah-olah zaman dulu pejabat imigrasi Spanyol bertanya pada si pendatang dari Fujian, "kamu ini siapa", dan dijawab "yang bener aje, gue pedagang". Tapi saking gendhengnya dan mental sukuisnya si pejabat, 'pedagang' diartikannya bukan sebagai nama aktivitas tetapi sebagai nama sukubangsa. Tetapi 'nama' ngawur ini juga akan menimbulkan pembantaian.
Di Hindia Belanda kita bisa lihat kegendhengan angker yang sangat mirip. Risetnya Mason Hoadley ttg. Sejarah Cirebon antara abad ke-17 akhir dan abad ke-18 awal menjadi bukti yang nyata. Pada suatu waktu terjadi pembunuhan pejabat tinggi di kota udang yang unik ini. Dari dokumen-dokumen pribumi kita dapat info bahwa yang dituduh menjadi biang keladi pembunuhan itu ialah seorang pejabat tinggi lain yang selalu disebut dengan titelnya Ki Aria Martaningrat. Tetapi dari dokumen-dokumen Kumpeni orang ini selalu disebut sebagai 'seorang Cina yang jahat' (si Ki Aria ini kebetulan menjadi syahbandar di Cirebon dan rupanya menghalang-halangi strategi monopoli perdagangan dari Kumpeni). Maka jelas sekali bahwa pada masa itu orang-orang Cirebon tidak punya mental 'sukuis' apalagi 'rasialis'. Dunia mental mereka berdasarkan hierarki pangkat. Penglihatan semacam ini sangat terbukti dari memoirenya Pangeran Diponegoro yang dikarang dalam pembuangannya mungkin 100 tahun setelah kasus Ki Aria Martaningrat. Di seluruh memoire itu, beliau tidak pernah menganggap musuhnya sebagai 'bangsa' Belanda. Musuh-musuh selalu disebut dengan pangkatnya, si Edeleer ini, si Gubernur itu. Dengan demikian kita harus berusaha mengerti mengapa dan bagaimana manusia di Hindia Belanda sempat 'belajar' merobah gramatika alam pikiran mereka meniru alam pikiran Kumpeni.
Kita bisa mulai dengan pembantaian-pembantaian yang serem di kedua markas besar kolonialisme gaya lama di Asia Tenggara, yaitu di Manila ( 1762) dan di Batavia ( 1740). Mereka bisa terjadi karena dua macam faktor.
Tokh dalam jangka panjang cara menanggulangi masalah ini dipecahkan dengan cara yang sangat berlainan, dan dengan akibat jangka panjang yang lebih berlainan lagi. Di Pilipina, dari semula ada usaha keras dari misionaris Katolik untuk mengkatolikkan bukan hanya para pribumi tetapi kelompok-kelompok Sangley juga, biar sama-sama masuk 'kebudayaan Katolik' yang dianggapnya universal itu. Dengan sukses yang lumayan.
Tetapi usaha mereka tidak mungkin begitu berhasil kecuali dengan politik yang dilaksanakan oleh penjajah dalam bidang hukum. Undang - undang Spanyol memustahilkan seorang Sangley, kalow kawin dengan wanita pribumi (dan ketika itu tidak ada wanita dari Fujian masuk Pilipina), mempunyai anak yang juga berstatus Sangley. Anak-anak itu langsung diberi status hukum sebagai seorang mestizo (peranakan), seorang 'campur', dengan hak-hak, pajak-pajak, kedudukan dsbnya sendiri. Dan karena si anak itu diasuh oleh ibunya yang Katolik, di daerah yang berbahasa Tagalog, Cebuano atau Ilokano, dia cepet sekali masuk kebudayaan yang lumayan jauh dari kebudayaan Fujian. dan sering tidak bisa berbahasa Sangley. Dengan cara beginian, jumlah Sangley tetap rendah, sedangkan jumlah mestizo (keturunan campuran si Sangley itu) terus bertambah besar - hanya karena kebijakan kolonial.
Ternyata daya politik asimilatif ini sangat kuat, sehingga ketika, pada akhir abad ke-19, timbul pergerakan nasionalis anti-Spanyol, sebagian besar pemimpin - pemimpin yang terkemuka berasal dari kelompok mestizo ini - umpamanya sang martir, dan Bapak Tanah Air Dr Jose Rizal. Dan tidak mengherankan bahwa di tengah sederetan presiden Pilipina sampai sekarang, mungkin hanya si Magsaysay yang bukan 'mestizo'. Dengan demikian tidak terlalu mengherankan mengapa sampai sekarang tidak pernah ada huruhara anti-cino yang berarti di Pilipina.
Tetapi di Hindia Belanda, perkembangan sangat berbeda. Belanda sendiri ialah negara kecil, dengan jumlah penduduk yang sangat terbatas. Lagipula karena agama-agama Protestan baru nongol pada pertengahan abad ke-16, dan jumlah penganutnya lebih terbatas lagi. Tenaga kerja untuk aktivitas misionaris di Asia dengan sendirinya minimal. Lebih dari itu, Nusantara sedang dikuasai oleh suatu konglomerat bisnis, si Kumpeni, bukan oleh kerajaan yang berlegitimasi agama Katolik. Dengan kekecualian-kekecualian tertentu di Maluku, Kumpeni tidak berhasrat membuang duit untuk usaha konversi, dan cepat-cepat membuat aliansi praktis dengan raja-raja beragama Islam, sedangkan kolonialis Katolik di Pilipina sebaliknya pasang perang religius yang serem terhadap raja-raja Muslim yang kecil di daerah-daerah yang kecil. di daerah-daerah yang sekarang disebut kawasan Bangsa Moro.
Di benak Kumpeni ada perhitungan juga bahwa usaha konversi bisa juga menggoncangkan sistim kongkalikong yang didirikan dengan penguasa-penguasa Islam lokal. Karena itu, usaha konversi yang beneran baru mulai pada pertengahan abad ke-19, pada ketika Kumpeni sudah diganti oleh negara Belanda sendiri. Misi-misi Katolik dan Kristen baru bisa beroperasi dengan kebebasan terbatas 250 tahun setelah Belanda mulai macam-macam di Nusantara. Perlu düngat ini !! Kalau di Pilipina garis-pisah agama menjadi penting, sedangkan garis-pisah suku menjadi tidak penting, justru di Hindia Belanda yang terjadi adalah sebaliknya.
Sekali lagi, yang paling berpengaruh adalah sistim hukum yang diterapkan dan dipaksakan. Penguasa Belanda ternyata luar biasa alergi terhadap segala macam `percampuran'. Dari semula sampai titik terakhir. tidak pernah ada status yang mirip status 'mestizo' di Pilipina. Status dari anak-anak yang lahir dari adegan ranjang antara cowok londo dengan cewek pribumi umpamanya, harus 'belanda' atau `pribumi', tergantung si bokap.
Kalok si bokap `mengaku' seorang anak, si jabang bayi akan berstatus Belanda, biar kulitnya ireng dan hidungnya pesek, kalok tidak, dia akan hilang di tengah `dunia pribumi' yang maha luas itu. Kebijakan ini mungkin sekali, dalam jangka panjang, dibuat dengan sengaja. Karena penguasa Belanda bisa melihat bagaimana jajahan Inggris dan Spanyol di benua Amerika akhirnya dihancurkan justru oleh kelompok `peranakan Eropa', yang sebagian besar, di Amerika Latin, berdarah campur.
Dengan demikian, golongan keturunan campur bule-pribumi selalu dipisahkan antara minoritas yang ingin mati-matian mempertahankan privilise- privilisenya atau sebagai masyarakat ibunya sebagai anak haram, hasil hubungan seks yang liar. Dengan demikian, golongan campur ini tidak bisa main peranan politik dan ekonomi penting, dan selama abad ke-20 ini hanya segelintir diantaranya bisa nongol kecuali dalam dunia film.
Politik Kumpeni terhadap kelompok Sangley dan keturunannya sangat mirip dengan yang di atas, tetapi harus dimengerti dalam konteks politik jajahan sebagai keseluruhannya. Karena Kumpeni, dengan alasan- alasan yang disebut di atas, tidak pernah ada maksud atau kemampuan untuk mengasimilasikan kelompok Sangley ke dalam kebudayaan Belanda-Protestan, golongan ini harus dinetralisir dengan cara lain. Dan cara itu adalah usaha untuk memisahkannya dari setiap kemungkinan beraliansi dengan, dan berasimilasi kepada dunia pribumi. Mereka tahu bahwa setiap si Ario Martaningrat tidak dianggap 'Cino' oleh sultan-sultan di Cirebon dan mereka percaya bahwa dia dan mungkin ortunya sudah menjadi Muslim; mereka tahu bahwa wajah-wajah manusia di kota-kota perdagangan sepanjang pesisir utara pulau Jawa, mereka bisa menduga betapa banyak orang di situ adalah keturunan campur, sadar atau tidak. Mereka mungkin juga lama-lama mengetahui bahwa di kekaisaran Tiongkok sendiri banyak sekali terdapat manusia yang beragama Islam. Dengan demikian, sebaliknya dari praktek Spanyol di Pilipina, mereka berusaha keras supaya, secara hukum, keturunan-keturunan si hoakiau, tetep `Cino' tanpa membuka kemungkinan mendapat status sebagai orang campur. Peduli amat kalo anak-anak ini tidak bisa berbahasa Hokkien, tidak mengerti adat istiadat sistim Konghucu, dan sebagainya : dia harus tetap sebagai `Chineese'.
Status hukum ini sangat diperkuat dengan sistim ghetoisasi. Dengan beberapa pengecualian yang penting, orang-orang ini dipaksakan bermukim di kawasan kota tertentu, mereka harus kawin di antara mereka sendiri dengan upacara `Cino' yang sedikit banyak diatur oleh Belanda: mereka harus berdandan dengan gaya `Cino'. warisan mereka harus diatur oleh peraturan tersendiri. Mereka tidak boleh bepergian kemana mereka suka tanpa paspor internal. Dan yang paling penting, sedapat mungkin mereka harus tunduk kepada pimpinan otoriter dari `Kapten-Kapten' atawa `Major' (biasanya orang kaya setempat) yang diangkat dan dipecat oleh gubermen sendiri. Sekaligus, selama berabad-abad mereka juga tidak boleh terlalu bersifat `Cino', dalam arti membuat sekolahan yang mengajar bahasa Cino tertulis, apalagi bahasa lisan bangsanya Mandarin atau Hokkien. Pada akhirnya mereka dibuat terkatung-katung - cino beneran tidak, pribumi tidak. dan anggota kebudayaan Kristen-universal juga tidak. Bisa dikatakan mereka dibikin semacam `banci' kebudayaan, banci perkara status hukum dan lama-lama banci dalam arti politik.
Sekarang, mari kita berpaling kepada `pengecualian, yang disebut di atas. Dalam hal ini, karangannya Jim Rush memang luar biasa bagusnya. Karena di situ digambarkan bagaimana timbul, pada bagian kedua dari abad ke-19, konglomerat `Cino' - menurut istilah zaman itu `raja' - pada landasan perdagangan candu di bawah pimpinan gubermen sendiri. Banyak segi dari sistim pembiusan ini - yang mungkin lebih teratur dari sistim yang dipakai kartel-kartel cocaine di Colombia sekarang - sangat menarik. Boleh saya garisbawahi beberapa diantara segi ini :
Saling ketergantungan an tara elit-elit bule, `Cino' bikinan, dan pribumi. Bule pegang monopoli pengimporan candu dari India Inggris, sindikat kapten-kapten dan major-major pegang kartel distribusi wholesale, priyayi-priyayi dan weri-werinya menanggulangi perdagangan retail dan tindakan pengamanan fisik (centeng) dari kartel-kartel itu tadi. Dus seolah - olah diluar hierarki rasial yang resmi, pimpinan semua kelompok bergandengan tangan untuk urusan dagang yang korbannya rakyat kecil. Tokh justru hierarki-rasial-menurut- hukum membuat perlu sistim setengah gelap ini.
Sistim bisnis ini dibuat sangat erat dengan hierarki birokrasi dan kawasan teritorial yang menjadi landasannya. `Kawasan' monopoli, batasnya sama dengan batas kabupaten dan keresidenan, sehingga kuasa-kamtibmas si bupati pas dengan kuasa dagang si Kapten.
Orang `Cino, biasa diharamkan keluar dari ghettonya, dan dikontrol dengan passensysteem yang ketat. Hanya si Kapten dengan bolo dekatnya boleh mondar-mandir ke pedalaman. Dus kekayaan kelompok `raja' pada dasarnya berdasarkan sistim politik dan organisasi birokrasi. Monopoli mereka, seperti hampir semua monopoli di dunia, hanya dimungkinkan dengan lindungan politik, kepolisian, dan birokrasi yang bule-pribumi 10% bule, 90% pribumi.
Nah, selama Hindia Belanda menjadi daerah tertutup (orang Belanda sendiri harus punya paspor untuk masuk sebelum 1870), sistim enak ini aman. Tetapi setelah mulai cair pada tahun 1880-an, segala macam konflik laten mulai nongol. Mungkin faktor yang paling penting adalah pencabutan secara berangsur- angsur dari passenstelsel dan sistim pemukiman paksa. Karena dengan demikian orang- orang `Cino' peranakan untuk pertama kali boleh berkeliaran semaunya di pedalaman, tetapi dari basis `ghetto' yang sudah berabad-abad berlangsung dan dengan model raja-raja di depan matanya. Ditambah gelombang `Cino, totok yang datang setelah 1890 dari kekaisaran Tiongkok yang sedang ambles. Kebetulan pada masa yang sama nasionalisme Tionghoa untuk pertama kali mulai tumbuh di bawah pimpinan Sun Yat Sen di daerah Nanyang, di luar cengkeraman birokrasi Tsing.
Tidak mengherankan kalok dalam situasi demikian, kelompok yang berabad diperlakukan sebagai `Chineese, oleh gubermen, biarpun mereka berbahasa Jawa, Madura, Bali, Melayu dan sebagainya, mulai merasa bahwa mereka `kurang Chineese', dan mendirikan sekolah-sekolahan dan organisasi yang berideologi `Chineesess'.
Lebih lagi tidak mengherankan bahwa di kalangan pribumi, khususnya bibit-bibit nasionalis, timbul reaksi terhadap gejala-gejala ini, dan bahwa reaksi mereka dalam banyak hal meniru contoh dari kelompok Tionghoa. Jelas sekali umpamanya bahwa Taman Siswo adalah semacam tiruan sistim sekolahan 'asli' Cino yang diperintiskan oleh THHK.
Dan suatu masyarakat yang sudah begitu lama dibiasakan oleh gubermen untuk mengimajinasikan existensinya sekelompok `cino' -yang sebenarnya 85% sudah berasimilasi kepada kebudayaan pribumi- dengan gampang sekali merasa bahwa `asimilasi' itu sebenarnya cuman kedok: dan juga gampang tidak mengerti bahwa konglomerat cino yang jahanam itu tidak berdasarkan `lihaynya bangsa cino, tetapi adalah hasil dari kongkalikong antarsukubangsa tingkat atas.
Dari situ timbul kemungkinan yang luas untuk huruhara rasialis yang memang mulai terjadi di Hindia Belanda pada taon 1919, hanya 80 tahun yang lalu. Kalau sensus Belanda yang mulai diadakan pada tahun 1921 membagikan penduduk Hindia Belanda antara golongan yang besar harus düngat pada pembagian itu berdasarkan sistim hukum yang beratusan tahun usianya.
Golongan ini tentunya bangsa Eropa, Inlanders. dan Vreemde Oosterlingen. Yang menarik dalam klasifikasi ini adalah bahwa Belanda mengangkat diri sebagai orang Eropa (dan mendirikan sekolahan seperti ELS Europeesche Lagere School), yaitu sebagai wakil dari ras bule -tapi bukan sebagai Ureemde Westerlingen. Yang juga menarik ialah bahwa orang `cino, disebut sebagai Ureemdelingen -orang asing, padahal sebagian besar mereka sudah turun-temurun menjadi penghuni bumi manusia di Nusantara. Ini mendapat dampak yang mendalam, karena baik pribumi sendiri maupun kelompok `cino' dengan demikian lebih lagi dibiasakan untuk menganggap yang terakhir sebagai `orang asing'. Di situ kita bisa lihat dengan jelas bibit-bibit pertama dari paradoks Warga Negara Indonesia yang berarti orang asing, dan komentarnya si pimpinan Permias bahwa di kampus anu ada 40 orang Indonesia, tetapi kalau termasuk cino bisa sampai 200.
Walaupun demikian perlu ditegaskan bahwa sebagian penting dari pergerakan nasional berusaha untuk mengatasi alam pikiran ini. Pimpinan revolusi berusaha keras untuk mencegah aksi rasialis anti-cino. Tokh warisan politik kolonial menjamin bahwa sedikit sekali `cino' pengen masuk badan perjuangan dan militer, dan lembaga-lembaga ini condong untuk eksklusif terhadap `cino'.
Hampir semua partai politik besar selama zaman demokrasi liberal punya tokoh yang `chineese', dan tidak jarang ada yang sampai bisa jadi menteri. Bung Karno kasih angin kepada Baperki yang punya ideologi bahwa `cino' itu cuman salah satu suku bangsa lain di antara sekian macam sukubangsa di Nusantara.
Persetujuan Sunario-Chou En Lai pada pertengahan tahun 1950-an adalah usaha untuk mengkonsolidasikan kewarganegaraan mutlak dari sebagian besar kelompok `cino' di Nusantara. Anehnya, diantara semua partai politik yang besar justru PKIlah yang aneh. Setelah Tan Ling Djie diusir dari politburo pada tahun 1951, pimpinan Aidit cs berusaha keras untuk mengeliminir orang `cino' dari badan-badan PKI yang penting. `Cino' yang berhaluan kiri disuruh bermukim di ghetto Partindo. Tapi ini juga mungkin hanya terjadi karena kekaisaran Tiongkok sendiri setelah 1949, Partai Komunisnya Mao Tse Dong mulai bertakhta.
Dengan latar belakang ini, tidak terlalu mengherankan kalau Orde Baru, yang dalam begitu banyak hal mirip Orde kolonial, menghidupkan kembali aspek-aspek penting dari konstelasi politik, sosial dan kebudayaan zaman kolonial akhir. Alat keamanan -50 tahun setelah Indonesia merdeka- tetap 9% bersih dari warganegara yang `cino'.
Sistim konglomerat raja-raja cino yang berlandasan monopoli bikinan birokrasi dan akibat perlindungan politik khusus, menjadi-jadi. Orang cino dilarang bikin sekolah sendiri, atau punya pers sendiri, diajak berganti nama, disuruh asimilasikan diri (persis seperti terjadi pada zaman Belanda abad ke-19), supaya tidak menjadi Chineese beneran, tetapi sekaligus mereka didiskriminasikan di hampir seluruh bagian pekerjaan di luar dunia dagang.
Sekali lagi `pembencian' -ya bukan Chineese, ya bukan Indonesia- kan enak. Pembagian fungsi ekonomis ini mempunyai dua akibat yang menguntungkan. Di satu pihak, seperti diketahui, pimpinan negara tidak diancam secara politik oleh timbulnya konglomerat pribumi, konglomerat Cino dari sudut politik tokh impoten. Di lain pihak pimpinan negara bisa juga memperlihatkan bahwa selama orde baru tidak pernah ada menteri atawa jenderal yang 'jelas cino', jadi kedaulatan rakyat tetap aman di tangan wakil-wakil asli dari masyarakat Inlander.