CINA: DARI TOTALITERISME MENUJU OTORITERISME?
oleh: Nyoman Aryana*
Tanpa memahami sejarah kebudayaan Cina, mustahil rasanya seseorang bisa mengerti sistim politik Cina-moderen. Budaya Cina, kata orang, budaya paling tua di dunia. Karena itu, lalu timbul asumsi bahwa setiap pengaruh luar yang masuk ke tanah Cina pasti bersentuhan dengan budaya yang, berusia ribuan tahun itu. Dan ini, hampir tanpa pengecualian. Dengan kata lain, pengaruh dunia luar - yang masuk ke Cina - selalu, dirubah, difilter, dimodifikasi, atau disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri. Sebagai contoh; budhisme dan marxisme. Dua ‘produk impor’ yang telah membentuk pola pikir dan prilaku (politik) rakyat Cina. Budhisme yang tahun 65 m. masuk ke Cina ternyata tidak banyak merubah cara berpikir orang Cina. Malah sebaliknya, tradisi (filosofi klasik) Cina-lah yang banyak memodifikasi agama egaliter tersebut. Sehingga budhisme, akhirnya, lebih memperlihatkan warna khas Cina, dibanding warna India, aslinya. Begitu pula marxisme-leninisme yang (setelah dikawinkan dengan ide-ide Mao Zedong) kemudian menjadi ideologi ‘resmi’ partai komunis Cina. Juga tak luput dari proses sinoisasi tersebut.
___________________________________________________________________________
Partai Komunis Cina
Istilah resmi ideologi yang berkuasa di Cina bukan Maoisme. Melainkan Marxisme-Leninisme-ide-ide Mao Zedong. Mao kabarnya tak pernah membuat ideologi baru. Dia cuma berusaha mengembangkan teori marxisme-leninisme - dengan cara menghubungkannya dengan tradisi Cina, dengan nilai-nilai nasionalisme, serta didasarkan atas pengalaman revolusi buatan sendiri. Kenapa di Cina komunisme berhasil, sedangkan dinegara lain gagal - total? (Dapat dilihat bagian akhir tulisan ini).
PKC didirikan 1 juli 1921. Di Shanghai. Sejak itu anggota bertambah terus. Rata-rata diatas satu juta tiap tahun. Misalnya 39 juta, tahun 1983. Lalu 49 juta, tahun 1990. Dengan 51 juta jumlah anggota (1992), PKC adalah partai komunis terbesar di dunia. Dua pertiga anggota partai terdiri dari petani, 15% buruh, 10% intelektual.
Keanggotaan partai diorganisir berdasarkan tempat tinggal atau tempat kerja. Artinya dimana anggota paling gampang dijumpai, dipengaruhi, atau dikontrol. Sedangkan untuk tentara merah cara ini tidak berlaku. Tentara pembebasan rakyat memiliki aparat partai sendiri yang, tunduk bukan terhadap instansi partai regional, melainkan hanya pada pimpinan sentral, Beijing.
Machtkampf
Perkembangan politik di RRC sejak 1949 tak mulus. Diwarnai perebutan kekuasaan (Machtkampf ) terus menerus, berlangsung sengit, dipuncak hirarkhi partai. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum kehidupan partai politik, selamanya diwarnai perebutan simpati atau pengaruh, baik antar individu ataupun kelompok. Tak terkeculai di Cina.
Mao dan pengikut setia, menganggap politik-lah yang merupakan prioritas. Menurut kubu Mao: Kendati pun perang saudara sudah selesai, bukan berarti revolusi dan pertentangan kelas sudah lenyap. Perten-tangan kelas, sama sekali tidak boleh dilupakan. Kita (maksudnya orang Cina) harus terus memupuk kesadaran revolusioner rakyat. Kita harus terus menerus memobili-sasi massa. Kita harus membangun negeri ini (baca Cina) berdasarkan rasa percaya terhadap kekuatan sendiri, ujar ketua partai, Mao. Sedangkan kubu seberang berpendapat lain. Ekonomi-lah yang merupakan prioritas utama. Menurut presiden Li Shaoqi, waktu itu, pertentangan kelas sudah berakhir. Kelompok ini (termasuk Deng Xiaoping) memandang; pembangunan, pertumbuhan dan pembaharuan dibidang ekonomi atau, singkat; reformasi, merupakan tugas utama (prioritas). Upaya untuk memenuhi kebutuh-an rakyat yang semakin meningkat dan mendesak harus diprioritaskan. Dan, hanya! kalau kebutuhan dasar material (makanan, pakaian, rumah) Republik Rakyat Cina dapat diperbaiki, tujuan-tujuan sosialisme bisa tercapai. "Tak penting apakah kucing hitam atau putih yang penting bisa menangkap tikus" (Deng Xioping). Debat ideologi berkepanjangan kiranya tak terlalu penting, namun yang penting, apakah suatu sistim bisa berfungsi dengan baik dan, sanggup mensejahterakan rakyat? Begitu kira kira maksud ucapan Deng, orang yang terpental akibat revolusi kebudayaan itu.
Akibat dari "politik menjadi prio-ritas": Revolusi kebudayaan. Sedangkan akibat dari "pembangunan ekonomi harus didahulukan": Reformasi. Konflik internal partai ditandai oleh kekuatan tarik menarik antara penganut Reformasi lawan pengikut Revolusi Kebudayaan.
Bagi mendiang Mao Revolusi Kebu-dayaan 1966/67 adalah suatu percobaan mobilisasi massa melawan (birokrasi) partai, yangmana waktu itu dia sendiri juga berada didalamnya. Dengan kata lain ini berarti satu gerakan melawan birokratisasi yang semakin meluas selama proses modernisasi dan industrialisasi Cina. Disamping itu, tatkala nilai-nilai revolusi mulai semakin terlembagakan - ketua partai juga melihat gejala - bahwa komunisme mulai mandeg - mendekati kehancuran. Karena itu, harus dicari jalan keluar: Revolusi kebudayaan! Revolusi ini dapat diinterpretasikan sebagai konflik antara kelompok yang menuntut agar adiministrasi dan ekonomi berorientasi pada prestasi, disatu pihak. Sedangkan dipihak lain adanya tuntutan revolusi permanen dibawah Mao. Yang menghendaki terbentuk-nya kesadaran sejati. Namun halangan paling besar yang dihadapi revolusi kebudayaan, sebenarnya, tak lain dan tak bukan adalah kontroversi ide itu an sich. Artinya, legitimasi (revolusi kebudayaan) bukan berasal dari massa, melainkan sebagai hasil rekayasa elit-intelektual saja. Nah!
Reformasi. Sekitar tahun tujupuluh-an, di beberapa propinsi, terbentuklah koalisi antara militer dan kader partai senior, yang berusaha menentang ide-ide revolusi kebudayaan. Koalisi tak resmi tersebut menghendaki sistim ekonomi moderen, berdasarkan prinsip prestasi, dikendalikan orang-orang akhli atau kompeten dibidang masing masing. Koalisi ini, makin lama makin besar. Terutama berkat keberhasilan politik ekonomi Zhou Enlai. Disamping itu, kematian Lin Piao 1971(calon pengganti Mao) juga mengisyaratkan bahwa ‘revolusi kiri’ telah mulai kehilangan pengaruh, baik dalam partai, di pemerintahan ataupun di bidang ekonomi.
Kendatipun kubu reformasi (Zhou Enlai) dengan sengaja mengutip kata-kata Mao ataupun slogan-slogan revolusi kebuda-yaan, namun mereka selalu berusaha, mencoba agar tetap rasional, disegala bidang. Pertama, 1975 meluncur konsep ekonomi, program ‘empat modernisasi’ (pertanian, industri, militer, iptek). Kedua, mengakhiri politik isolasi. Ketiga membangun pemerin-tahan yang efisien.
Menurut pendapat partai sayap kiri, politik reformasi (empat modernisasi) sama artinya dengan langkah mundur menuju neraka kapitalisme. Kelompok sayap kiri, dimotori ‘empat serangkai’ (termasuk Jiang Qing istri mendiang Mao). Setelah kematian Mao 9 September 1976, pengaruh sayap kiri mulai berkurang. Kekuasaan, kemudian diambilalih Deng Xioping. Empat serangkai pun diadili. Dijatuhi hukuman berat, seumur hidup, dan atau, hukuman mati ( yang ternyata tak pernah dilaksanakan).
Partai-partai non-komunis Cina
Periode 1949-’52 sering juga disebut sebagai fase "demokrasi baru". Waktu itu - untuk melawan tuan tanah dan bourjuis komprador - PKC berkoalisi dengan kaum bourjuis-nasional. Delapan partai koa-lisi, berasal dari berbagai ormas; wakil mino-ritas nasional, dan wakil Cina-perantauan, bersama sama membentuk satu wadah: "Front Kesatuan Rakyat Demokratik".
Delapan Partai Non-Komunis Cina
Nr. |
Partai |
Didirikan |
Ketua |
Anggota/Pendiri |
Keterangan |
1 |
Chinese Peasants´and Workers Democratic Party |
1928 |
Jiang Zhenghua |
teknisi, pedagang kecil, dokter |
Partai non-komunis tertua di Cina |
2 |
China Democratic League |
1941 |
Ding Shinsun |
kaum ´borjuis kecil´: pegawai, intelektual, mahasiswa, tekhnisi |
bersama PKC melawan KMT |
3 |
China Zhi Gong Dang (Party for Public Interess) |
1944 |
Luo Haocai |
ormas ´bawah tanah´ |
menampung simpati orang-orang Cina perantauan untuk kepentingan RRC. |
4 |
Jiusan (3 September) Society |
1944 |
Wu Jieping |
(sebagian besar) ilmuwan |
forum diskusi, aktivi tas politik terbatas di lingkungan universitas saja |
5 |
China Democratic National Construction |
1945 |
Chen Siwei |
guru, seniman, intelektual |
untuk kepentingan propaganda |
6 |
All.-China Federation of Industry and Commerce |
1945 |
Jing Shuping |
kumpulan´borjuis besar´ (industriawan / pedagang) |
meningkatkan produktivitas (?) |
7 |
Taiwan Democratic |
1947 |
Zhang Kehui |
mantel PKC |
membantu perjuangan otonomi Taiwan PKC bersama rakyat Taiwan menggulingkan Chiang Kai-shek |
8 |
Revolutionary Committee of Chinese Guomindang |
1948 |
He Lui (perempuan) |
fusi musuh- musuh dalam selimut Chiang Kai-shek dan eks militer senior (nasionalis) |
menggulingkan Chiang Kai-shek, merebut Taiwan |
Sumber:
W. Pfennig, Volksrepublik China 1983, hal.32 / China aktuell / China Monthly Data, Dec.1997, hal.1257/23
Semua partai tersebut diatas memiliki program-ideologis mirip PKC. Pengaruh kedelapan partai non-komunis relatif kecil dan singkat. Sebagian besar partai tidak memiliki pengaruh. Tatkala aksi pembersihan revolusi kebudayaan, anggota partai non-komunis mengalami berbagai kesulitan, intimidasi, teror, serta dikenakan larangan. Misalnya larangan merekrut anggota dari kalangan buruh dan petani. Larangan memiliki organisasi kepemudaan. Dilarang mengadakan fusi diantara mereka sendiri. Dilarang mengorganisir kelompok kecil didalam Abri atau aparat negara lainnya. Disamping itu, seluruh aktivitas partai non-komunis ini, dikontrol seksi "Front Kesatuan" komite sentral PKC. Namun setelah Mao pergi, kalangan reformis mengajak kembali kaum intelegensia partai-partai non-komunis untuk bekerja sama. Lapisan masyarakat yang penting ini, didekati, agar hubungan lama dengan dunia luar yang mereka miliki, dapat digunakan kembali. Karena itu dibukalah ‘’Partai Front Kesatuan Non-komunis’’. Dan kini, mereka sudah kembali menjadi partner koalisi. Atau dengan kata lain, mereka juga sering disebut sebagai rakyat patriotik pendukung sosialisme.
Kongres dan Pemerintahan
RRC, sejak berdiri 1 Oktober 1949, mengaku sebagai "negara sosialis-diktatur rakyat demokratis, dibawah pimpinan kelas buruh dan tani." Dalam teori dan praksis ini lalu berarti:
(1) PKC adalah partai berkuasa, (2) sentralisme demokratis berarti pembentukan aspirasi dari atas kebawah. (3) Negara mengatur/mengontrol perekonomian - secara sentral (hampir) segala aspek kehidupan rakyat. Namun berdasarkan Undang-Undang 1982 dan diperluas lagi dengan UU 29 Maret 1993, RRC kemudian menyatakan diri sebagai negara penganut: ‘’Sosialisme Ekonomi-pasar’’.
Parlemen (National People Congress) merupakan organ tertinggi. Yang beranggotakan 2921 orang, yang secara teoritis setiap 5 tahun sekali, dipilih, melalui wakil-wakil propinsi, daerah otonomi, Tentara Merah (267 delegasi), yang diketuai, Qiao Shi. Parlemen bertugas: membuat Undang Undang dan perencanaan ekonomi serta merancang anggaran pendapatan/ pembelanjaan negara. Memilih kepala negara, yang sejak 1982 baru dihidupkan kembali. (Jiang Zemin sejak Juni 1989). Mengangkat perdana mentri (Li Peng sejak 1988) dan mengangkat anggota dewan nasional lainnya.
Perempuan dan laki-laki (18 th. keatas) secara tidak langsung berhak memilih wakil-wakil rakyat ditiap tiap desa, kota, ataupun kabupaten. Wakil-wakil propinsi dan pusat sebaliknya mendapat mandat langsung dari tiap tiap kongres rakyat tingkat yang lebih rendah. Wakil-wakil yang terpilih dapat ditarik kembali. Anggota Abri, suku-suku minoritas dan Cina perantauan mempunyai porsi tertentu di parlemen. Sebagai contoh:
Jumlah wakil hasil Kongres ke VI pertengahan 1983
kelompok (istilah resminya) |
mandat |
% |
petani dan buruh |
791 |
26,6 |
intelektual |
701 |
23,5 |
kader |
636 |
21,4 |
wakil partai-partai demokratik dan wakil-wakil person yang patriotik dan tidak berpartai |
543 |
18,2 |
wakil-wakil dari tentara pembebasan rakyat |
267 |
9,0 |
orang-orang Cina perantauan yang kembali pulang |
40 |
1,3 |
jumlah |
2978 |
100% |
wanita |
632 |
21,2 |
minoritas |
403 |
13,5 |
___________________________________________________________
Beijing Rundschau 31 Mei 1983, hal. 5 (lih. W. Pfennig 1983, hal. 35)
Elemen tradisi hukum Cina kuno, masih nampak dalam sistim yustisi Republik Rakyat Cina moderen. Dengan kata lain, pengadilan bukan tidak independen. Akan tetapi seperti lazimnya para jaksa berada dibawah kekuasaan. Itu yang pertama. Dan yang kedua; kasus perdata serta kasus-kasus kecil lainnya dapat diselesaikan oleh panitia penengah, ditingkat Danwei dan tidak perlu dibawa ke pengadilan. Lalu sebagai tambah-an, pendapat-pendapat ‘miring’ setelah pengambilan keputusan dapat didiskusikan kembali. Agar pihak yang kalah tidak merasa kehilangan muka.
Kenapa Komunis dulu bisa menang? Dan sekarang bagaimana?
Memang tak dapat disangkal, bahwa keberhasilan PKC didukung pula oleh ‘kondisi khusus’ budaya Cina; tradisi ketatanegaraan ribuan tahun, keunggulan dibidang ilmu pengetahuan, tekhnik dan, pertanian. Yang semuanya telah berkembang relatif baik dan berkesinam-bungan. Yang merupakan pencerminan kolektifisme bangsa Cina - sejak ribuan tahun. Cina bahkan pernah mengungguli peradaban Eropa. Sungguh menarik! Tapi yang lebih menarik adalah bagaimana Mao menginterpretasikan budaya atau tradisi luhur itu untuk kepentingan perbaikan nasib rakyat Cina? Untuk itu sebaiknya kita lihat sejarah terlebih dahulu.
Menurut Mao, sejarah berlangsung dalam pertentangan yang, secara kwalitatif berbeda beda dan hanya dapat diatasi dengan metode yang secara kwalitatif berbeda beda pula. Misalnya, pertentangan antara proletar dan borjuis, diatasi dengan revolusi sosialis, pertentangan antara koloni dan imperialisme dibereskan melalui perang kemerdekaan atau revolusi-nasional. Mao melihat ada dua
pertentangan, yakni pertentangan non- dan antagonistik. Pertentangan antagonistik (antara rakyat dan musuhnya) hanya dapat diatasi dengan kekerasan. Sedangkan perten-tangan non-antagonistik (pertentangan di dalam rakyat sendiri), dapat diselesaikan dengan diskusi atau melalui tukar pendapat. Disamping itu Mao membagai sejarah Cina kedalam beberapa periode. Yaitu periode pertengahan abad 19, berakhirnya zaman ‘feodal’ (3000 tahun). Dalam periode setengah feodal dan setengah kolonial ini terbentuklah borjuasi dan proletariat. Namun pertentangan antara proletar dan borjuis, belum nampak, karena ditutupi oleh pertentangan antara Cina dan kekuasaan im-perialis. Muncullah revolusi bourjuis-demo-kratis (diktatur borjuasi).
Dinasti di Cina (mulai dari Xia 2205-1766sm. hingga Qing 1644-1911) berbeda dengan feodalisme di Eropa. Dinasti di Cina termasuk katagori negara sentral-birokratis. Dengan kata lain suatu negara yang bertumpu pada kekuatan golongan Beamten (Mandarin). Dalam struktur masyarakat agraris yang bertingkat tingkat, pegawai kekaisaran menduduki posisi paling tinggi - setelah petani, tukang, pedagang dan jenis pekerjaan lainnya. Mandarin sebenarnya lebih banyak merupakan seorang kaligraf dari pada seorang Beamten yang telah mengenyam ilmu kepemerintahan secara formal, kata Max Weber. Mandarin tak boleh bekerja di daerah tempat kelahirannya. Mandarin - untuk menghindari ikatan yang kuat dengan penduduk setempat - juga tak diperkenankan terlalu lama bekerja di satu daerah tertentu. Mandarin harus dipindah pindah dan bertanggung jawab hanya terhadap Kaisar. Karena itulah negara sentral-birokratis berjaya ratusan tahun, sehingga ‘kamtibnas’ terjamin, suhu politik stabil, maka dengan sendirinya, ini juga memungkinkan keber-hasilan dibidang teknis/ekonomis. Namun hal ini tidak mengakibatkan terjadinya revolusi (borjuis) industrial. Seperti yang terjadi di Eropa misalnya. Kenapa demikian? Ya, karena pegawai istana (Mandarin) meng-ambili kembali tanah-tanah milik tuan tanah, kemudian membagikannya lagi kepada petani, dengan maksud menghindari muncul-nya kekuatan politik (landlords) tandingan. Ekonomi diatur melalui pajak yang tinggi, pedagang/pengusaha mendapat perlakuan sewenang-wenang. Negara memonopoli barang-barang strategis (garam dan besi). Kota, disamping sebagai pusat politik, waktu itu, sekaligus juga merupakan tempat tinggal pegawai dan tentara kaisar. Kebiasaan seglintir orang-orang kaya kota zaman kaisar yakni membiayai pendidikan (sekolah) keluarga mereka, agar dikemudian hari memperoleh kedudukan sebagai pegawai kaisar. Atau, mereka membeli tanah kemu-dian menyewakannya kepada petani. Dan bukan menginvestasikan uang mereka di du-nia usaha (manufaktur) misalnya. Sehingga dengan demikian apa yang disebut sebagai semangat borjuasi dalam dunia usaha untuk menciptakan kondisi masyarakat kapitalis tidak bisa berkembang.
Akibat dari stabilitas politik dan keberhasilan dibidang pertanian, (misalnya) adalah hasil panen meningkat. Maka jumlah penduduk juga ikut meningkat. Pertambahan penduduk terlalu pesat, tidak terimbangi oleh sektor produksi, terutama dalam pengadaan bahan makanan. Luas tanah pertanian tidak bertambah. Bahaya kelaparan mengancam. Dikabarkan sejak abad 13 kebanyakan petani Cina hanya bisa menghidupi keluarga mereka dari hasil lahan garapan masing masing. Sehingga hutan pun ditebang, padang rumput dialihfungsikan menjadi sawah, perkebunan kapas ditanami gandum. Disamping itu, faktor alam - kekeringan atau banjir - juga mempengaruhi kehidupan orang Cina. Misalnya, sejak abad 19 hingga perang dunia kedua dikabarkan tak kurang dari 25 juta orang mati kelaparan. Dengan model pertanian tradisionalnya, Cina tak mungkin sanggup meningkatkan hasil produksi. Harga sandang pangan naik, upah menurun. Petani miskin tak mampu membeli beras. Apalagi uang untuk beli pakaian atau untuk memperbaiki rumah mereka. Singkat, ini berarti, tenaga beli sangat lemah. Karena itu, tak ada penawaran, sehingga tak ada kapital yang diinvestasikan, sebab tak menjanjikan keuntungan.
Namun tatkala kekuasaan kaisar awal abad 19 semakin pudar, kesempatan untuk merintis dunia usaha pun mulai bermunculan. Akan tetapi - karena buruknya situasi ekonomi waktu itu, disamping pengaruh asing makin kuat, maka - bibit bibit borjuasi nasional tidak bisa berkembang dengan baik.
Kelemahan politik dalam negeri Cina, akhirnya memberi peluang besar kekuatan asing abad 19 (Inggris, Prancis, kemudian juga Rusia, Jerman dan Jepang) menguasi ekonomi, kemudian menjajah negeri tersebut. Lalu bersamaan dengan itu - lewat bantuan modal asing - industri, perbankan, transportasi dst.nya mulai dikembangkan. Daerah pesisir strategis (pelabuhan) dikuasai perusahan-perusahan asing. Imprialis waktu itu memperoleh hak-hak istimewa. Sehingga tak lama kemudian, terjadilah kesenjangan sosial yang semakin tajam, antara income penduduk daerah pantai (tempat modal asing beroprasi) dan daerah miskin pedalaman, dimana sebagian besar rakyat masih hidup sebagai petani tradisional. Kemudian industrialisasi juga mengakibatkan terbentuknya enclave borjuasi komprador, yang melayani interes modal asing (Amerika, Eropa ataupun Jepang). Karena borjuis komprador dibesarkan oleh jaringan modal asing, maka secara psikologis, mereka juga merasa konform dengan sistim tersebut. Faktor ini juga dapat dilihat sebagai penghalang utama lahirnya lapisan borjuis nasional yang kuat, yang sanggup membentuk sistim perekonomian (nasional) yang mandiri.
Kenapa komunis 1949 bisa menang?
Paling tidak ada sembilan faktor penyebab yaitu nasionalisme, kejatuhan KMT, komunisme sebagai alternatif, longmarch, tradisi revolusioner, percaya kekuatan sendiri, kerusakan infrastruktur akibat perang, kemelaratan dan yang terakhir kondisi sosial yang amat buruk.
Nasionalisme dan kejatuhan KMT. Dengan semakin meningkatnya kesadaran nasional serta penolakan terhadap terhadap kekuatan asing menjelang abad 20, banyak membantu keberhasilan ‘’partai rakyat nasional’’ (KMT) yang didirikan Sun Yat-sen. Kendatipun reformasi (1927-1937) dijalankan, namun gerakan baru yang bercorak borjuis kota ini tak sanggup mengatasi problem yang semakin mendesak. Kenapa Guomindang (KMT) ambruk? Karena sebagian besar landlords dan borjuis besar tidak tertarik untuk memperbaiki keadaan yang ada waktu itu yang, sesungguhnya juga bisa menguntungkan diri mereka. Disamping itu, landreform kurang berhasil, sehingga petani (kecil) tidak puas. Karena itu mereka tak memberikan dukungan. Konflik internal partai terjadi tatkala perlawanan menghadapi kekuatan militer regional, landlords. Perang melawan Jepang menghabiskan banyak tenaga. Namun, setelah Jepang (1945) kalah, korupsi dan inflasi pun tak dapat dibendung lagi.
Komunisme sebagai alternatif. PKC - berbeda dengan Guomindang - sebaliknya berhasil mengambil hati sebagian besar lapisan petani dan lapisan masyarakat lain yakni buruh, tukang, pedagang kecil, intelektual dan juga tentara, bukan saja karena mereka kecewa terhadap KMT, melainkan terutama karena politik PKC dianggap konsekwen. Sebagai contoh misalnya, mula-mula landreform dilaksana-kan, di daerah daerah yang dikuasai PKC. Kemudian menyusul perbaikan kesehatan rakyat, lalu pembrantasan buta huruf, dan sebagainya. Tatkala melawan agresi Jepang tahun 30an PKC menekankan agar semua kekuatan nasional bersatu. Namun ini bukan berarti melupakan tujuan revolusioner. Karena itulah PKC bisa muncul sebagai kekuatan patriotik. Akhirnya 1937 PKC bersatu dengan KMT untuk bersama sama melawan tentara kaisar Jepang. Sementara itu Chiang Kai-shek (pengganti Sun Yat-sen) selalu berusaha melibas orang-orang komu-nis. ‘Koalisi’ ini berguna, paling tidak agar KMT tidak menusuk dari belakang, begitu barangkali pikiran orang-orang komunis.
Longmarch. Tatakala pasukan peme-rintah menyerang Kiangsi 1934, tentara merah pun bergerak mundur kepegunungan Shensi. PKC kemudian kembali mendirikan ‘daerah bebas’ yang berpusat di Yenan. Longmarch (12.500 Km) yang legendaris ini meminta banyak korban. Dari sekitar 10.000 yang berangkat, tak lebih dari seperempatnya saja yang hidup sampai ditujuan. Luar biasa memang. Tapi inilah yang memperkuat solidaritas partai kedalam. Disamping itu pa-sukan revolusioner berhasil juga menanam-kan ide-ide komunis kepada jutaan rakyat yang dilintasi. Berbeda dengan mental tentara pemerintah (KMT) yang suka me-rampok dan memperkosa wanita, tentara merah dikabarkan memiliki disiplin tinggi dan bersungguh sungguh dalam menjalankan tugas mereka. Karena itu rakyat bersimpati. Disamping itu, pada daerah-daerah yang sudah ‘dibebaskan’ tentara merah sengaja membiarkan rakyat kecil dan anggota borjuis nasional lainnya bersama sama ikut dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting.
Rakyat Cina, memiliki tradisi revo-lusioner yang amat panjang. Dalam menanggulangi masalah sosial, melawan penindasan atau menolak intervensi asing, mereka sudah terbukti sering bangkit angkat senjata. Mereka menyatukan diri dengan gerakan-gerakan nasional atau pun sosial-revolusioner. Pemimpin partai komunis menganggap perjuangan mereka sebagai kelanjutan dari gerakan-gerakan sosial atau reformasi yang sebelumnya. Misalnya pembrontakan Taiping (1850-1864), perang saudara terbesar dengan korban 30 Juta. Sekte religius Taiping menuntut keadilan sosial; menghapuskan milik/alat produksi pri-badi, melaksanakan landreform dan menuntut persamaan hak wanita dan laki-laki. PKC menganggap pembrontakan ini sebagai peris-tiwa heroik, revolusioner, yang amat penting. Contoh lain lagi, ‘Gerakan 4 Mai’ (1919) dimana kelompok intelektual menentang isi perjanjian Versailler (bekas daerah sewaan Jerman yang bukan dikembalikan kepada Cina, melainkan kepada Jepang). Semua peristiwa sejarah ini - bagi Mao - merupakan bagian dari revolusi proletar.
Bantuan yang diterima PKC dari Uni Sovyet tidak seberapa besar. Baru meningkat setelah perang dunia kedua. Masih jauh lebih kecil kalau dibanding bantuan USA yang diterima rezim Kuo Min Tang (baca Guo-mindang). Dengan singkat ini dapat disebut: Komunis beserta sekutunya bisa mencapai kemenangan gemilang, pertama tama, karena menggunakan kekuatan sendiri.
1949. Tatkala komunis mengambil alih kendali kekuasaan, negeri Cina berada dalam keadaan parah; jutaan jiwa melayang, akibat perang terus menerus. Disamping itu, kebanyakan intelegensia (ilmuwan, dokter dlsb.nya) minggat keluar negeri. Ekonomi morat marit (inflasi!). Infrastruktur hancur; jalan/rel kereta api rusak berat, dam sengaja dijebol tentara nasional untuk menghindari serangan tentara Jepang. Sehingga sistim pengairan nyaris tak berfungsi. Perang melawan Jepang makan korban nyawa dan harta sangat besar. Akibat perang, rakyat Cina, yang hidupnya memang sudah melarat dan selalu kelaparan itu, menjadi tambah melarat lagi. Dan, tidak ada lembaga (jawatan sosial) yang mengurus orang-orang miskin. Sebagian besar nasib keluarga tak menentu. Para orang tua tak sanggup lagi memberi makan anak-anak mereka, sehingga banyak sekali terdapat anak-anak terlantar. Kondisi kesehatan makin buruk. Wabah penyakit menjalar dimana mana. Banyak orang - terutama anak-anak bawah umur - yang mati, baik karena kelaparan ataupun karena wabah penyakit. Sungguh tragis! Sehingga (1935) orang Cina, rata-rata, tidak pernah mencapai umur lebih dari 28 tahun. Lalu, 60 tahun kemudian, (1995) dikabarkan umur rata-rata orang Cina mencapai 69 tahun. Dan ini dapat dianggap sebagai indi-kator bahwa kondisi sosial-ekonomis rakyat Cina, boleh dibilang sudah jauh lebih baik dari pada sebelumnya. Kendati pun demikian, bukan berarti bahwa rakyat Cina kini hidup tanpa masalah.
Problim aktual
Menjelang abad 21, penduduk Cina diperkirakan mencapai 1,3 milyar. Akibat ledakan penduduk, RRC bakal menghadapi problim yang amat serius dimasa depan. Terutama mengenai masalah pengadaan lapangan kerja, sekolah, rumah sakit dan lain sebagainya.
Problim serius tersebut sudah mulai nampak diberbagai bidang yakni pertama sektor pendidikan: sebagian besar anak-anak usia sekolah tidak tamat sekolah dasar. Yang rata-rata cuma mengenyam pendidikan kurang dari 5 tahun. Jika dibanding Korsel, Taiwan dan juga ‘Hongkong’ 90% anak-anak usia sekolah mengenyam pendidikan selama 12 tahun. Yang kedua masalah pro-duksi pangan, misalnya, yang awal tahun 80an pernah meningkat hampir 100 juta ton, dan ini tak dapat dipertahankan apa lagi ditingkatkan, karena 4 juta hektar ladang/ sawah setiap tahun hilang dijadikan peruma-han sebagai akibat dari perluasan kota atau desa. Problim ketiga yang tak kalah penting-nya adalah pengadaan enerji. Sampai akhir abad 20 diperkirakan kebutuhan enerji nasional akan mencapai 1,8 milyar ton batu bara, sedangkan yang tersedia hingga saat ini cuma 1,2 milyar ton. Bahkan seperempat dari kapasitas industri saat ini sudah macet karena kekurangan enerji (listrik). Kemudian yang ke empat masalah infrastruktur: lalu lintas dan jasa transportasi serta telepon tak sanggup mengikuti perkembangan/pertum-buhan ekonomi yang begitu pesat. Problim yang paling gawat yalah masalah finansial. Pertambahan penduduk berarti menambah pengeluaran. Uang yang masuk kekocek negara tak sesuai dengan pengeluaran. Jadi, negara dapat uang dari mana? kredit! Hutang luar negeri RRC, 23,75 milyar US dolar 1986, naik jadi 45,86 milyar US dolar 1990, kemudian membengkak sampai 92,80 US, 1997. Lalu, problim Cina yang ke enam adalah masalah lingkungan hidup. Menurut pakar setempat kerusakan lingkungan rata-rata mencapai 90 milyar Yuan tiap tahun. Industrialisasi bukan saja berarti profit, lapangan pekerjaan, dan seterusnya, akantetapi juga menjadi beban ekologis. Hutan gundul, tanah longsor, erosi, air tercemar limbah industri dll. Dikabarkan Cina bagian utara sudah mengalami keku-rangan air (baik untuk minum ataupun pertanian) yang amat serius.
Berbagai problim yang dihadapi Cina, dewasa ini, bukan merupakan akibat dari kekeliruan 1988/89? Dengan perkataan lain; Sosialisme kalau sudah mulai pakai hitung-hitungan ekonomi pasar (bebas) pasti bakal repot dimasa depan. Sosialisme (hingga 1989) pernah menjadi sebuah alternatif. Itu dulu. Yang dicari sekarang adalah alternatif-nya alternatif.
Nanjie desa komunis alternatif
Nanjie sebagai alternatif? "Desa kami merupakan satu satunya desa komunis di dunia" ujar wakil sekretaris partai, yang juga merangkap sebagai pemimpin perusahan pabrik supermi. "Semua alat-produksi milik kolektif, tak ada milik pribadi". Desa kami adalah desa percontohan yang, dikembangkan sesuai dengan ide-ide Mao Zedong". Singkatnya, >>Nanjie mempraktekkan ekonomi kolektif kedalam dan ekonomi pasar keluar<<
Sebelum 1985 Nanjie merupakan desa miskin terkebelakang dengan penduduk 3,130 jiwa. Sumber pendapatan berasal dari 26 perusahan yang, sebagian besar mengolah hasil-hasil pertanian setempat untuk mem-produksi bahan makanan/minuman, susu, supermi, arak/bir dll. Dari 12.000 jumlah buruh/karyawan 1.300 orang terdiri dari penduduk desa setempat yang penghasilan perkepala pertahunnya rata-rata 1800 yuan. (Tak termasuk jatah gratis). Sedangkan untuk seluruh Cina, income perkapita tak lebih dari 1.221 yuan. Pertanyaan, kalau begitu, lalu, dari mana datangnya modal investasi untuk industrialisasi? Seorang elit-politik konservatif Beijing menghimbau agar bank menyediakan dana khusus sebesar 420 juta yuan untuk Nanjie, (Barangkali sebagai satu bukti bahwa komunisme sebagai alternatif untuk mengatasi kemiskinan masih memungkinkan).
Pofit yang diperoleh dari 26 perusa-haan yang beroprasi di Nanjie, bukan saja dire-investasikan lagi, akan tetapi juga digunakan untuk membangun rumah/aparte-men, gedung-gedung perkantoran, sekolah dasar/menengah dan taman kanak-kanak. >>Nanjie hanya untuk Najie<< Desa mem-berikan barang dan jasa cuma-cuma, tapi hanya buat warga ‘penduduk asli’ desa tersebut. Orang dari desa lain, dianggap dan diperlakukan sebagai ‘orang asing’. Jaminan untuk warga kelahiran Nanjie, meningkat kl. 2% setiap tahun. Jatah gratis 1996 misalnya; apartemen (lengkap dengan ranjang, meja makan, kursi, kulkas, tv-warna, alat pemanas, AC.), pakaian seragam plus celana dalam, patung porselan Mao, obat-obatan (bagi yang sakit), mandi dan cukur rambut (untuk lelaki), gas, listrik, air pam, plus 31 jenis bahan makanan/minuman seperti beras, tepung trigu, supermi, minyak goreng, gula pasir, buah-buahan (apel, pir, pisang), sayur-mayur (kol, sawi, buncis dll), garam, arak/bir, rokok dan seterusnya. Semua gratis! Begitu pula makan tak bayar di kantin, biaya mulai anak-anak TK, hingga sekolah (SD, SMU dan kalau mau dan sanggup sampai tamat perguruan tinggi) ditanggung desa kolektif. Belum habis sampai disini saja. Menonton pertunjukkan teater/drama atau tari-tarian, ansuransi jiwa, pajak juga menjadi tanggungan desa-kolektif. Bahkan setiap hari raya (1996) misalnya 29 jenis bahan makanan dan minuman dibagikan secara cuma-cuma. Desa kolektif menyedia-kan dana sebesar 2,8 juta yuan untuk kebutuhan warganya. Dengan sendirinya semua gratis. Bagaimana seandainya, bahan makanan yang diperoleh tak habis dimakan sekeluarga? Kelebihan tak boleh dijual. Hasrat untuk ‘menjual’ jatah yang diperoleh secara gratisan, sudah dianggap merupakan pikiran jelek yang, secara ideologis harus dipertanyakan. Jadi, singkat, kelebihan tak boleh dijual. Kelebihan (beras, bir atau arak misalnya) hendaknya diberikan kepada tetangga yang memerlukan atau, dikembali-kan saja, kepada pengurus desa.
Dengan model distribusi jatah-gratisan seperti ini, upah sengaja dibayar minim. Untuk apa uang? Kalau semua kebutuhan pokok terpenuhi. Untuk apa berontak, turun kejalan, demo, kalau tak ada kepentingan untuk itu. Buruh kasar menda-pat upah 180 yuan/bulan atau maksi-mal 250 yuan. Dan sama sekali tak boleh lebih dari itu. Ini juga berlaku untuk fungsionaris partai. Sedangkan insinyur (orang ‘luar’) digajih maksimal 4000 yuan. Upah atau gajih (ekpert/insinyur) orang ‘luar’ 20-30% lebih tinggi dari pada gajih warga desa. Karena, orang-orang luar tidak memperoleh barang/ jasa gratis. Sedangkan gajih petani - karena termasuk pekerjaan berat - rata-rata 30% diatas buruh pabrik supermi. Uang lembur tak dikenal.
Tujuan komunisme: menghapuskan milik pribadi. Kendatipun ini belum tercapai, namun Nanjie berniat untuk melangkah lebih awal. Itulah sebabnya, kenapa semua kebutuhan pokok rakyat (baca warga Nanjie) seperti beras, supermi, minyak goreng dan rokok, dibagikan cuma-cuma. Dengan demikian Nanjie juga sekaligus mendemonstrasikan bahwa proyek komunisme masih memiliki harapan dan dapat direalisir. Bukan utopia. Dan ‘’komunisme’’ macam ini, tak ada sangkut pautnya dengan nama-nama besar seperti Marx, Lenin atau Engels, melainkan
Mao. (internationales asienforum, desember 1997, hal. 87-319) Apakah ini merupakan satu kenyataan? Atau, ada kenyataan lain?
Sejak Cina melakukan reformasi ekonomi, 90% industri baja, industri senjata berat dan mesin-mesin di daerah utara, Mansyuria, teramcam, atau sudah benar benar bangkrut (DER SPIEGEL 10/1998). Industri berat ini tak sanggup bersaing dengan perusahan privat dalam negeri, apa lagi dengan multi konsern internasional sudah pasti kalah. Hasilnya? PHK masal.
Pengangguran. Prostitusi. Kriminalitas meningkat drastis. Kalau begitu. Apakah RRC bakal bangkrut, kayak Sovyet? Nanti dulu. Begini. Paradoks: tatkala Asiatenggara diguncang badai krisis moneter, anehnya justru Cina yang berdiri bagaikan batu karang. Situasi politik dan ekonomi, di Cina menurut gubernur bank sentral Dai Xiang cukup stabil. Sehingga Renminbi (‘dolar’ RRC) tak bakal di-devaluasi. Seandainya ini dilakukan Beijing, maka turbulensi pasar uang, dari Jakarta sampai ke Manila, dari Seoul sampai Bangkok, dapat memicu krisis ekonomi. Dan ini berarti pukulan yang amat berat buat Cina sendiri. (NZZ. 17/18 Jan. 1998).
____________________________________
* Nyoman Aryana, Politolog (FU-Berlin)