IPTN, kecelakaan pesawat dan pahlawan nasional

Sebuah pesawat produksi IPTN versi militer telah jatuh pada tanggal 22 mei landasan rumput lapangan udara Gorda milik TNI AU di Serang Jawa barat. Ini bukan merupakan kecelakaan pertama pesawat buatan IPTN. Kita masih ingat jatuhnya pesawat CN 235 milik Merpati yang dipiloti oleh sorang putri (Firda Panggabean, red) pada tahun 1993 lalu. Ketika itu sebelum selesai hasil penelitian penyebab kecelakaan pesawat, Habibie langsung saja menyebut itu sebagai kesalahan Pilot. Selain itu, pada tanggal 25 April 1997, terjadi juga kecelakaan pesawat buatan IPTN jenis Loter no. PK - 3 - 089 milik PT Argo Wisata Lido. Pesawat ini jatuh di daerah Bogor, dan Pilotnya yang selamat dari kecelakaan ini memberi keterangan bahwa pesawat mengalami kerusakan mesin.

Kali ini yang jatuh adalah pesawat versi militer. Menurut penelitian tim investigasi kelaikan udara Dephankam, penyebab terjadinya kecelakaan pesawat adalah akibat kekhilafan dalam menggunakan jenis strap/tali pengikat parasut. Jenis tali yang seharusnya dipakai adalah yang memiliki safety margin sebesar 137 %, sedangkan yang dipasang hanya memiliki 17 %. (Suara Pembaharuan tanggal 11 Juni 1997). Yah, kesalahan pemilihan jenis tali, dus kesalahan orang. Namun ada kesan seolah olah ketika menyebutkan penyebab kesalahan itu adalah kesalahan orang otomatis membebaskan kesalahan pesawatnya. Padahal pesawat tersebut tidak lain adalah produk manusia juga.

Kecelakaan pesawat bukan monopoli produk IPTN, ini jelas. Bahkan pesawat industri industri ternamapun tidak lepas dari kecelakaan. Pada kecelakaan pesawat Merpati di tahun 1993, terlihat kesan betapa pimpinan IPTN, khususnya seorang sekapasitas Habibie, begitu terburu-buru menjatuhkan vonis pada manusia hanya untuk melindungi "sebuah pesawat". Semuanya memaklumi bahwa itu dilakukan untuk melindungi kebijaksaan yang ditempuhnya lewat IPTN. IPTN memang telah menghabisi dana rakyat yang luar biasa dan tentu saja rakyat akan terus menagih janji janji yang selalu dikemukakan oleh pimpinan IPTN. Ketakutan untuk dituduh gagal telah menyebabkan pimpinan IPTN melindungi pesawatnya secara gegabah. Sebuah pesawat adalah tetap sebuah pesawat, dia tidak akan lebih bernilai dari martabat seorang manusia.

Namun terlepas dari kritik kritik yang diarahkan kepada IPTN. Terlepas dari tuduhan penghamburan uang negara, tuduhan tidak becus menjual, tuduhan menghasilkan limbah beracun, bahkan terlepas dari "ramai ramai" di pengadilan antara IPTN dan Jakarta Post, diskusi intern API Indonesia kali ini mencoba membahas kecelakaan pesawat versi militer tersebut dari sudut lain.

Pahlawan Nasional.

Bahwa yang menjadi korban dari kecelakaan pesawat tersebut adalah kader kader muda bangsa membuat kita ikut bersedih. Bahwa mereka adalah kader kader profesional yang memang pakar di bidangnya, membuat kita juga makin berduka akan kepergian mereka. Namun bahwa mereka, rekan rekan yang malang itu, dengan serta merta diangkat menjadi pahlawan nasional dan dimakamkan di taman makam pahlawan, adalah hal lain yang perlu direnungkan dan dikritisi dengan lapang dada.

Apakah atau siapakah pahlawan nasional itu? Bagaimana kriteria yang dimiliki agar seseorang digelari pahlawan nasional? Siapakah yang berhak mengusulkan seseorang menjadi pahlawan nasional? Siapakah yang berwewenang memutuskannya? Ini adalah hal hal yang seharusnya menjadi jelas, untuk menghindari salah kaprah mengenai pahlawan nasional sehingga malah mengalami degradasi nilai.

Kata Pahlawan jelas mempunyai arti relatip. Seseorang dapat menjadi pahlawan untuk suatu bangsa serta sekaligus menjadi penjahat besar untuk pihak lain. Kata nasional menjadi unsur pembatas. Pahlawan nasional Indonesia, adalah orang yang berjasa bagi bangsa Indonesia dan mempunyai andil besar dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan Indonesia. Cita-cita kebangsaan kita apa? Kembali mengacu pada proklamasi kemerdekaan dan mukadimah UUD'45., yaitu membentuk sebuah negara yang merdeka, yang berdasar pada kedaulatan rakyat dan menghargai martabat kemanusian serta yang akan mewujudkan masayarakat Indonesia yang makmur secara adil dan merata. Dus pahlawan nasional Indonesia mestinya mereka yang sangat berjasa dalam perjuangan merebut kemerdekaan, dalam menegakkan kedaulatan rakyat dan nilai nilai kemanusiaan di negara merdeka tersebut serta yang dengan penuh pengabdian berusaha mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi bangsanya. Kita kenal pahlawan pahlawan dalam buku sejarah. Sampai tahun 70-an, nama nama seperti Syahrir, Tan Malaka, Moh. Husni Thamrin, Hatta, Sukarno dll tidak menjadi asing di telinga anak anak SD, disamping nama nama seperti Sultan Agung, Diponegoro, Imam Bonjol, Patimura, Antasari, Singamangaraja dll. Juga nama nama seperti Ki Hajar Dewantoro, Wahidin Sudirohusodo, Douwes Dekker. Terlihat ada mata rantai yang jelas antara pahlawan pahlawan itu dalam kaitan dengan jasa mewujudkan cita-cita nasional. Walaupun buku buku sejarah resmi sering memutarbalikan fakta, sehingga nama nama besar sekarang sudah menjadi asing bagi telinga anak anak SD (bahkan anak anak SMU) karena dilenyapkan dari buku sejarah, namun nama nama itu tetap menjadi atau seyogyanya tetap menjadi standard nilai nilai kepahlawanan. Mereka adalah manusia manusia yang memberikan hampir seluruh hidupnya untuk mengabdi bangsa dan negara, sering tanpa pamrih, penuh pengorbanan. Walaupun mereka tetap manusia yang memiliki kelemahan kelemahan sehingga wajar wajar saja jika suatu saat membuat kekeliruan, namun keistimewaan mereka menjadi sangat dominan sehingga layak dijadikan panutan oleh generasi muda bangsa yang akan hadir di sejarah bangsa seterusnya. Disinilah nilai utama dari seorang pahlawan nasional, yaitu patut menjadi panutan bangsanya. Dan ini harus diakui sangat langka. Wajar jika salah satu bapak bangsa yang baru baru ini meninggal dalam usia 94 tahun, yaitu Prof. Sunario (salah satu pencetus Sumpah Pemuda) digelari "manusia langka" oleh penulis biografinya.

Pahlawan memang lahir pada jamannya. Ciri dan karakter pengabdiannya, walaupun tetap sama dalam alur usaha mewujudkan cita-cita bangsa, memang tergantung pada jaman. Adalah wajar jika pahlawan jaman sekarang berasal dari kelompok profesional. Namun, mesti ada mekanisme yang disepakati bersama. Penganugerahan gelar tersebut, tidak bisa hanya karena faktor emosional belaka. Harus ada mekanisme yang akan mempertimbangkan apakah sang calon pahlawan itu memang pantas menjadi panutan bangsa?

Mungkin bung Erwin (pilot pesawat nahas, red) cs., memang pantas menjadi pahlawan nasional. Habibie dan IPTN serta rekan rekannya bisa saja mengusulkan hal tersebut. Usul itu harus dilengkapi dengan alasan alasannya dan lembaga berwewenang, mungkin MPR, akan mempertimbangkannya. Jika diputuskan memang layak, barulah presiden mengeluarkan keputusan itu. Jika untuk Bung Karno dan Bung Hatta saja, diperlukan sebuah SK Presiden beberapa tahun setelah bung Hatta meninggal, untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada kedua proklamator itu, apalagi untuk orang lain di republik ini?

Sebenarnya pahlawan sejati tidak membutuhkan segala gelar dan penghormatan. Mungkin karena itulah bung Hatta memilih dimakamkan di tanah kusir, sedangkan bung Karno di Blitar. Pahlawan sejati dilihat oleh nurani rakyatnya, karena dicintai oleh rakyatnya. Pahlawan sejati tidak pernah memiliki rakyat, karena mereka dimiliki oleh rakyatnya. Mereka hidup di tengah rakyat bahkan jauh setelah jasadnya dibaringkan di haribaan ibu pertiwi.

Jangan biarkan nilai mereka menjadi luntur karena kita membiarkan saja munculnya pahlawan-pahlawan buatan karena kepentingan kelompok.

Dari Diskusi Intern
Api Indonesia Berlin ,
Awal Juni 1997.


Kembali ke Daftar Isi