Pengantar.
Dalam beberapa bulan yang lalu, selain acara-acara internnya sendiri, API Indonesia mengadakan 3 buah diskusi yang dihadiri juga oleh non anggota. Pada bulan Mei bertempat di Asrama Mahasiswa Hafenplatz, berlangsung diskusi dengan Tema Kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Diskusi yang sekaligus dipakai untuk memperingati Hari kebangkitan Nasional itu adalah diskusi terbuka yang dihadiri oleh para mahasiswa Indonesia di Berlin. Sebuah pengantar diskusi disajikan oleh rekan Iwan Setiabudi. Pada bulan Juli, API Indonesia sekali lagi mengadakan diskusi terbuka. kali ini pembicaranya adalah sejarahwan Ong Khok Ham yang kebetulan berada di Berlin. Tema diskusi: Kebangsaan Indonesia dalam perspektif sejarah. Ringkasan dua diskusi ini disajikan oleh Koordinator Diskusi Api Indonesia, rekan R.Budiarto. Diskusi yang ketiga antara anggota API Indonesia serta beberapa teman yang berminat dengan pembicara: sosiolog Ignas Kleden akan disajikan para terbitan berikut.
Kebangsaan Indonesia dalam Perspektif Sejarah
(Ceramah Onghokham di TU Berlin 17 Juli 1996)
Kebangkitan Nasional dirayakan untuk pertama kalinya pada tahun 1946 di Jogja. Hal ini diperlukan untuk menimba semangat perjuangan bangsa Indonesia sekaligus untuk merefleksi nilai-nilai kebangsaan itu sendiri.
Bagaimana sebenarnya konsep kebangsaan Indonesia terbentuk?
Paham-paham kebangsaan Indonesia dibentuk oleh konsep-konsep internasional (barat), dan tentunya oleh keadaan dan kondisi masyarakat kolonial itu sendiri. Pengaruh luar tersebut lahir setelah revolusi Prancis (1789). Konsep Barat (revolusi Prancis) ini terlihat dalam peristiwa proklamasi kelahiran bangsa Indonesia pada 28 Oktober 1928, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda, satu Tanah Air, satu Bangsa, dan satu Bahasa, yang kelihatannya diambil dari Ernest Renan, filsuf nasionalisme Prancis di abad XIX.
Hindia Belanda sebenarnya sangat rasialis, seperti kebanyakan koloni. Orang kulit putih menjadi golongan berkuasa, golongan Timur Asing (Arab, Cina, India) golongan perantara. Sedangkan golongan pribumi menempati posisi terbawah. Ada semacam kebijaksanaan politik apartheid, separatisme atau pemisahan satu golongan dari golongan lain.
Jawa yang paling lama dijajah, menjadi pusat jajahan dan sekaligus pusat pergerakan. (Indonesia bukan dijajah selama 350 tahun tapi 100 tahun sesudah perang Diponegoro 1830, sebelumnya adalah kongsi antara raja-raja Jawa dan kumpeni).
Gerakan pertama anti pemerintah kolonial dengan tuntutan-tuntutan hak persamaan dengan Belanda (Barat) datang dari golongan Timur Asing (Cina).
Golongan Cina yang juga didiskriminasi menuntut penghapusan restriksi-restriksi fisik padanya, seperti sistem kampung cina, pas jalan, pemungutan pajak khusus, dstnya. (akibat sistem penghettoan kekuatan ekonomi cina terakumulasi dan melahirkan konglomerat pertama Asia Tenggara, Oei Tiong Ham).
Salah satu wujud pergerakan adalah berdirinya sekolah-sekolah THHK (Tiong Hoa Hwe Koan). Sebagai imbangan pemerintah Hindia Belanda mendirikan HCS (Hollands Chineesche School) dan setahun kemudian berdiri HIS (Hollands Inlandsche School).
Gerakan-gerakan ini cukup berpengaruh terhadap timbulnya gerakan-gerakan Nasional pribumi. Hal ini jarang disebut, karena kelemahan penulisan sejarah Indonesia yang tidak melihat sejarah hubungan-hubungan.
Satu catatan harus diberikan, gerakan Cina di Hindia Belanda ini hanya menuntut penghapusan restriksi-restriksi fisik terhadapnya. Gerakan tersebut memang sukar terintergrasi dalam gerakan Nasional sesudahnya. Baru pada tahun 1930 an, ia bersifat ideologis dan menentang penjajahan dalam gerakan PTI (Partai Tionghoa Indonesia) dan pro Indonesia.
Ketika gerakan nasionalisme Indonesia lahir, maka pada permulaan ia berkisar pada simbol-simbol budaya, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam dan lainnya. Baru pada bagian kedua 1920 an, konsep Indonesia sebagai konsep politik muncul. Sebelumnya istilah "Indonesia" hanya dipakai sebagai konsep ilmiah oleh para ahli geografi, etnologi dan sarjana lainnya.
Salah satu detik paling penting dari proses mewujudkan Indonesia sebagai konsep politik adalah saat diproklamasikannya sebagai bangsa, yakni pada 28 Oktober 1928 -yang dikenang dalam sejarah sebagai Sumpah Pemuda.
Konsep bangsa atau nation adalah ciptaan manusia, dan khayalan atau imagined community. Pada dasarnya nation ini non-feodal dan sekuler.
Dalam revolusi Prancis, konsep nation ini terikat pada konsep warga, jadi konsep nasionalisme Barat yang tak terlepas dari masalah rasial sudah ditinggalkan. Anehnya konsep bangsa (dalam arti ras) lebih berlaku, sedangkan kalau diingat heterogenitas kepulauan Indonesia, konsep warga seharusnya lebih berlaku.
Dalam konsepsi kebangsaan Indonesia sedikit banyak terlihat konsep Ius Sanguinis, yakni berdasarkan darah atau keturunan. Dalam pengaruh globalisasi kebanyakan negara lebih mengakui prinsip kewarganegaraan Ius Soli, yang berdasarkan tempat kelahiran. Akhir-akhir ini di Indonesia diadakan kemudahan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia bagi keturunan-keturunan Cina. Mungkin Indonesia juga sudah mulai menuju prinsip kewarganegaraan Ius Soli.
Diskusi Antar Mahasiswa Indonesia Di Berlin.
Tanggal: 20 Mei 1996 di Hafenplatz
Pengantar diskusi oleh: Iwan Setiabudi.
Kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Bunyi pasal 28 diatas memang kurang tegas. Hal ini terjadi karena polemik yang cukup sengit dalam sidang pleno BPUPKI 14-16 Juli 1945. Soepomo arsitek rancangan UUD 45 berhadapan dengan Hatta. Soepomo dan Soekarno tidak setuju hak-hak warga negara ditonjolkan. Alasan mereka, hal tersebut berbau individualisme barat dan tidak sesuai dengan corak masyarakat Indonesia. Alasan ini sesuai dengan paham integralistik yang digandrungi Soepomo. (teori yang dipelopori oleh Spinoza, Adam Müller dan Hegel). Menurut Soepomo Negara dan rakyat adalah satu kesatuan/integral. Yang ada adalah semangat kekeluargaan bukan individualisme. Hatta yang juga menolak individualisme mengatakan "kalau hak-hak rakyat untuk mengeluarkan tidak dijamin, mungkin akan terjadi disiplin buta, asal ikut pemimpin saja".
Meskipun kedua-keduanya menolak individualisme, akan tetapi posisi mereka amat berbeda. Hatta bertolak dari demokrasi desa yang terikat misalnya pada tradisi protes, rakyat merebahkan diri di alun-alun di depan kraton protes ketidak adilan yang mereka derita. Soepomo bertolak dari kepala desa.
Namun, kedua pihak toh mau berkompromi. Dan hasil kompromi tersebut adalah pasal-pasal yang menjamin hak warganegara. Yaitu pasal 28, pasal 27 (persamaan warga negara di depan hukum dan hak mendapatkan penghidupan), pasal 29 (kebebasan beragama), pasal 31 (hak mendapat pendidikan) dan pasal 34 (hak fakir miskin dan anak-anak terlantar).
Seperti UU Jerman, UU Indonesia dibikin dalam keadaan darurat. Di Jerman walaupun demikian telah tercipta masyarakat yang cukup demokratis adil makmur. Bagaimana dengan di Indonesia?
Situasi pemerintahan orde baru yang maunya menjaga kestabilan ternyata membawa efek-efek negatif tertentu. Antara lain, pengartian pasal 28 yang sangat membatasi. Lebih dari 5 orang berkumpul tidak hanya perlu lapor, melainkan perlu izin. Seminar ilmiah, apalagi non ilmiah, perlu izin dan izin hanya diberikan kalau tema dan pembicara disetujui pemerintah.
Mengkritik Presiden secara langsung dalam bentuk apapun, tidak dimungkinkan, misalnya di MPR lembaga tertinggi selama orba tak pernah kedengaran.
Kritik-kritik tajam dapat dituduh melakukan penghinaan, subversif (berdasarkan UU subversif warisan orla) atau menyebarkan kebencian (berdasarkan haatzaaiartikelen, warisan kolonial Belanda, yang pada jamannya ,tahun 30an, digunakan untuk membungkam founding fathers Indonesia).
Penjelasan pasal 28 (baca UUD 45 dan penjelasannya) yang menyatakan hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan, tampaknya masih berupa hasrat saja.
Hal ini jelas, jika mencermati kehidupan Pers Nasional. Sementara UU Pers yang tingkatnya lebih tinggi dari Peraturan Mentri mengatakan Pers Indonesia tak boleh dibredel, tapi Permen mengatakan SIUPP bisa dicabut. Menurut salah satu peserta diskusi ini merupakan "komplikasi hukum" yang sering terjadi pada orba ini.
Memang kebebasan ada batasnya, di Jerman juga ada, misalnya artikel 5,2 GG (Grund Gestetz = Undang Undang Dasar) perlindungan terhadap anak-anak dibawah umur dan hak perlindungan nama baik seseorang. Tapi di Indonesia pembatasan-pembatasan itu tidak jelas. Yang ada hanya kata-kata seperti bebas ya bebas tapi kan ada batasnya, atau kebebasan yang bertanggung jawab dan kata-kata abstrak lainnya yang memang kedengaran bermoral tapi tak jelas apa maksudnya. Apa yang dimaksud bertanggung jawab dan batas-batas kebebasan mana sering tidak jelas, seperti kasus pembredelan Tempo, Detik, Editor. Batasan kebebasan itu harus dituangkan secara tegas dalam hukum yang berlaku, yang mengikat semua baik masyarakat sipil. militer maupun pemerintah. Hukum dan Aparat penegak hukum yang independen adalah satu-satunya pembatas legal dari sebuah kebebasan. Pembatas yang lain adalah sikap moral masing-masing pribadi.
R. Budiarto