Sampai hari ini, api masih juga berkobar di berbagai pelosok Nusantara, tulis FORUM KEADILAN 17 November 1997. Tak jelas, berapa juta hektar hutan yang telah dilalapnya. Kendati berbagai upaya telah dilakukan, termasuk menerima bantuan pemadam kebakaran dari Malaysia, Jepang dan Amerika Serikat, sang jago merah yang marah belum bisa ditaklukkan sampai tuntas. Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menaksir nilai kerugian akibat kebakaran itu mencapai Rp 11 Triliun.
Memang, banyak titik API bisa dipadamkan. Tapi, yang namanya API, ya begitu lah. Pasalnya, bersamaan dengan itu, sejumlah titik api baru pun bermunculan. Satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional mencatat setidaknya ada 53 titik api. Bukan saja di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tapi juga, "Sulawsi dan NTT, yang tadinya tak pernah dilaporkan terbakar", kata Ketua Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Nabiel Makariam.
Yang memusingkan, tentu saja ulah api yang latah mengglobal. Akibat
kelatahan sang jago merah itu, asap tebal pun menyelimuti kawasan
Asia Tenggara selama berpekan-pekan. Praktis, dalam soal pengganyangan
Malaysia dan Singapura, Presiden Suharto lebih berhasil ketimbang Presiden
Sukarno. Akibat gentayangannya sang asap ini pula, sekitar
20 juta orang terancam sesak nafas, infeksi saluran pernafasan hingga kematian
di kawasan tersebut. Asap tebal ini pula lah yang dituding sebagai penyebab
kecelakaan pesawat Garuda dan rentetan tabrakan kapal laut di Selat Malaka.
Bukan saja pernapasan terganggu, namun aktivitas masyarakat pun terseret
terbatuk-batuk. Kerugian besar tentunya kemudian diderita. Lantaran akses
serta sarana perekonomian mereka terganggu. Jalur kehidupan lain, seperti
pendidikan pun mengalami hal serupa.
BIA BERPERAN DALAM MELUASNYA KEBAKARAN HUTAN
Sesunggungnya, Badan Intelijen ABRI (BIA) ternyata merupakan pihak yang harus ikut bertanggungjawab atas meluasnya kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap hingga ke Jepang Selatan itu.
Sebuah sumber di Kantor Menteri Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa BIA menyimpan citra satelit cuaca LANDSAT yang diambil satelit itu bulan Juni lalu di mana sudah terdeteksi adanya kebakaran.
"BIA rupanya menganggap citra satelit itu sebuah rahasia intelijen hingga tidak dibagikan ke instansi instansi terkait. Jika kami mengetahuinya sejak awal maka kebakaran itu tidak akan separah ini," kata sumber itu.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadja membenarkan bahwa
BIA memang tidak membagi citra satelit itu ke kantornya. Itu dikatakannya
dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa cetak dan elektronik
pada Akhir September 1997 lalu. Kebakaran hutan yang meluas dan menjadi
bencana regional itu mulai terjadi bulan Juni, kemudian semakin membesar
dan meluas bulan Agustus. Bulan September, kondisinya semakin parah dan
tak bisa dikendalikan.
Selama Rejeki Bisa Ditunai, Badai pun Boleh Dituai
Bencana kebakaran yang menggegerkan kali ini, bukan lah bencana yang pertama kalinya. Tahun 1996 misalnya, 10,3 ribu hektar hutan habis terbakar. Lalu tahun 1995, tak kurang dari 6,7 hektar hutan menjadi korban kelatahan api. Sebelumnya, pada tahun 1994, sekitar 5 juta hektar hutan di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Bali telah menjadi mangsa GPK Jago Merah. Kala itu, asapnya pun telah menyerbu Malaysia dan Singapura tanpa memakai kulo-nuwon (permisi). (Catatan: Harap diketahui saja: istilah tanpa memakai kulo-nuwon ada lah istilah yang dipergunakan oleh Mayjen Agum Gumelar bagi orang-orang atau kelompok yang menunggangi atau memanfaatkan suatu kejadian).
Pada tahun 1994, Menteri Lingkungan Hidup Sarwono sudah mengakui, bahwa Indonesia tidak sanggup menanggulangi kebakaran hutan. Kala itu yang dijadikan alasan penyebab kebakaran ada lah a.l. aksi-aksi yang disengaja sebagai protes terhadap perusahaan-perusahaan kayu dan program transmigrasi pemerintah yang disulut oleh ketidakpuasan penduduk setempat.
Perusahan-perusahan pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) itu sendiri, tentu bebas dari tudingan. Yang justru memperihatinkan, Pada tahun itu juga lah, Presiden Suharto mengucurkan dana pemulihan hutan sebesar 184 Juta Dolar AS ke IPTN.
Sebelum-sebelumya, rentetan kebakaran hutan pun terjadi pada tahun-tahun 1982/1983 dan 1986/87 dan 1991. Kebakaran tahun 1982/1983 merupakan kebakaran yang terbesar, oleh sebab pecahnya bencana itu, musim kering berbulan-bulan lamanya datang menyusul. Pada tahun 1982/1983 itu juga, efek "El-Nino" pun bukan barang baru. Kesohoran El-Nino pun sudah setara dengan El-Nonik.
El Nino ada lah julukan buat pemanasan air laut yang muncul tak periodik di mulut pantai Peru dan Ekuador. Akibat pemanasan air laut, sirkulasi udara pun terseret berubah -- dan secara global. Kita lihat, globalisasi pun sudah dikenal tahun itu. Dampak perubahan sirkulasi ini ada lah tertahannya curah hujan. Menurut pengalaman, kehadiran El Nino ada lah seratus tahun sekali.
El Nino ini pula lah yang dituding menjadi bencana kekeringan dan kelaparan di Kabupaten Jayawijaya (Irian Jaya), berentetan dengan bencana kebakaran barusan. Sekitar 500 orang tewas menjadi tumbal El Nino. Pada hal, pada bulan Oktober 1983 saja, di desa Nipsan di Kabupaten Jayawijaya (Irian Jaya), 36 orang tewas kelaparan akibat musim kemarau yang melanda daerah itu. 5.000 orang lagi terancam rawan pangan.
Ulah GPK Jago merah tahun 1982/1983 itu saja, telah menelan sekitar 3,6 juta hutan di Kalimantan Timur.
Empat tahun kemudian, yakni tahun 1986/87, GPK Jago Merah pun mengamuk lagi di Kalimantan Timur. Bukit keramat yang bernama Bukit Suharto pun habis disantap sang Jago Merah. Bukit Suharto, kabranya harus menerima keludesan sekitar 500 ribu hektar hutan. Selaein itu, GPK Jago Merah pun merajalela di Kalimantan Tengah, Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Akibat kebakaran itu, asap tebal gentayangan merajalela, sehingga menyulitkan penglihatan mata. Menurut Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, penyebab kebakaran tahun 1986/87 ada lah belum padamnya arang yang diakibatkan kebakaran tahun 1982/1983. Namun, pernyataan Emil Salim itu dibantah oleh Kadar Sutrisno, Ahli Kehutanan dari Universitas Mulawarman. Selain itu, yang dituding sebagai biangnya kebakaran kala ada lah penduduk setempat.
Pada tahun itu juga, LSM-LSM seperti WALHI dan SKEPHI telah memperingatkan. Sampai saat itu, kebakaran selalu berlangsung pada setiap musim kemarau dan pemerintah tidak bisa menanggulanginya. Sampai saat itu juga, pemerintah sama sekali tidak pernah memperdulikan langkah-langkah pencegahan bencana serupa ini.
Dan memang, pemerintah tak peduli, kendati ia mengetahui permasalahan
ini. "Pada tahun 1994 pun, pemerintah Indonesia tidak mau menerima kritik
sama sekali", ujar seorang diplomat ASEAN. Maka, permintaan maaf Presiden
Suharto kepada negara tetangga merupakan permintaan maaf yang sangat terlambat.
Presiden Suharto memang tak bisa lagi menutupi, oleh sebab bencana barusan
ini merupakan bencana yang memalukan bangsa dan negara.
Hutan Terbakar, Kocek Keluarga Istana pun Bisa Mekar
Kebakaran hutan yang menyebabkan sekitar 20 juta orang terancam sesak nafas, infeksi saluran pernafasan hingga kematian itu ternyata juga dimanfaatkan sejumlah pengusaha untuk mengeruk keuntungan. Bambang Trihatmodjo, Bos Bimantara, salah satu anak lelaki Presiden Soeharto, dikabarkan merencanakan untuk mengimpor sejumlah pesawat pemadam kebakaran hutan dari Kanada dengan harga tiga kali lipat dari harga sebenarnya.
"Aneh, Bambang bukannya prihatin, malah mau mengambil keuntungan dari bencana nasional ini," kata sumber di Kementerian Lingkungan Hidup.
Bagaimana Bambang harus prihatin, wong bokapnya pun bersikap serupa. Memang, gara-gara malapetaka yang melanda Asia Tenggara itu lah yang membuat Presiden Suharto untuk pertama kalinya mau meminta maaf. Cuma, ucapan itu ditujukan hanya kepada negara tetangganya, dan, bukan para kawulanya di dalam negeri. Kepada mereka, Presiden RI sang pencanang Pelengseran Keprabon (GPK) itu cuma berucap, bahwa kebakaran tersebut merupakan bencana alam.