Saat-Saat Hening Dan Tapa
Nasyan Baraputra
Kitab suci mengajarkan bahwa ketika menciptakan manusia, Allah menghembuskan roh kehidupan kedalam sosok tubuh yang terbuat dari tanah liat, sehingga patung tanah liat itu menjadi hidup.....menjadi manusia. Dan manusia ini adalah ciptaan yang terindah, termolek, tersempurna dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Ajaran agama agama besar, walaupun dibungkus dengan kisah ataupun kalimat-kalimat yang berbeda namun sebenarnya membawa pesan yang senada, bahwa manusia ini memiliki martabat yang sangat agung karena makhluk ciptaan ini memiliki sisi atau unsur ilahi yang bersumber dari chaliknya sendiri, bersumber dari "nafas" Allah. Martabat kemanusiaan makhluk ini, martabat kita dan sesama kita, bersumber dari dan merupakan sebagian kecil dari martabat Allah sendiri.
Pertanyaan yang penting buat kita, adalah apakah kita dapat mengenali sisi ilahi kita sendiri, serta juga sisi ilahi sesama kita. Kehidupan modern yang bising dengan segala macam bentuk persaingan, segala macam bentuk perlombaan telah cenderung membawa kita untuk hanya mendeteksi unsur fisik diri dengan segala kebutuhannya serta unsur fisik sesama sebagai potensi potensi saingan. Ya, hanya unsur fisik yang membutuhkan persaingan, pertandingan ataupun perlombaan. Unsur ilahi hanya mengenal kedalaman penyatuan diri dengan "sesamanya" yang juga ilahi. Unsur ilahi selalu ingin beresonansi dengan unsur ilahi sesama. Keramaian dunia ini telah mendorong eksploitasi unsur badani secara habis-habisan dan menenggelamkan unsur ilahi sehingga hampir mustahil dikenal lagi. Amplitudo resonansinya pun menjadi makin kecil. Karena itulah, bagi makhluk manusia yang rindu untuk dapat menyentuh lagi "tubuh ilahinya", serta menangkap lagi resonansinya, saat saat hening dan tapa adalah sarana dan katalisator yang baik.
Karena itu bersyukurlah kita, karena agama-agama selalu menyediakan saat saat hening dan tapa. Karena itu sangat wajar ketika umat Muslim sedunia mengucapkan selamat datang hai Ramadhan....bulan yang terberkati.....bulan penuh berkat dan rahmat. Karena itu kita juga memahami keseriusan umat Kristen menjalani masa-masa puasa dan pantangnya, sebulan sebelum hari raya Paskah. Juga ketika umat Hindu merayakan hari raya Nyepi. Di saat-saat ini, bukan saja karena diperintah oleh agama namun juga dengan kesadaran penuh, kita mengurangi kecenderungan-kecenderungan badani, mereduksi nafsu nafsu persaingan-perlombaan yang menjadi ciri kebisingan dunia untuk mendapatkan lagi mata, telinga,hidung.... tubuh ilahi kita. Dunia tetap ada dan kita tetap ada dalam dunia. Hiruk-pikuk persaingan dunia tetap ada dan kita tetap berada, bahkan menjadi bagian dari hiruk-pikuk tersebut. Kita tidak dapat lari dari realita itu. Yang dapat kita lakukan adalah tidak melupakan sisi ilahi kita dan sesama, ketika tenggelam dalam usaha memenangkan persaingan dengan sesama kita. Disanalah dasar dari penghargaan kita atas martabat kemanusiaan sesama kita yang sekaligus merupakan martabat kita sendiri. Pemerkosaan martabat sesama hanya mungkin dilakukan oleh makhluk manusia yang juga tidak memiliki martabat kemanusiaan, karena ketidakmampuan untuk mengenali "tubuh ilahi" sesama bersumber dari ketidakmampuan untuk dapat merasakan "tubuh ilahinya sendiri".
Kita bersyukur dan berbangga bahwa bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang memiliki spiritualitas yang tinggi. Oleh karena itulah, bangsa kita menempatkan agama sebagai institusi yang terhormat. Agama-agama besar hadir dan tumbuh bersama-sama di bumi nusantara ini. Agama- agama itu pula telah turut memberi warna perjalanan sejarah kita sebagai suatu bangsa. Agama agama itu, telah menjadi sumber kekuatan spiritual yang menjadi inti dari segala macam kekuatan yang menggerakan perubahan perubahan positip pada setiap titik belok sejarah bangsa. Sebagai anak dari bangsa yang besar ini, kita dapat berbangga dan berdiri tegak dalam pergaulan antar-bangsa.
Sayang, sebagai anak dari bangsa ini, kita juga harusnya malu dan bersedih atas rentetan kejadian baru-baru ini. Mulai dari kejadian di Timor Timur, Pekalongan, Jakarta 27 Juli, Surabaya, Situbondo, Tasikmalaya Singkawang dan terakhir ini Rengasdengklok menunjukkan pada kita, betapa kita masih belum mampu mengenali tubuh ilahi kita masing-masing. Rasa malu kita semakin bertambah ketika menyadari bahwa agama sebagai institusi yang bertanggung-jawab pada kepekaan kemanusian kita untuk mengenali tubuh ilahi tadi, kelihatannya justru menjadi penyebab dari beberapa kejadian di atas. Di sini ada sesuatu yang sangat tidak pas. Jika benar agama yang menjadi sumber inspirasi dari kejadian kejadian di atas maka metode metode pengembangan unsur ilahi yang dijalankan oleh institusi ini sudah sepantasnya direvisi, sekurang-kurangnya dipertanyakan kembali.
Namun ternyata tidak demikian. Agama an sich kelihatannya bukan menjadi sumber utama dari segala kejadian yang memalukan itu. Perlahan-lahan tapi pasti akan terkuak secara sangat telanjang segala bentuk persaingan, perlombaan dan pertandingan yang menjadi akar dari segala kejadian tersebut. Persaingan dan perlombaan yang menjadi ciri dominan dari tubuh fisik manusia, bukan saja telah menenggelamkan tubuh ilahinya, bahkan juga telah dengan sangat kejam menggunakan agama sebagai senjata dalam persaingan tersebut. Beberapa orang pintar bangsa kita bertutur bahwa kejadian kejadian di atas bersumber dari kesenjangan sosial yang ada. Ini tentu ada benarnya. Kepekaan keilahian kitapun menjadi sangat penting dalam usaha untuk mengatasi kesenjangan ini. Namun pernahkah orang orang pintar yang sama itu merenungkan dampak dari pernyataan-pernyataan, artikel artikel ataupun wawancara-wawancara yang sebelum ini mereka lansirkan, yang juga menggunakan agama sebagai senjata dalam persaingan persaingan politik maupun ekonomi. Tidakkah itu juga ikut memberi andil dalam mempersiapkan kondisi sehingga "daun-daun kering " itu gampang terbakar.
Makin getir hati ini, jika benar bahwa semua peristiwa itu telah dipersiapkan, bahkan dengan rapat rapat yang matang. Makin gundah kita jika benar bahwa memang ada konspirasi dari beberapa kelompok yang berkepentingan sehingga merekayasa kejadian kejadian tersebut. Dimanakah bersemayam tubuh ilahi anda ?
Bagi kita, bagian dari bangsa ini yang biasa-biasa saja, bukan orang pintar, bukan pejabat, bukan Jendral, bukan orang kaya, bukan pahlawan ataupun cucu pahlawan, sehingga tidak mampu untuk berkonspirasi...yaaa bagi kita kita ini....yang masih sedikit menyadari bahwa kita lebih dari mahkluk lain hanya karena adanya tubuh ilahi kita....marilah kita berusaha terus agar tetap mampu menangkap getaran getaran ilahi karunia sang Chalik yang bersemayam dalam diri kita sendiri dan dalam diri sesama kita. Yaa, sesama kita, sesama bangsa dan sesama makhluk manusia.
Selamat menjalani saat saat hening dan tapa dalam puasa Ramadhan buat para saudara/i sebangsa yang beragama Islam,. selamat memasuki masa puasa buat umat Kristen serta selamat menjalankan hari raya Nyepi buat saudara/i sebangsa yang beragama Hindu.
Semoga Hari Raya Idul Fitri, hari Raya Paska serta hari raya Nyepi tersebut, benar benar menjadi Hari Raya kemenangan tubuh ilahi atas tubuh fisik kita sehingga dalam kehidupan berbangsa, setiap perlombaan, setiap persaingan yang tentu akan selalu ada, kita jalani dengan tetap menghargai tubuh ilahi dalam setiap saudara sebangsa. Hanya manusia yang tidak mampu lagi menangkap getaran ilahinya sendiri, akan kehilangan kemampuan untuk menangkap getaran ilahi sesama. Di sana nafsu nafsu badani menjadi warna dari segala perlombaan duniawi. Di sana manusia tak ada bedanya dengan makhluk lain. Di sana kita bersama menjadi saksi, bahwa pengakuan mereka atas agama hanyalah pengakuan verbal semata.
Sekali lagi selamat berpuasa, tapa dan pantang......selamat menemukan fitrah diri dan fitrah sesama.
Selamat hari raya Idul Fitri kepada saudara/i sebangsa yang beragama Islam...
Selamat hari raya Paskah kepada saudara/i sebangsa yang beragama Kristen