Seminar Pemilu
(Laporan pengamatan: Kristianto S)
Menyongsong Pesta Demokrasi Mei 1997, kali ini PPI Pusat Jerman tampil dengan seminar Pemilunya dengan mengundang delegasi dari para kontestan pemilu dan institusi pemantau pemilu, diantaranya Sekjen DPP Pusat Tosari Widjaja, Sekjen DPP Pusat PDI Alexander Litaay didampingi Paulus Widiyanto, Beathor Suryadi selaku Dewan presidium KIPP, Rochiyat Kartawihardja ketua KIPP Eropa, selain itu seminar ini diramaikan pula oleh pengamat Indonesia dari Humboldt Universität Berlin Ibu Prof. Wessel dan Prof. Christian Wagner seorang pengamat Pemilu International. Sementara dari Golkar dan Panwaslak Pemilu sampai seminar berlangsung belum menjawab undangan PPI Jerman.
Seminar 3 hari yang berlangsung dari tanggal 13-15 Desember 1996 di Berlin dibuka sendiri oleh ketua PPI Pusat Jerman Aldrin Situmeang. Peserta seminar adalah mahasiswa dan masyarakat Indonesia dari berbagai kota di Jerman dan sekitarnya, juga tidak ketinggalan, 'utusan-utusan' dari KBRI di Bonn (Kedutaan Besar RI) dan KJRI (Konsulat Jendral RI) di Berlin ikut meramaikan jalannya seminar.
Jalannya seminar
Ceramah dan diskusi dimulai pada hari kedua, diawali oleh Prof. Wessel yang mengulas pemilu-pemilu yang sudah terlaksana di Indonesia. Hasil pengamatan Prof. Wesel membawanya pada kesimpulan, bahwa pemilu di Indonesia dalam masa Orde Baru belum mencerminkan arti demokrasi sebagai sarana bagi rakyat untuk menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Dengan mengacu pada pemilu-pemilu orde baru yang sudah berlalu, ia berpendapat bahwa pemilu hanya menjadi ajang konflik elite atas dan menjadi sarana legitimasi yang berkuasa.
Di bagian kedua, Tosari Widjaja menekankan pentingnya pemilu sebagai sarana pendidikan politik dan baru akan mencerminkan demokrasi, apabila azas Luber (Langsung Umum Bebas dan Rahasia) bagi pemilih dan Jurdil (Jujur dan adil) bagi pihak penyelenggara pemilu sudah terlaksana. Dalam kesempatannya, ia yang juga menjadi anggota Panwaslak Pusat, memberikan informasi dan pengalamannya tentang Pemilu di Indonesia, yang mana masih banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran terutama di wilayah mayoritas non-Golkar baik pada tahap persiapan maupun dalam pelaksanaannya.
Setelah diselingi makan siang bersama, acara dilanjutkan dengan Alexander Litaay yang dalam ceramahnya menitik beratkan peranan pemilu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, dimana kualitas penyelenggaraannya juga menjadi salah satu indikator kemajuan pembangunan. Seperti dalam ceramah Tosari, ia juga melihat perlu adanya perbaikan dalam pelaksanaan pemilu. Sehubungan dengan peristiwa 27 Juli, dijelaskan PDI menuntut kedaulatan partai yang bebas dari campur tangan pihak luar. Diakhiri dengan Rochiyat Kartawihardja selaku ketua KIPP di Eropa, yang membawakan perkembangan situasi terakhir menjelang pemilu dengan gayanya yang eksentrik. Mas Pipiet, begitu pria ini sering disapa, malah membandingkan sistem pemilu di Indonesia dengan sistem pemilu di DDR ( negara Jerman Timur dulu ). Menurutnya, mungkin indonesia mengkopi DDR.
Hari ketiga diawali oleh Paulus Widiyanto. Ceramahnya beracu dari hasil poling pendapat yang dilakukan oleh LP3ES, dengan thema kesadaran masyarakat terhadap Pemilu. Berikutnya Beathor Suryadi membawakan perkembangan KIPP: misi dan tujuan serta langkah langkah yang telah ditempuh. Pada kesempatan ini Beathor secara khusus juga membawa oleh oleh dari tanah air berupa analisa perbandingan situasi pergerakan pro demokrasi sebelum dan sesudah peristiwa 27 Juli. Ceramah terakhir dibawakan oleh Prof. Christian Wagner, yang menjelaskan tugas dan posisi pengamat pemilu Internasional.
Puncak dan akhir dari Seminar Pemilu ini berupa diskusi Panel. Sebagai panelis, duduk di depan Tosari Widjaja, Alex Litaay, Paulus Widiyanto dan Beathor Suryadi. Antusias dari peserta seminar terlihat dalam bentuk pertanyaan yang menyangkut langkah ke depan dari kedua partai politik dan reformasi politik yang lebih menunjang pertumbuhan demokrasi di Tanah Air.
Dalam acara seminar panitia juga memutar rekaman peristiwa 27 Juli. Berkaitan dengan ceramah Beathor Suryadi, seorang atase bidang ekonomi dari KBRI Bonn yang mengaku 'mata-mata', menanggapi supaya penceramah jangan terlalu membesar-besarkan apa yang terjadi di Indonesia. Hal yang mungkin di telinga orang Jerman atau masyarakat Indonesia di luar negeri kelihatan brutal, sebetulnya di Indonesia biasa-biasa saja, seperti kebalikannya demonstrasi di Jerman hal yang biasa saja.. sementara di Indonesia terdengar negatif. Spontan dari peserta seminar terdengar 'buh' riuh rendah dan terdengar celetukan spontan "bedanya di sini (Jerman) orang nggak di tembak pak!!", disambut tepuk tangan peserta seminar.