PENTINGNYA KETERBUKAAN POLITIK

oleh : I Gusti Nyoman Aryana

Peralihan dari rezim otoriter ke sistem pemerintahan demokrasi “Barat” di negara ketiga dimulai di Amerika Latin, sejak akhir tujuh puluhan. Proses ini dipercepat oleh dua hal. Pertama, dengan berakhirnya konflik antara blok barat dan timur, berakhir pula konflik ideologi yang berkepanjangan. Kedua, perubahan baik secara kultural maupun ekonomis-teknis beberapa negara Asia, melahirkan paradigma baru di bidang politik. Peralihan sistem terjadi di Taiwan, Korsel, Thailand, diikuti pula oleh Pakistan dan Bangladesh, Mongolia, Papua Nugini dan Filipina. Demikian pula gelombang demokratisasi melanda negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di Indonesia tema demokratisasi atau keterbukaan politik, baru muncul sejak akhir delapan puluhan.

Stabilitas politik sering menjadi alasan sistem otoriter mempertahankan kekuasaan, baik stabilitas sebagai garansi pertumbuhan ekonomi, maupun stabilitas untuk menjaga kesatuan bangsa. Di Asia, masalah ini sering dihubungkan dengan elemen-elemen budaya asli setempat. Struktur masyarakat-masyarakat Asia dianggap hirarkis paternalistis. Orang Asia tak suka konflik. Harmoni mendapat tempat khusus di tengah-tengah masyarakat Asia dan seterusnya. Sehingga, beda pendapat di masyarakat modern dianggap disharmonis,”bukan Asia” atau budaya asing. Oleh sebab itu, keterbukaan sistem politik (demokratisasi) dianggap elite penguasa Asia -- sangat berbahaya dan absurd. Kendatipun demikian, munculnya gerakan-gerakan pro demokrasi, sejak sepuluh tahun belakangan ini-- People Power di Filipina 1986 misalnya -- tak terelakkan lagi. Gerakan-gerakan pro demokrasi seperti ini, terutama dipelopori middle class yang baru terbentuk. Keterbukaan politik yakni kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul serta beraliansi dan kepastian hukum menjadi tuntutan mereka. Dari diskursus antara penguasa dan kelompok oposisi timbul pertanyaan, apakah demokrasi sistem otoriter memang merupakan keharusan-- dan mungkin ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita buat tipologi perbedaan dan pola pikir,-- yang mempengaruhi -- baik pihak “oposisi” maupun pendukung status quo. Jika kelompok pertama menganggap masyarakat-politis (state) ibarat mesin, maka kelompok kedua menganggapnya sebagai entitas kultural.

Anggapan bahwa masyarakat politis adalah mesin, mengingatkan kita pada aliran struktur fungsionalisme yang ditumbuhkembangkan sarjana ilmu sosial sekitar tahun lima puluhan di Amerika Serikat. Di Barat, ini terkenal dengan sebutan teori sistem. Sistem politik dianggap satu mekanisme untuk mereduksi kompleksitas. Suatu proses untuk mengartikulasi dan menjaga keseimbangan berbagai kepentingan yang ada di masyarakat pluraristis. Kecanggihan sistem dikaitkan dengan tinggi rendahnya angka BSP. Tak dijumpai adanya silang pendapat antara sarjana Barat dan Asia mengenai interpretasi teori sistem tersebut. Walaupun pemikiran ini di Barat cenderung “demokratis” dan di Asia sering memperkuat otoriterisme, toh ditemukan adanya kesamaan metode dan dasar-dasar premis analisis mereka. Tak mengherankan jika struktur fungsionalisme di negara-negara Asia (terutama di Indonesia) masih termasuk mainstream terutama dikalangan intelektual (neo) konservatif hingga saat ini.

Kontras

Jika sistem politik dianggap sebagai refleksi aktivitas kultural, maka analisis menjadi sedikit lebih rumit. Menurut model pendekatan political culture, kebutuhan hidup anggota masyarakat adalah masalah utama. Jalan menuju “kehidupan lebih baik” harus dikembangkan. Para cultural determinist melihat adanya perbedaan kontras antara masyarakat Asia dan Barat. Ini berarti kebutuhan hidup manusia Asia pun berbeda dengan manusia Eropa dan Amerika. Termasuk kebutuhan terhadap demokrasi. Kehidupan orang Asia sejak ribuan tahun sangat terikat hirarki. Asia tak kenal konflik. Orang Asia juga tak akan menolak, jika penguasa memperlakukan mereka sebagai anaknya, yang harus dilindungi, dituntun, dipimpin dan sebagainya. Perlu digarisbawahi disini, pendekatan budaya semacam ini bukan tak beresiko, melainkan sebaliknya. Jika nilai-nilai budaya tak bisa diubah, begitu pula demokratisasi yang singkatnya berarti perubahan-- tak mungkin dilakukan. Akhirnya, perubahan(demokratisasi) di Asia dianggap elemen “asing”. Harus dihindari. Tak mengherankan jika pendapat semacam ini masih dominan di kawasan Asia hingga saat ini. Walaupun demikian , keberadaan struktur fungsionalisme, dengan metode pendekatan budaya akhirnya mendapat tantangan. Kritik terhadap cultural determinist antara lain dimotori oleh seorang filsuf Jerman, Juergen Habermas.

Menurut Habermas, teori aksi komunikasi (Handlungstheorie) demokrasi adalah satu bentuk kehidupan -bersama- manusia yang ideal. Dalam “keadaan ideal” semua anggota masyarakat dapat secara bebas mengutarakan kemauan mereka. Dalam berbagai pengambilan keputusan politik, kebutuhan warga masyarakat selalu diperhitungkan-. Tentu saja Profesor Habermas menyadari sepenuhnya “keadan ideal”-- seperti yang dia bayangkan--tak bisa sepenuhnya tercapai. Karena, seperti kita ketahui bersama tak ada sistem yang baik, tetapi yang jelas semua sistem harus diperbaiki. Ini berarti, ketidak puasan di masyarakat --sebagai akibat suatu keputusan-- akan selalu muncul. Namun yang penting adalah prinsip. Prinsip melakukan--aksi(Handlung) untuk mencapai “keadaan ideal” terus ditingkatkan. Ini berarti penolakan terhadap segala macam bentuk hambatan, baik hambatan kebebasan menyuarakan pendapat maupun menghindari terjadinya pengisolasian kelompok-kelompok sosial tertentu. Prinsip-prinsip dasar (Habermas) ini berlaku untuk semua tatanan masyarakat, yang didasarkan pada hak milik hakiki tiap manusia yakni suara atau kata-kata tepatnya bahasa. Kata-kata juga berarti perbuatan. Ini telah dimulai sangat dini. Sejak manusia dapat menggunakan bahasa (berbicara), saat itu pula terbentuk masyarakat manusia , yang memungkinkan manusia-- secara komunikatif-- mengatur kehidupan bersama mereka. Aturan ini terbentuk, karena semua partner komunikasi diakui memiliki hak yang sama. Walaupun tak tertutup kemungkinan, bahasa sering dipakai alat untuk memanipulasi lawan bicara. Memang sejak awal bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi antar manusia--dengan hak yang sama pula. Prinsip dasar inilah yang sampai saat ini tertanam di benak manusia. Tanpa ada pengaruh atau paksaan dari luar, manusia akan selalu berkomunikasi dengan posisi sama tinggi. Pendeknya demokrasi bukanlah berarti suatu penemuan baru yang keberadaannya harus diukur melalui mekanisme teknis, ataupun dapat dilihat hanya dari latar belakang budaya suatu bangsa, misalnya. Melainkan, ia adalah satu bentuk ideal hidup bersama (zusammenleben) “yang sudah semestinya” merupakan kebutuhan primer tiap orang. Disamping itu ia juga merupakan ciri khas bentuk kehidupan bersama manusia, dimanapun dan kapanpun juga. Sekali lagi demokrasi adalah sistem politik prinsip-prinsip Rechtsstaat yang menjamin pelaksanaan mendasar hak-hak asasi dan hak-hak warga negara lewat pemilihan umum yang bebas dan terbuka-- untuk memperebutkan political power.

Kesadaran Moral

Disamping itu, persepsi mengenai demokrasi erat kaitannya dengan perkembangan kesadaran moral manusia, yaitu moral manusia pra-konvensional, konvensional dan post-konvensional. Manusia bermoral pra-konvensional praktis hanya memikirkan kemakmuran diri mereka sendiri. Mereka ini sama sekali tak memiliki komitmen kemasyarakatan. Tingkat yang kedua adalah moral konvensional. Manusia yang berada pada taraf ini ditandai dengan mental atasan-bawahan atau mereka yang secara buta mempertahankan undang-undang, ajaran moral dan kebiasaan lama yang telah lapuk. Kemudian tingkatan terakhir yaitu moral post-konvensional, dimana manusia jenis ini mempertanyakan kembali keberadaan undang-undang, norma dan nilai sosial masyarakat. Begitu pula pada manusia mulai berorientasi pada prinsip-prinsip diskursus. Maksud saya, undang-undang dan norma hanya akan diakui, bila secara prinsip dapat didiskusikan. Disamping itu, tak ada seorangpun yang karena alasan agama, jenis kelamin, etnis atau rasnya dirugikan oleh peraturan yang ada di masyarakat. Kemudian post-konvensionalitas berarti pula mempertanyakan kembali segala bentuk otoritas, termasuk mempertanyakan doktrin, wejangan, peraturan-peraturan, norma dan lain sebagainya--yang konvensional-- tak mungkin dapat diubah. Begitu juga di bidang ilmu pengetahuan, adanya penolakan berbagai bentuk dogmatisme. Jelasnya tak ada lagi kebenaran yang tak boleh dipertanyakan, melainkan hanya ada teori-teori yang keabsahannya harus selalu diuji.

Untuk menghindari ulasan teori yang berkepanjangan, yang jelas, demokrasi adalah tujuan akhir suatu proses yang panjang dan tak pernah sempurna. Justru karsa untuk mencapai kesempurnaan inilah termasuk ciri khas masyarakat demokratis. Sebab demokrasi adalah tujuan akhir satu perjalanan panjang. Sedangkan demokratisasi adalah jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Lebih jelas lagi, jalan itulah tujuan sementara.

Sistem demokrasi di negara-negara Barat pun perlu proses panjang. Kendatipun demikian toh keandalannya masih dianggap belum sempurna. Artinya, walaupun sebagian besar warga negara turut pemilu, bukanlah berarti mereka senantiasa diikutsertakan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting--yang menyangkut interes mereka. Lebih jauh lagi, bagaimana mungkin demokrasi dapat dibayangkan sebagai tatanan masyarakat ideal, jika sejarah otokrasi sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun?. Menurut Habermas, kebiasaan berdiskusi secara terbuka dan egaliter ditentukan oleh proses belajar yang amat panjang. Proses ini sering terhambat, ketika state hadir sembari mengambil peran yang “sedikit” berlebihan.

Pendukung otoriterisme “dapat dibenarkan” jika menganggap kecanggihan demokrasi “Barat” tak mungkin ditransfer langsung ke Asia. Namun salah besar, jika mereka percaya bahwa kebebasan berpendapat dapat ditutup untuk selamanya. Asia dapat didemokratisasi secara gradual. Keterbukaan politik akan membentuk manusia-manusia “modern”. Otoriterisme akan dicurigai. Kebutuhan individual akan makin terartikulasi. Agar bentuk individualisme baru ini dapat berkembang dengan baik, orientasi untuk mencapai kemakmuran bersama pun makin mendesak. Namun dalam era masyarakat post-metaphysik, norma-norma etik tak mungkin dapat ditata kembali. Demikian juga, anjuran atau larangan yang sifatnya partikular tak akan dapat digunakan lagi. Sehingga hanya tinggal satu alternatif, mencari satu prinsip regulatif, yakni prosedur yang demokratis.

Analisis kekuasaan seperti ini barangkali masih langka atau kedengaran “aneh” ditelinga orang Asia saat ini. Kendatipun demikian keabsahan logika teori ini tak akan berkurang. Sebab politik penguasa-- pada dasarnya-- cenderung strategis (baca manipulatif) dan bukan komunikatif. Warga negara tak diakui sebagai partner komunikatif yang memiliki persamaan hak, melainkan sebagai kawula. Semua peran negara diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan. Bahkan doktrin atau filosofi pun-- yang pada hakekatnya untuk mengabsahkan politik-- dikembangkan sedemikian rupa, untuk menipu para kawula, atau setidak-tidaknya mempermudah untuk menguasai mereka. Itulah sebabnya, kenapa dinegara-negara Asia (Myanmar, China, Vietnam, Laos, Brunei dan Indonesia) ada semacam ketakutan untuk melangkah setapak kearah demokratisasi. Karena, sekali saja prinsip-prinsip kebebasan berpendapat mendapat tempat di masyarakat, maka saat itu pula otoriterisme akan dipertanyakan. Seperti yang telah terjadi di Eropa Timur, Amerika Latin dan di negara-negara industri baru (NIC) serta Thailand. Disamping itu negara-negara seperti India, Pakistan, Srilangka, Bangladesh, Filipina dan Papua Nugini--walaupun tak semakmur NIC-- akan tetapi dapat disebut demokratis, dalam arti kata tidak otoriter. Pendeknya, bagi penguasa-penguasa otoriter dan “semi” otoriter di Asia, kini ada dua pilihan: politik komunikatif atau politik strategis-- yang berarti manipulatif. Ini jelas tak akan bertahan lama. Sebab sistem otoriter ternyata tidak efisien dan sudah terbukti kontra produktif. Cepat atau lambat , mau atau tidak, demokratisasi pun minta diprioritaskan. Itulah sebabnya, kenapa keterbukaan politik terasa makin penting. Bukan saja untuk dibicarakan, melainkan juga untuk dilaksanakan.

Artikel ini pernah dimuat di Harian Bali Post.


Kembali ke Daftar Isi