Pengantar dan latar belakang
Pembahasan masalah-masalah di Tanah Air yang lebih transparan, kini sudah dimulai oleh pemerintah.
Penjelasannya bahwa Sang Penguasa tak perlu lagi menutup-nutupi tindakannya, tokh ia sudah kuat, baik ekonomi, personil dan ´bedil´ -nya. Lagi pula seandainya rakyat tahupun, bisa apa mereka ? Segudang alasan untuk membasmi rakyat yang berani tunjuk jari untuk bertanya. Huhh... arogan!!
Kongres Luar Biasa DPP PDI yang mengangkat Suryadi sebagai Pimpinan DPP PDI menggantikan Megawati, konon juga tak lepas dari campur tangan yang diuntungkan dengan jatuhnya Megawati dalam rangka karya besar untuk ´mensukseskan´ Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998 nanti.
Sementara khayalak awam bingung dengan pemberitaan peristiwa 27 Juli di koran dan majalah, yang tentu saja melalui sensor dan sesuai ´prosedur´ yang ada, alangkah baiknya jika pemberitaan yang kontroversial juga menjadi faktor pengimbang mengarah pada obyektifitas.
Kongres Medan yang tidak diakui oleh kubu Megawati, membuat massa PDI yang sadar terhadap intervensi dari luar tubuh PDI, menjadi marah. Dan juga dikecewakan karena vested interested pimpinan-pimpinan mereka sendiri, sehingga dapat ter-beli oleh penguasa Tanah Air ini. Respon di kalangan kelompok Pro-Demokrasi tercermin dengan berdirinya MARI (Majelis Rakyat Indonesia), yang adalah simpatisan terhadap kubu Mega.
Masalah perpecahan PDI ini terangkat di mass media. Presiden Soeharto bahkan pernah menyatakan agar Mega dan Suryadi bisa berembuk dengan kepala dingin untuk menyelesaikan masalah ini. Pendukung Mega sudah ingin bergerak dengan Long Marsh seperti People Power-nya Corazon Aquino di negara tetangga kita dulu. Ini tidak diinginkan oleh Megawati sendiri. Ia percaya masalah ini dapat dimenangkan secara hukum.
Keputusan Megawati untuk mengambil jalan patuh hukum, politis tanpa kekerasan disambut dengan senyum oleh pemerintah. Seperti kasus Tempo dan Sri Bintang Pamungkas yang masih hangat di mata dan pikiran kita, apakah akan terulang kembali ? Sementara itu, Suryadi juga bergerak mencari legitimasi dari pemerintah dan puncaknya diterimanya Suryadi oleh Presiden Soeharto pada hari Kamis, 25 Juli 1996, 2 hari sebelum peristiwa Jakarta berdarah.
Buat penguasa masalahnya tinggal satu, akan diapakan massa PDI yang bercokol dan mempertahankan Kantor Pusat DPP PDI di jalan Diponegoro 58 itu. Mereka berjumlah sekitar 200 orang dan mengadakan panggung terbuka untuk pidato dan pembacaan puisi.
Kuasai dulu kantor itu dan berikan kepada Suryadi, maka Mega hanya dapat berharap dari hasil gugatannya ke pengadilan.
Berawal dari pengaduan berbagai organisasi yang mengaku sebagai kaum ´pemuda´ berturut-turut ke POLDA, menganggap acara panggung terbuka tersebut mengganggu ketertiban umum. Ini dijadikan alasan untuk menertibkan kantor PDI oleh aparat keamanan dan memberikan kesan negatif terhadap kubu Mega di mata rakyat awam. Berikutnya disusunlah sebuah barisan pendukung Suryadi untuk menghalau massa PDI itu.
Siapa pendukung Suryadi itu ?
Seperti yang telah diketahui wartawan-wartawan di Jakarta, seminggu sebelum penyerbuan itu, ABRI di Jakarta sudah dalam keadaan Siaga Satu. Berita desas-desus penyerbuan kantor PDI sudah diramalkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Akhirnya tiba juga hari itu. Sabtu, 27 Juli 1996 dini hari sekitar 800 orang yang berseragam merah yang bertuliskan `Pro Kongres Medan' telah bergerak menuju kantor PDI di jalan Diponegoro.
Menurut saksi mata, si penyerbu diturunkan dari truk-truk tentara, walaupun mereka berpakaian merah PDI, tetapi mereka lebih mirip tentara, dengan kesigapannya sewaktu menuruni truk. Ciri-ciri mereka adalah berbadan kekar dan berambut pendek (baca: cepak). Sementara jalan-jalan yang menuju Diponegoro sudah di blokade mulai jam 5 pagi, sehingga tidak ada wartawan yang dapat mendekat ke lokasi kejadian.
Dari luar pagar molotov dan batu dilemparkan menghajar massa Megawati yang bertahan di dalam kantor. Bahkan dari belakang, mereka juga diserbu oleh satuan khususnya pendukung Suryadi, dengan memanjat tembok rumah belakang dan sempat melumpuhi beberapa pekerja dapur.
Serbuan dari pendukung Suryadi yang begitu rapi dan jumlahnya tak seimbang hanya berlangsung sekejap. Massa Mega tak dapat melakukan perlawanan dan berhamburan melarikan diri. Dari seorang dokter yang hendak memberikan pertolongan pertama diketahui puluhan orang luka parah dan tergeletak di lantai. Ia sendiri sempat menjahit kepala dari 4 orang yang retak kepalanya. Para korban yang sempat dilarikan ke rumah sakit setempat, dijemput oleh tentara untuk dipindahkan ke Rumah Sakit Angkatan Darat dan dijaga ketat oleh tentara, sehingga perincian korban menjadi tidak jelas. Ada yang menaksir sedikitnya 4 orang meninggal. Tapi diperkirakan korban yang jatuh jauh lebih besar.
Massa mengamuk
Massa yang berkerumun di sekitar bawah jembatan kereta api Cikini mengadakan mimbar bebas. Polisi dan tentara mencoba membubarkan dan mendapat perlawanan dari massa yang jumlahnya kian bertambah. Bentrokan fisik tak dapat dielakan lagi. Kantor polisi Cikini dibakar massa. Menjelang tengah hari massa mulai bergerak ke jalan Diponegoro dan dihadang oleh aparat keamanan dengan 2 panser gas air mata. Kemarahan massa tak dapat dibendung lagi dan lepas kontrol. Panserpun dibakar. Diperkirakan massa telah mencapai sekitar 10.000 orang dan bergerak melampiaskan kemarahan dengan membakar beberapa gedung pemerintah dan gedung gedung disekitar jalan Salemba hingga petang hari.
Dari mass media
Kasus yang diangkat oleh pemerintah berkisar tentang demo pembakaran gedung-gedung. Tentang kasus penyerbuan pendukung Suryadi di kantor DPP PDI, ntah dikemanakan. Melalui surat kabar ibukota pemerintah menganggap kemarahan massa tersebut sebagai tindakan PKI. Dan PRD (Partai Rakyat Demokratik) dipercundangi, diburu dan dijadikan kambing hitam atas peristiwa 27 Juli. Buat pemerintah melalui kekuasaannya atas media massa, Peristiwa 27 Juli berdarah di-sama dengan-kan Massa membakar gedung-gedung, untuk mengelabui awam. Contohnya pemberitaan dari kelompok Pro Demokrasi tentang adanya minimal 4 korban dalam peristiwa 27 Juli Berdarah itu (penyerbuan kantor DPP PDI), dirancukan oleh pernyataan pemerintah, bahwa memang benar ada 4 korban dalam peristiwa itu. Si Anu meninggal karena melompat dari gedung yang dibakar massa, kemudian si Bnu, Cnu dan Dnu. Jelas sekali strategi mengelabui dan membodohkan rakyat. Dan sungguh tidak lucunya ke 4 korban penyerbuan di kantor DPP PDI hanya menjadi bual-bualan penguasa dan aparat-aparatnya.
Pers dan media massa internasional (seperti CNN, BBC dan NBC) mengangkat kasus ini jauh lebih obyektif. Semenjak hari Sabtu 27 Juli lalu, di CNN misalnya, dalam World News Asia ini menjadi topik utama. Dari keadaan kantor DPP PDI yang atapnya berlubang-lubang dan didalamnya penuh dengan ceceran darah yang telah mengering, sampai penangkapan Budiman Sudjatmiko sebagai ketua presidium Partai Rakyat Demokratik yang dijadikan kambing hitam. Surat kabar di Jerman Tages Spiegel menggambarkan peristiwa ini sebagai awal dari masa-masa akhir Soeharto di Indonesia. Business Week, terbitan 19 Agustus 1996, meng-cover dari segi ekonomi dengan memuat artikel berjudul ´THE SUHARTO EMPIRE´ dengan sub titel ´The President´s family and its foreign allies dominate Indonesia´s industry. What will a new regime bring?´
Jam 01.30 - 02.00 WIB
Patroli mobil polisi dan motor Garnizun Kodam V Jaya acapkali melewati dan mengitari Jalan Diponegoro di depan kantor DPP PDI.
Jam 03.15 WIB
Tim Satgas PDI menyuruh sebagian massa yang berkumpul di depan DPP beserta wartawan dan simpatisan lainnya pindah ke kantor PPP, ke LBH atau menunggu di sekitar bawah jembatan Kereta Api Cikini.
Jam 04.00 WIB
8 Truk berisi gerombolan yang menggunakan kaos merah PDI bertuliskan ´Pro Kongres Medan´ berhenti di stasiun Cikini. Mereka berkisar 800 orang. Ciri-ciri berbadan kekar dan berambut pendek.
Jam 05.00 WIB
Wilayah sekitar Jalan Diponegoro diisolasi untuk umum. Pasukan tak dikenal itu mulai bergerak menuju kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58.
Jam 06.15-06.30 WIB
Pasukan mulai melancarkan penyerangan dengan pelemparan batu dan bom molotov. Massa PDI bertahan di dalam kantor dengan memakai kursi sebagai tameng. Dilanjutkan dengan penembakan gedung kantor oleh pasukan tak dikenal tersebut dan diakhiri dengan penyerbuan ke dalam kantor DPP PDI. Massa yang berada di dalam, mencoba bertahan secara fisik, tapi karena jumlahnya tak seimbang, mereka berhamburan melarikan diri. Yang tertangkap diseret dan dilempar ke atas truk. Puluhan korban luka parah dan diantaranya tak sadarkan diri.
Jam 07.00-08.00 WIB
Kantor DPP PDI dikuasai oleh pasukan ´Pro Kongres Medan´ dan/atau militer.
Massa yang mendapat kabar penyerbuan militer ke kantor DPP PDI berkerumun di bawah jembatan Kereta Api Cikini. Tentara mencoba membubarkan kerumunan dan mengadakan perlawanan.
Jam 09.30 WIB
Massa dan sebagian pengurus PDI yang tersisa mengadakan mimbar bebas di depan kantor polisi Cikini. Polisi dan Tentara mencoba membubarkan mimbar bebas, sehingga terjadi bentrokan fisik dan massa mengamuk.
Kantor Polisi Cikini dilempari batu dan dibakar.
Jam 10.00-12.00 WIB
Ambulans berdatangan memasuki DPP PDI. Menurut saksi mata banyak diangkut korban, diantaranya sudah tidak bernyawa lagi. Sementara itu rumah para pimpinan DPP PDI yang mendukung kepemimpinan Megawati didatangi aparat militer dan polisi untuk memblokade mereka agar jangan keluar rumah. Sambungan telepon di rumah anggota DPP PDI pro-Megawati diputus.
Massa yang berkumpul di bawah jembatan semakin bertambah.
Jam 12.30 WIB
Massa bergerak ke Jalan Diponegoro, dan sempat diblokade oleh aparat keamanan. Terdapat 2 panser gas air mata di dua ruas jalan. Terjadi bentrokan fisik. Aparat keamanan mengundurkan diri.
Jam 14.10 WIB
Rakyat yang menonton ikut bergabung di dalam barisan, sembari meneriakkan yel-yel "Hidup Mega!! Hidup PDI!! Gantung ABRI" dll. Massa berkisar 10.000 orang. 3 bis dan sejumlah mobil-mobil mahal dibakar.
Aparat keamanan menghilang dari Jalan Diponegoro.
Jam 14.35 WIB
Gedung milik pemerintah diserbu dan dibakar massa. Antara lain Gedung Departemen Pertanian, Mess Kowad (Komando Wanita Angkatan Darat) dan Gedung Persit Kartika Chandra Kirana (Organisasi isteri AD). Di samping itu sejumlah gedung di sepanjang Salemba Raya menjadi amukan massa. Antara lain Showroom Toyota Auto 2000, Bank Mayapada, Showroom Honda, kantor Polsek Menteng dll.
Kostrad diturunkan ke lapangan. Massa yang mundur ke TIM dikejar oleh pasukan Kostrad. Beberapa mahasiswa IKJ dan pelayan-pelayan toko di seputar TIM juga menjadi sasaran aparat keamanan.
Terjadi kontak fisik di berbagai lokasi di wilayah tersebut.
Jam 19.50 WIB
Militer telah menguasai dan memblokade jalan-jalan sekitar Cikini, Salemba, Kramat sampai Stasiun Gambir.
Jam 20.10 WIB
Akan diberlakukan jam malam. Penayangan Televisi menyatakan terjadinya pengrusakan beberapa gedung dan bus PPD, mobil dan motor pribadi di kawasan Salemba. Tak ada korban jiwa dan hanya 20 orang luka luka.