Pas Golkar berusia 33 taon medio Oktober lalu, Eyang Presiden, dengan senyum yang ter-kembang -- seolah melambangkan tumbangnya beberapa bank milik kluwarganya yang oleng diterpa badai crash --, meminta agar GOLKAR mau meneliti pencalonan beliow menjadi Bos Republik guna memasuki abad ke 21.
Kalow pun tokh harus langsir, itu bukan masalah bagi beliow, "karena saya akan bisa menempatkan diri dalam falsafah suksesi perwayangan", begitu ucap beliow dalam posisi siaga satu menghadapi suksesi men-datang. Falsafah suksesi perwayangan yang dimaksud Eyang Presiden ada lah lengser keprabon, madeg pandito (lihat Glossar). Artinya, jika dalam suatu republik wayang seorang raja ada maen langsir gara-gara penampilan dan wibawanya melorot luntur, sehingga buwat maen gangsir pun sudah terblokir dan sebelon ada dilongsorkan dari kekuwasaan, maka ia akan beralih menjadi pendeta. Falsafah lengser keprabon ini sesungguhnya juga bermakna meleng dikit, bisa kegeser jadi abon. Dan ini pernah terjadi di Tanah Jawa, semasa pulow itu masih bernama Jawadwipa.
Konon, ada lah Bos Negara Astina, Presiden Crashnadwipayana,yang pernah melaksanakan pola suksesi lengser keprabon, madeg pandito. Ada pun langsir keprabonnya Presiden Crash-nadwipayana itu kabarnya akibat crash besar-besaran yang membikin duwitnya payah. Tapi, sebelum crash, kluwarga Astina termasuk bangsa tiger-emotion. Artinya, bangsa yang bikin segala jenis macan cepat emosion. Di ba-ah pemerentahan Presiden Crashnadwipayana, untuk kluwarga istana, Astina memang menjelma menjadi negeri yang super gemah ripah loh jinawi, super tata titi tentrem kerta raharja, tuwuh kang super sarwa tinandur, super murah kang sarwa tinuku. Pendeknya, bagi kluwarga istana, kerajaan itu menjadi negara yang super aman dan sentosa, super subur, super adil, super makmur, dan super berkelebihan.
Itu semua tak lepas dari kepemimpinan Prabu Crashnadwipayana yang super adil dan super berwibawa -- tentu, didukung oleh kekuatan otak yang super kerdil: kubu perontok pemba-ngunan yang berulah macem-macem langsung dibawa atow napasnya dibikin tak berhawa.
Prestasi itu tentu bukan saza diraih dalam waktu sekejap, namun setelah seabrek-abrek nyawa dibikin megap-megap dan segudang pasangan mata disulap terpejam-pejam. Meski pun cita-cita membangun Astina bagi kluwarga istana Astina sudah terwujud, Presiden Crashnadwipayana bukan lah orang yang kemaruk kebuwasan.
Memang, ia masih super sakti mandraguna, tersohor lantaran gebugannya super panas, hawa singkong dari tenaga singkangnya bisa memaksa pemakan nasi gemar menyantap tiwul kalow era rawan pangan itu datang, super gagah perkasa dalam soal merekayasa, langkahnya super kukuh dan membuat kawulanya rikuh, tutur katanya tetap jelas dan tegas sehingga lawan-lawan politiknya ngacrit super bergegas-gegas. Selaen itu, ia pun masih cekat-an menunggang sepeda motor produk do-mestik atow menyopiri mobil nasional, menebak dan menembak pelaku mobnas (mobbing nasional) dan lihai maen golf dan golok. Namun, kerut-kerut di wajah dan uban di ke-palanya tak mampu menyembunyikan gerogotan usianya yang telah delapan dasawarsa.
Karena itu, sebelon kebuasaannya longsor dan kekuwasaannya luntur serta dipaksa langsir dari kepuwasannya, sang Presiden lalu turun takhta alias lengser keprabon. "Ah, gua ini su-dah TOPP, Tuwa, Ompong, Pikun dan Posing", katanya. "Maka, sebelon gua meleng dan dicecer jadi abon, lebih baek gua langsir lah", begitu keputusannya. Apalagi, permaisurinya sudah lama menjadi penghuni alam Saptapratala (bawah tanah), kumpul kebo sa-ma Hyang Antaboga, pemenang tender pem-buatan U-Bahn alias Metro (lorinya Antareja).
Nah, usai menerima anjuran dari sowdara tirinya, Begawan Bisma yang Ketua Dewan Pertimbangan Agung, dan setelah mengendusi gebrakan para konglomerat Astina via jurus nasionalisme baru, yaitu memindahkan aset-aset mereka ke tanah sabrang, sang Presiden lantas membulatkan tekad untuk meninggal-kan gelanggang politik. Ia ingin lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Jagadnata.
Sebelon turun tahkta, ia menunjuk putra ke-duanya yang cerdas, Pandu Dewanata, seba-gai pengganti posisinya. Pada hal, sebelonnya, Pandu Dewanata itu bukan Wapres. Dan ajaibnya, yang ditunjuk bukan Destarata, putra sulungnya yang buta dan beken suka membabi-buta di meja judi serta mengobral doku berjumblah tiada tara.
Maka, ditanggalkannyalah semua atribut ke-duniawian, termasuk asetnya berupa hotel-hotel berbintang lima -- terkecuwali pangkat jendral berbintang lima. Jubah batik sederhana kependetaan buatan pabrik permaisurinya lalu disandangnya. Begitu pula ihwalnya kewarga-negaraannya: dari Warga Negara Istana (WNI) menjadi Warga Negara Astina (WNA).
Presiden Crashnadwipayana pun madeg pandhita, bergelar Begawan Abiyasa. Dia ini lah yang kemudian dinobatkan menjadi Bos Gerakan Pelengseran Keprabon (GPK). Ber-tahun-tahun ia mengasingkan diri di wismanya di puncak bukit Wukir Retawu, sembari mengawasi gerak-gerik penerusnya.
Namun, dalam dalam beberapa kasus kenega-raan penting, software produk sang Begawan masih sering diminta, terutama oleh cucu-cucunya, para Pandawa. Boleh dibilang, softwarenya merupakan saingan beratnya Bill Gates dari Tanah Amerika. Karena itu lah ia kerap dijuluki Boll Gatel -- lantaran ya, selalu pengen turut campur. Misalnya dalam kasus program penjualan sepatu kepada para siswa.
Atow pengucuran dana buwat pengelolaan menejemen Jabang Tetuka (nama Gatotkaca sewaktu baby) yang terlanjur mbrojol dari rahim Lady Arimbi (bini cucunya, Prince Brata-sena), agar bisa menjadi penerbang pertama trah Astina. Jadi, profesi pendeta ini amat disegani dan dihormati di kerajaan. Selaen menjadi penasehat sang raja baru atas segala masalah, ia juga bertindak sebagai softwarenya jalan spiritual bagi seluruh rakyat.
Selama menyepi dan menjalin kolusi dengan Sang Hyang Jagatnata, hidup Begawan Abiyasa termasuk hepi-hepi saza. Namun, ajal tak bisa ditolak. Semasa cicitnya, Presiden Parikesit bertakhta, sang Begawan pun ditarik dari posnya. Sang Hyang Jagatnata teler berat, oleh sebab penerus Presiden Crashnadwi-payana pada rebutan lengser keprabon, madeg pandhito. Mau bikin pemilu, nanti kacow. Bahkan, cucunya, Presiden Yudistira, secara lancang menggedor pintu kayangan, setelah lengser keprabon, tapi ogah jadi pandhito. Keadaan pun jadi kacow balow.
Nah, begitu sang Begawan Abiyasa ini ditarik dari posnya, pihak ketiga Astina tak menyia-nyiakan kesempatan. Jasad kasarnya tak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Astina, juga tidak dikuburkan di bukit Wukir Retawu, melaenkan dikuliitiiiii secara super sadis. Cara-caranya mirip PKI. Kulitnya lantas digarami dan kemudian dijemur. Sebagean kecil dibikin wayang kulit, dan sisanya diolah jadi krupuk kulit.
Dagingnya? Alamaaaaak, nggak ada yang ngiler. Dikasih ke macan di kebon binatang, eee, macannya yang malah ngambek. "Baaah, kalian kira gua ini apa? We belong to the tiger nation", lolong sang macan, yang sdm (sumber daya macan)-nya antara laen telah mampu menguasai srigala punya sdsb (sumber daya srigala binal). Kontan saza, tukang sampah kota Astina bengong berat. Akhirnya ya, ditelantarkan membusuk, dijauhi rayap.
Maka, ini lah awal tragedi nasional Astina akibat pola suksesi berdasarkan Gerakan Pe-lengseran Keprabon alias GPK. Pasalnya, sejak itu Presiden Crashnadwipayana tidak tampil sebagai patung, akan tetapi cuma boleh nongol sebagai wayang kulit belaka. Nasib serupa dialami kemudian oleh trahnya. Krupuk kulit-nya, akhirnya menjadi lahapan kebuwasan para penonton dan perontok pembangunan Astina, yang pelampiasan sewotnya semasa pemeren-tahannya tidak keturutan pelampiasannya.
Dan sejak itu pula, ditiadakan lah upacara-upacara resmi mengunjungi
Taman Makam Pahlawan buwat menghormati jasa-jasa Bos GPK.
Lengser : | mengundurkan diri | |
Prabu : | Raja
Keprabon : alat kerajaan (pakaian, upacara dsb.) |
|
Madeg : | berdiri, menjadi | |
Pandhita : | pendeta, paderi |
(Dikutip dari S. Prawiroatmoso, Bausastra Jawa-Indonesia, Jakarta
1989)