Membebaskan Diri Dari
Belenggu Doktrin & Mitos Orde Baru
Oleh: Asep Ruhiyat
Pada bulan Oktober 1989 aku tiba di negeri keparat ini, saat itu bertepatan dengan dibanjirinya kedutaan Jerman Barat di Hongaria oleh para peminta suaka politik dari DDR alias Jerman Timur (almarhum). Seperti pengalaman yang juga dialami oleh teman-teman lainnya, akupun mengeluh atau menyesali kedatanganku kesini karena kota Berlin yang aku lihat jauh berbeda dengan gambaranku dalam bayangan tatkala aku masih ditanah air.
Aku pernah membayangkan bahwa cewek-cewek disini pakaiannya minim-minim, dan semua orang yang hidup disini punya mobil, atau disetiap rumahnya ada kolam renangnya, pokoknya yang indah-indah dan haram-haramlah. Eh, setelah aku lihat sendiri, menyesal deh gua. Yang tadinya kupikir dengan mudah mendapat setiap cewek, karena katanya kulit coklat atau sawo matang sangat disenangi, kenyataannya untuk menyalurkan hasrat birahi perginya ke lonte-lonte juga (cewek Thailand lagi), sorry ini juga ngelantur dan tidak penting.
Pendek kata aku sekarang di Berlin, celingukan di bandara Tegel, untung ada yang menjemput (tetanggaku di Bandung yang sudah lama sekolah disini). Nah, keterkejutanku bertambah lagi setelah sang penjemput menunjukan tempat tinggalnya, gila mek ini sih bukan rumah, ini mah sarang burung merpati (Asrama mahasiswa). Hampirlah berjatuhan air mataku dan ingin segera kembali ketanah air, mengingat aku hanya punya uang pas-pasan dan tidak punya tiket bolak balik, ya..apa boleh buat aku harus bisa hidup disini.
Kira-kira setelah satu minggu aku hidup disini temanku bertanya, apakah aku pernah ikut aktip-aktipan di Indonesia, kujawab ya..dulu ketika aku masih jadi mahasiswa UNPAD di Bandung aku pernah ikutan bikin majalah himpunan. Terus dia bilang, nanti malam dia akan mengajakku menemui teman-temannya (mahasiswa Indonesia) yang sedang membuat majalah dirumah si "PIPIT".
Singkat cerita malamnya aku kesana bersama sang teman jalan kaki, dia badanya lebih pendek dariku tapi jalannya cepat sekali, bingunglah gua, setelah aku tanya apakah semua orang yang hidup disini jalannya pada kenceng, eh..dia bilang "mana ada orang musim dingin begini yang betah lama-lama diluar". Setelah sampai di tujuan, kembali aku tercengang (kebetulan istri si "PIPIT" orang Sunda).
Aku bertanya padanya "eh..Ren, ningan ieu mah cina kabeh? Koq..ada sih orang-orang cina kayak begini yang mau cape-cape bikin majalah yang "kritis". Nah..saudara-saudara itulah pengalaman pertamaku disini, penuh dengan ketercengangan.
Tidak terasa sampai detik ini aku sudah hampir sepuluh tahun disini dan sempat dua kali pulang ketanah air. Selama sepuluh tahun ini sudah banyak hal-hal yang terjadi disini yang sangat berhubungan dengan tanah air, pertama ketika sang "King" Soeharto bertamu kesini (Berlin), aku menyaksikan langsung bagaimana sambutan yang sangat meriah untuk beliau dari masyarakat melayu disini, yang merasa gembira bisa melihat langsung sang KING dan bisa secara langsung juga "nyumpahin dia" dengan kata-kata yang indah "SOEHARTO BAJINGAN", atau EH....BEH...elu yang bunuhin jutaan orang tidak bersalah ya? Begitulah kira-kira sambutan masyarakat waktu itu terhadap bapak Pembangunan. Hal ini adalah pengalaman yang baru buatku, sehingga aku bertanya "ini orang-orang tidak takut dosa ya?, koq berani-beraninya ngata-ngatain Sang Dewa Pembangun Indonesia. So yang tadinya sang Babe mau 1/2 jam jalan-jalan, dan melihat-lihat Brandenburger Tor, sambil ditemani walikota Berlin, setelah kira-kira lima menit dia "ngacir" tidak kuat lagi.
Karena aku pernah kuliah di Indonesia, jadi aku mencoba untuk melanjutkannya disini. Awalnya aku harus menemui profesor untuk menunjukan mata kuliah apa saja yang sudah aku ikuti ditanah air, bertolak dari itu sang prof bisa memberikan keterangan yang syah, mata kuliah mana yang mesti aku ikuti disini. Ada pengalaman yang lucu waktu itu,aku ditanya mengenai beberapa mata kuliah yang pernah aku ikuti di Indonesia, seperti "Agama", "Kewiraan", dan "Pancasila". Sang profesor mengatakan mengapa aku memilih mata kuliah tersebut, mengingat jurusan yang aku ikuti di Indonesia khan "literatur", itu kan tidak ada kecocokannya.
Mendapat pertanyaan seperti ini aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Pokoknya aku bilang "ya..saya juga tidak tahu mengapa saya harus mengikuti mata kuliah tersebut. Jadi anda "harus" mengikutinya, kata sang prof, bukan pilihan anda sendiri. "Saya pikir Indonesia bukan negara komunis", katanya lagi. Karena waktu itu aku termasuk baru di sini aku hanya bisa melongo saja dan tidak mengerti maksud dari kata-kata sang prof tersebut.
Setelah lama di universitas, aku mendapat banyak pengalaman baru yang tetntunya tidak hanya melalui pendidikan formal yang aku ikuti, tetapi juga dari pergaulan dengan sesama mahasiswa, inipun tidak hanya dengan orang Jerman saja, karena kebetulan di tempatku kuliah banyak orang asing lainnya. Aku berkesimpulan, bahwa permasalahan kehidupan manusia di dunia saat ini, hanya satu. Yaitu ketidakadilan. Dan ini tidak ada kaitannya dengan batasan batasan yang di gambarkan dengan geografis (negara), warna kulit (ras dan budaya), ataupun kepercayaan (agama).
Kesimpulan seperti ini aku dapatkan setelah beberapa kali ikut berbincang-bincang dengan sesama mahasiswa lainnya itu. Jadi entah dimanapun atau dalam negara apapun permasalahn manusia saat ini hanya satu. Ada kelompok yang memeras dan kelompok yang diperas. Memang sangat sederhana, atau sangat primitip. Tapi itulah kenyataannya. Dari seringnya berdiskusi dengan mereka aku mendapatkan pelajaran (yang menurutku sangat berharga), yaitu nilai-nilai yang bersifat universal. Hal ini tidak saja memberikan pengaruh yang bersifat positif dalam hidupku, tetapi juga menjadikan aku manusia yang sibuk mempertanyakan kembali nilai-nilai dalam kehidupan yang sebelumnya aku anggap baik dan benar. Disini aku merasa diuji untuk memperbandingan hal-hal tersebut (ini lah mungkin yang sering orang sebut "Kulturschock").
Sebelum lupa, saya tuliskan disini pengalaman yang saya rasa juga menarik untuk diceritakan, hal ini terjadi ketika aku masih baru disini. Berangkat dari pemikiran bahwa semua orang Indonesia yang ada di luar negeri dan tidak bisa pulang kembali ke tanah air, itu semuanya orang PKI, maka akupun penasaran ingin mengetahui lebih jauh lagi (selama di tanah air aku hanya mendapat cerita-cerita yang mengerikan tentang makhluk seperti ini). Setelah aku mengenali beberapa dari mereka, ternyata dugaanku meleset, secara phisik memang
memang mereka mengerikan, kecil-kecil dan lugu lagi. Tetapi setelah banyak bergaul dengan mereka akhirnya aku marah. Dan sangat lah besar kemarahanku, karena aku merasa ditipu tidak saja oleh pemerintah sekarang tetapi juga oleh keluargaku.
Mereka-mereka ini ternyata ya..manusia juga. Bukan genderuwo atau jin. Kasihan adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan mereka disini. Sebagian dari mereka sepertinya sudah tidak lagi mempermasalah-kan nasibnya itu, mereka hanya berkata: "ya..inilah nasib mau diapakan lagi". Semen-tara hanya sebagian kecil saja dari mereka yang masih tidak mau pasrah, dan tidak merasa bersalah. Proses untuk bisa dengan jujur mengatakan bahwa mereka-mereka ini terlibat peristiwa tahun 1965, sangatlah lamban mereka awalnya memang benar-benar "down". Bagaimana tidak?
Seperti yang aku dengar, ada beberapa dari mahkluk-makhluk ini yang bisa kembali ke tanah air, karena mereka sekarang memakai kewarganegaraan Jerman. Setelah sampai di sana dan mencoba untuk menemui keluarga-nya yang sudah puluhan tahun tidak pernah bertemu, banyak sekali yang harus menelan pil yang sangat pahit. Keluarga mereka ditanah air tidak mau menerima mereka kembali, atau takut untuk menemui mereka. Kejam sekali memang.
Nilai-nilai kemanusiaanku disini betul-betul diuji. Dahulu ketika aku belum begitu benar menghayati apa itu kemanusiaan, nilai-nilai kebenaranku seakan terselimuti oleh beberapa mitos-mitos yang kubawa dari tanah air. Sekarang aku masih dalam rangka menghilangkan mitos-mitos itu dalam kehidupanku dan mencoba mendiskusikannya dengan beberapa te man yang ada disini, yang meskipun sudah lama jauh dari tanah air tetapi masih belum bisa membuka mata dan mencoba mempertanyakan kembali semua doktrin dan mitos tersebut [TAMAT]