THE GREEN: "PENDATANG BARU" DALAM FORMAT POLITIK KITA?

Politik selamanya menyangkut aspek distribusi kekuasaan. Dengan kata lain, siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana. Namun ketika peristiwa 27 Juli terjadi, sudah tidak jelas lagi siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana. Memang dalam era pers Pancasila yang - (tidak) bebas (tapi harus) bertanggung jawab ini - media massa tak berfungsi optimal. Sehingga kita tak paham lagi yang mana sebab, yang mana akibat? Korban dijadikan pelaku utama. Tak jelas lagi mana 'penonton' dan mana 'tontonan'. Apakah kericuhan didalam tubuh PDI itu sebab atau akibat? Yang jelas Mega jadi korban. Dia tergeser. Lalu PRD, apakah termasuk korban atau pelaku utama? Semua pertanyaan ini membuat massa semakin bringas. Rakyat tambah bingung. Kelas menengah diam sembari mikir mikir. Pendeknya setelah 'elemen-kiri' disapu bersih, - demikian jargon elit Abri garis keras - kini tiba giliran elemen kanan. Tapi, 'menggarap' yang kanan tak segampang menggarap elemen kiri. Karena secara historis kubu kanan merupakan mayoritas diam yang beranekaragam. Sang penguasa pun mencari akal. Dan menemukan apa yang mereka inginkan.

The silent majority - menurut Abdurahman Wahid - is plural. Orang diam belum tentu berarti setuju dengan mainstream. Namun yang penting pelajaran apa yang kita peroleh, dari kasus - kerusuhan Surabaya, Situbondo, Tasik, Kalbar - tanpa menyebut Aceh atau Dili. Yang jelas opini umum yang dominan di media barat (Jerman - FAZ, SZ, sebagian DER SPIEGEL misalnya ) cenderung memandang kasus Timtim sebagai intervensi 'bangsa' Islam terbesar dunia atas penduduk minoritas-katolik. Kenapa ini penting disebut disini? Jawabnya cukup simpel. Tatkala media barat - walaupun tak semuanya - mendiskreditkan Islam, maka yang muncul adalah retorika anti-barat (baca anti-kristen). Pemberitaan media barat yang cenderung membesar besarkan Islam sebagai ancaman terhadap warga non-muslim, sering berakibat fatal bagi penduduk non-muslim itu sendiri. Sehingga warga muslim 'mayoritas' akhirnya menganggap 'minoritas' non muslim sebagai elemen asing, yang anasional: Coptic di Mesir, Tamil di Malaysia, Kurdi/Alawit di Turki atau Katolik-Timtim di Indonesia. 'Pers barat' yang kurang jeli lebih cenderung meng-etnis-religiuskan masalah Timtim yang begitu kompleks. Pemberitaan kasus pelanggaran HAM di Timtim dalam DER SPIEGEL beberapa bulan yang lalu misalnya kemungkinan besar bisa menjadi alat untuk membangkitkan rasa 'nasionalisme' dan sekaligus menyulut perasaan anti-barat atau anti (biasanya Cina) katolik. Lalu kita sampai pada kasus pelecehan HAM di Aceh. Yang menurut data amnesty international sejak 1989 paling sedikit 2000 orang penduduk sipil hilang atau mati terbunuh. Kasus ini bukan saja tak penting di mata media barat, tapi disamping itu juga tak mungkin dijadikan isyu politik (politikum) oleh kelompok konservatif-status quo untuk memobilisasi massa demi kepentingan kekuasaan misalnya. Instrumentalisasi agama untuk kepentingan kekuasaan sering terlihat di berbagai masyarakat non Eropa. Terutama Asia dan Afrika. Kenapa demikian? Sebab disini batas antara politik dan agama tidak jelas. Kabur. Agama bisa menjadi perekat di masyarakat. Dan bisa juga sebaliknya. Menjadi alat pemecah belah. Menggunakan agama sebagai politikum untuk nationsbuilding sangat berbahaya (Israel/eks-Yugoslavia). Agama memang merupakan faktor penting untuk merubah 'nasib' sebuah komunitas menjadi satu bangsa. Akan tetapi klaim bahwa (lembaga) agama harus mendapat privilese politik dimasyarakat adalah anachronist dan ilegitim - kedaluwarsa dan tidak sah. Lebih tepat jika agama kita lihat sebagai sistim kultural dan juga sebagai elemen protonasionalisme - elemen pemersatu sebelum terbentuknya nasion atau bangsa. Ide luhur tentang nasion, famili, tata tertib telah dirusak sang diktator Adolf Hitler. Begitu pula Josef Stalin telah meracuni utopia sosialisme, yakni rasa kebersamaan, persaudaraan dan keadilan, dengan kebohongan, kemunafikan dan penindasan. Setelah zaman agama-agama 'sekular' ( fasisme hancur 1945, komunisme 1989) kini kita memasuki era baru, yakni era pos-sekularisme.

Bagaimana menerangkan fenomena kecenderungan meningkatnya bahaya ideologi 'kanan baru' dalam era pos-sekuler ini? sebaiknya kita berangkat dari tiga ideologi besar yang ada didunia; liberalisme, sosialisme dan konservatifisme. Liberalisme timbul abad ke 18. Dengan slogan klasik yakni kebebasan individual, persamaan hak dan hak milik pribadi. Persepsi mengenai kebebasan dan kepemilikan pribadi ini akhirnya menyebabkan problem baru dimasyarakat (Eropa); Kemiskinan massal. Kesenjangan sosial. Kondisi revolusioner. Untuk memperbaiki nasib kelas bawah, menjelang abad ke19 lahir gerakan kelas buruh sosialis progresif. Dengan semboyan, yakni persamaan hak, solidaritas serta kebebasan atau kemerdekaan. Sedangkan perilaku konservatif sama usianya dengan sejarah umat manusia. Konservatifisme yang muncul antara abad 19 dan 20 adalah merupakan reaksi Ancient Regime terhadap ide revolusi Perancis 1789. Kelompok konservatif menjawab tantangan revolusi Perancis paling sedikit dengan dua tipe prilaku, yakni kelompok konservatif yang mempertahankan keberadaan sistim politik disebut konservatif-status quo. Dan yang tidak mengharamkan perubahan, dinamakan konservatif-reformis.

Kata konservatif berasal dari conservare yang berarti melindungi dan mempertahankan. Kemudian pertanyaannya adalah: Apa yang harus dilindungi? Apa pula yang layak dipertahankan? Dengan cara apa orang dapat mempertahankan sesuatu? Perlu diakui bahwasanya pola pikir konservatif - dalam era globalisasi - bukan saja masih relevan, akan tetapi juga boleh jadi signifikan. Hanya saja dengan syarat selama 'konservasi' itu menyangkut kepentingan orang banyak. Dan bukan hanya dilihat dari retorika klasik kekuasaan yang ada seperti; tradisi, religiositas, otoritas, kebebasan yang bertanggung jawab, perbedaan alami antar manusia, skeptisisme. Alangkah baiknya jika konservatifisme dipandang dari logika masalah lingkungan hidup, misalnya. Kini semakin terasa menjadi kebutuhan mendesak setiap individu untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Baik dia seorang kyai, romo maupun pedanda. Semuanya memerlukan udara bersih bebas polusi, air minum yang jernih tanpa dicemari bahan kimia atau tinja, jalan (tol) yang tidak selalu macet. Artikulasi interes ini hendaknya bukan saja menjadi pemanis bibir para birokrat serta politisi, melainkan ia harus bisa hadir dalam bentuk sebuah gerakan-sosial ''alternatif''. Yang menambah maraknya suasana debat parlemen dalam konteks format politik baru dimasa mendatang. Apa salahnya sih? Ini hanyalah lebih merupakan satu impian. Saran. Ide. Utopia. Artinya kalau kita ingin keluar dari kemelut lingkaran setan, eskalasi kekerasan lawan kekerasan. Disamping itu, dalam format politik - milenium ketiga ini, masalah 'identitas kultural' masing masing partisipan tak menjadi persoalan. Artinya dinamika sosial dan pluralitas kultural tetap terjaga dengan baik.Demokratis. Sebab format politik baru ini bukan saja bottom up, lahir dari bawah, akan tetapi juga - berbeda dengan yang masih ada sekarang ini - ia bukan hadir sebagai hasil dari suatu kemenangan atas idelogi lain. Bukan juga sebagai hasil kawin paksa (baca difusikan) berbagai jenis partai. Melainkan ia lahir karena adanya persamaan persepsi mengenai ekologi, demokratisasi, HAM.

Sekedar untuk memperjelas persoalan perlu kiranya kita melirik keberhasilan gerakan-gerakan alternatif awal tahun 80an yang muncul di Eropa Barat (terutama di Jerman). Yang kemudian berhasil menjadi sebuah partai (the Green). Memasuki parlemen - tanpa kekerasan. Gerakan sosial alternatif sampai kini tak memiliki teori komplit. Apa lagi ideologi. Kelompok alternatif berasal dari gerakan mahasiswa 1968. Elemen dasar idelogis mereka adalah neo-marxisme, psychoanalisa, sosiologi emansipatoris, sikap anti-etablishment. Selama proses gerakan mahasiswa berlangsung disatu pihak, dipihak lain terbentuk pula gerakan sosial yang lain; feminisme dan berbagai macam gerakan lingkungan hidup. Untuk menjadi sebuah partai kelompok-kelompok aktivis ini telah menemukan forum mereka sendiri. Sejarah (keberhasilan) suatu gerakan sosial memang tak pernah terulang, tapi tak ada larangan untuk menjadikannya suatu pertimbangan. Terutama untuk kelompok konservatif-reformis pro-demokrasi. Ide-Ide kelompok reformis telah terbukti dapat menunjukkan jalan keluar dari kemelut sosial yang berkepanjangan yang dihadapi oleh satu negara. Jadi bukan revolusi tapi reformasi-sosial.

Secara real, pengalaman baru baru ini dengan RUU Ketenaganukliran, seyogyanya menjadi acuan bagi kelompok reformasi, bahwa memang sulit untuk menitipkan pemikiran pemikiran dengan persepsi ekologis lewat suatu kekuatan politik yang tidak lahir dari kesamaan persepsi ekologis. Begitu pula halnya dengan persepsi persepsi alternatif lainnya.

Dirangkum dari diskusi intern API Indonesia.


Kembali ke Daftar Isi