Mochtar Pabottinggi
(Pengamat Politik)
sumber : Forum Keadilan : Nomor 5, Tahun III, 23 Juni 1994
Dinegeri kita, kata "kebangsaan" rentan terhadap perangkap dan distorsi. Karena itu, siapapun yang hendak menggunakannya, apalagi buat nama organisasi sosial, dituntut untuk menjelaskan apa yang dimaksudnya. Tanpa penjelasan demikian, yang bersangkutan hanya berfungsi sebagai robot politik.
Sejak zaman pergerakan , kata "nasionalis" sudah dipakai dalam arti ganda. Ada "nasionalis" sebagai kelompok pergerakan tersendiri , dan ada "nasionalis" sebagai sebutan bersama bagi segenap pejuang pergerakan yang mendambakan lahirnya "nasion" Indonesia. Dalam wacana politik kita, kedua pengertian itu telah dicampur-aduk secara rancu.
Ambivalensi itu bermula dari Sukarno. Dalam tulisannya yang terkenal berjudul "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme", ia memakai kata "nasionalis" dalam pengertian pertama. Tetapi, dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), ia memakai kata nasionalis dalam pengertian kedua. Hatta sendiri, tampaknya, cenderung hanya memakai kata nasionalis dalam pengertian kedua. Ia membentuk Pendidikan Nasional Indonesia Baroe dan mengritik PPPKI sebagai tak lebih dari "persatean".
Kata "kebangsaan" menjadi perangkap dalam pengertian pertama, sementara khalayak menerimanya dalam pengertian kedua, dan sebaliknya. Polemik pada tahun 1930-an, antara Sukarno dan Haji Agoes Salim, secara tak sengaja memberikan pengertian distorsi atas kata itu. Kelompok politik muslim yang taat dipandang sebagai anti bangsa, dan kelompok politik yang paham kebangsaannya kuat dipandang sebagai anti-Islam.
Pandangan itu tidak sepenuhnya salah. Tapi, kenyataan dasar dilupakan bahwa pada empat dekade awal abad XX, ungkapan "orang selam" dan "bangsa Indonesia" umumnya mengacu ke kolektivitas yang sama. Sekarang pun mayoritas muslim yang taat tetap mencintai bangsanya dengan sepenuh hati. Juga dilupakan bahwa Agoes Salim sendiri adalah pejuang besar bagi kemerdekaan bangsa, yang dikecamnya hanyalah elevasi paham kebangsaan diatas tauhid.
Ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) pasca-perang didirikan, pada 22 Agustus 1945, dengan doa restu Sukarno dan Hatta, tertanamlah anggapan seakan-akan ia adalah partai yang mewakili apa yang diperjuangkan oleh kedua pendiri republik itu. Banyak orang Indonesia, apalagi pengamat asing, terkecoh dengan anggapan ini. PNI pascaperang tak lain dari partai kaum priyayi dan profesional, yang kata "profesional" bertumpang tindih dengan yang kemudian disebutnya "golongan karya".
Perangkap atau distorsi ini membesar akibat perdebatan model Sukarno-Agoes Salim dalam Konstituante pada tahun 1950-an, apakah dasar negara kita Islam atau kebangsaan? Sengitnya perdebatan itu tak lepas dari kiprah Partai Komunis Indonesia yang tidak menginginkan adanya kerukunan antara golongan "Islam" dan golongan "kebangsaan". Puncak perkembangan politik distorsi ini berlaku ketika PNI "mengapropriasi" Pancasila -- "summasi" dari paham kebangsaan kita -- sebagai miliknya sendiri. Ini membuat kalangan politisi Islam kehilangan rallying point dan "terpaksa" balik memperjuangkan "negara Islam". Karena nasionalis Islam sepenuhnya diabaikan.
"Apropriasi" Pancasila oleh PNI dan pelarian ke arah "negara Islam" oleh Masyumi sama-sama merupakan pengingkaran atas prinsip kesamaan dan kesederajatan tadi. Keduanya terperangkap dalam eksklusivisme. Dan kita semua tahu bahwa "separatisme" bermula dari "eksklusivisme".
Masa selama 25 tahun terakhir menunjukkan bahwa eksklusivisme tak hanya berlaku pada masyarakat, melainkan juga pada negara. Pemerintahan Orde Baru juga cenderung "mengapropriasi" Pancasila sebagai hanya patut dimiliki para eksponen utama Orde Baru. Format politik yang diterapkan oleh Orde Baru semakin memperjelas eksklusivisme. Substansi Pancasila itu sendiri dikesampingkan. Monopoli politik Orde Baru, berlanjut pada monopoli ekonomi, ini tak lain dari eksklusivisme politik.
Karena itu, kita perlu mewaspadai eksklusivisme. Setiap kelompok politik harus tetap menanamkan loyalitas utamanya pada bangsa, tanpa terjebak dalam dikotomi Sukarno-Agoes Salim. Salah satu bentuk eksklusivisme ini adalah digunakannya kata "kebangsaan" oleh sekelompok politisi, yang secara sengaja mengasumsikan bahwa semua kelompok diluarnya tak patut atau tak setia pada bangsa. Padahal, makin sering praktek itu dilakukan, semakin rapuh pula kebersamaan kita.
Maka, kita perlu membuka kembali selebar mungkin pintu-pintu partisipasi politik dan ekonomi secara merata. Termasuk dalam partisipasi ini adalah kontrol yang efektif dari wakil-wakil rakyat atas perilaku aparat dalam seluruh jenjang dan jajaran pemerintahan. Dalam tubuh pemerintahan ataupun diluarnya tak boleh ada kelompok yang kebal terhadap hukum. Pada dataran negara, seperti juga pada dataran masyarakat, prinsip kesamaan dan kesederajatan antar warganegara perlu ditegaskan dan diaktualisasikan kembali. Disitulah terletak kunci kecerahan masa depan dan kelangsungan kesatuan bangsa kita.