Telah 32 tahun Michajlo menjadi sopir taxi dikota Kiev. Namun belum pernah dia membawa penumpang sejauh 120 kilometer kearah Utara melewati desa-desa kecil menuju Chernobyl. Jalan-jalan yang dilewati sangat lengang dan sepi. Jika tidak sangat terpaksa, tiada seorangpun yang mau tinggal disana ataupun mengunjungi Chernobyl. Demikian kata Michajlo kepada penumpangnya.
Tiga puluh kilometer dari lokasi bekas reaktor, jalan raya ditutup. Tentara bersenjata melakukan patroli. Tanda bahaya radiasi dipasang di mana-mana. Walaupun kami membawa surat ijin masuk, tetapi hari itu kami tetap tidak diperbolehkan masuk daerah terlarang. Beruntung kami kemudian berkenalan dengan Peter. Peter adalah anggota pemadam kebakaran ketika musibah Chernobyl terjadi. Kini dia tetap bekerja di pos kontrol tersebut. Dengan bangga dia bercerita bahwa dia juga ikut membangun tembok tebal dari beton sebagai pelindung radiasi dari blok reaktor yang mencair dalam musibah dulu. Kami diundang kerumahnya di desa Briborsk, 3 kilometer dari pos kontrol (33 kilometer dari lokasi reaktor) dan diperkenalkan dengan istrinya Valentina serta anaknya Sisca (7 tahun) dan Olga (10 tahun). "Siscalah yang paling menderita diantara kami", katanya sambil merangkul si kecil. "Dokter mengatakan, dia mengidap penyakit kanker". Olga juga berada dalam perawatan di Kiev. Istrinya telah diwanti-wanti oleh dokter agar jangan lagi memiliki anak. "Kami tidak dapat pergi dari sini. Dimana lagi saya akan mendapat pekerjaan ?". Sampai dengan tahun lalu (1994), Sisca dan Olga dapat sekurang-kurangnya sekali setahun selama 4 minggu dirawat di pusat perawatan negara. Tahun ini kesempatan itu telah ditolak.
Hal tersebut adalah konsekuensi logis dari kesulitan ekonomi yang dialami Rusia dan juga Ukraina. Hanya pasien-pasien yang terparah yang masih mendapat tempat di pusat-pusat perawatan di Laut Hitam ataupun tempat lain. Bagi yang memiliki uang dapat mengirimkan anak-anaknya ke pusat perawatan di Eropa Barat, di Jerman misalnya. Kini anak-anak Ukraine dibawah usia 12 tahun 100 kali lebih banyak menderita kanker dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum musibah terjadi. Kesempatan untuk sembuh juga sangat buruk. Lemahnya imunitas tubuh akibat teradiasi berkembang menjadi semacam penyakit yang umum di Ukraina. Apa yang terjadi nanti, jika kanak-kanak ini kemudian memiliki anak lagi ? Bagaimana dengan anak-anaknya ? Ini pertanyaan yang sangat merisaukan di Ukraina.
Maria Bilak, seorang ibu berusia 35 tahun, berbicara mengenai bantuan negara setelah bencana. "Semua itu adalah janji sampah. Anak saya sangat menderita karena bencana tersebut, namun tak seorangpun menolong dia". Putranya Yoseph hanya mampu tiap hari selama 1 jam belajar di sekolah. Setelah itu konsentrasinya melemah dan tak mampu melanjutkan pelajarannya lagi. Secara kontinu, anak ini menderita sakit kepala, ginjalnya juga terluka.
Begitu banyak anak-anak Ukraine yang menderita berbagai penyakit saat ini. Epilepsi, kanker, sakit kepala yang kronis, leukemia, kelainan jantung, perdarahan dari hidung yang kronis dan lain-lain. Maria Bilak bersama beberapa orang tua yang prihatin dengan keadaan ini mendirikan sebuah organisasi bernama: "Asosiasi Anak-Anak Korban Chernobyl". Beberapa dokter meluangkan waktunya untuk merawat pasien-pasien mungil yang menderita tersebut. Namun kekurangan obat-obatan, peralatan medis, makanan yang bergizi menjadi masalah pokok. Selain itu memang harus diakui sulitnya menangani penyakit-penyakit kronis akibat radiasi tersebut.
Informasi yang tidak akurat dan tepat waktu
Beberapa orang tua sampai hari ini masih menyesali betapa mereka tidak secara cepat dan tepat diberitahu mengenai musibah dan segala bahaya yang terkait dengannya oleh yang berwenang. "Tak seorangpun waktu itu yang menasehati bahwa kami seharusnya segera meminum tablet yodium", gerutu Olga, ibu berusia 39 tahun yang putrinya kini harus dirawat intensif. Pada hari kecelakaan, kisahnya, dia mendengar bunyi sirene berjam-jam lamanya tanpa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Beberapa hari kemudian, dia menonton berita singkat di TV mengenai kecelakaan reaktor tersebut, tanpa sekalipun menyadari bahaya yang sebenarnya bagi mereka karena kecelakaan tersebut. Delapan minggu kemudian, sekolah putrinya diliburkan selama 2 bulan. Namun semua itu telah terlambat. Ditahun berikutnya, 3 anak dari desa Olga meninggal dunia. Sementara yang lain dan yang kemudian lahir, mulai menderita berbagai penyakit.
Banyak orang tua dari anak-anak korban reaktor tesebut sementara ini tidak tahu lagi apa yang seharusnya mereka perbuat. Semuanya telah menghabiskan segala kekayaan yang tersisa untuk perawatan putra/i-nya. Sumbangan dari luar negri dari tahun ke tahun semakin menipis. "Pada saat-saat awal semuanya seolah-olah mau membantu kami, namun kini anak-anak kami seakan-akan telah luput dari perhatian, telah terlupakan, padahal penderitaannya masih berkepanjangan", gumam seorang bapak tanpa harapan. Yah, penderitaan yang berkepanjangan sampai ke generasi berikutnya, itulah hantu yang menakutkan dari kecelakaan sebuah reaktor Nuklir.
Alexej Simjalio adalah salah seorang dokter yang merawat anak-anak korban Chernobyl tersebut. Dia bekerja tanpa dibayar. "Yah saya sendiri tak memiliki harapan apa-apa lagi" kilahnya. Ketika tahun 1986 beberapa dokter sukarela dibutuhkan untuk Chernobyl, dia termasuk orang-orang pertama yang mendaftarkan diri. Setelah setengah tahun terjun di kawasan teradiasi tersebut, dia ditarik. Beberapa minggu setelah ditarik, terasa olehnya betapa persendian kaki kanannya menjadi lumpuh/mati rasa. Di tahun lalu, bagian demi bagian kakinya harus diamputasi. Kini dia hanya memiliki tubuh diatas lututnya. "Hidup saya tidak akan lama lagi, karena itu hari-hari terakhir saya akan saya persembahkan untuk anak-anak korban Chernobyl ini".
Ketika mengalih-bahasakan tulisan dari Peter Hummel di majalah Weltbild nomor 15 tahun 1995 ini, saya hanya mampu bergumam : "Tuhan, semoga hal ini tidak pernah terjadi di tanah air saya, Indonesia".