Pembentukan negara RI dan pengembangan institusi2 demokrasi

di Indonesia 1945-1959.


I. Pengantar:

Sejak dua tahun terakhir masyarakat Indonesia mengalami krisis yang telah memakan korban jiwa yang sangat banyak. Sejak pertengahan Juli 1997 krisis ekonomi makin memburuk sementara pembaharuan di dalam sistim hubungan antara masyarakat dan institusi2 negara belum kunjung tiba. Usaha dari pihak oposisi untuk menegakkan Hak2 Azasi Manusia (HAM) dan penerapan prinsip2 demokrasi akhir2 ini sebetulnya sudah sejak lama dirintis oleh para demokrat Indonesia. Tulisan berikut ini berusaha memberi gambaran singkat tentang usaha2 para pejuang Indonesia dalam pembentukan institusi2 demokrasi negara RI parlementer pada periode 1950-1959 sebagai masukan bagi usaha2 pengembangan demokrasi masa pasca Orde Baru. Terlepas dari cita2/die yang mulia, bagaimanapun jua tugas yang terpenting dan terberat adalah penggalangan kekuatan sosial politik yang mampu merealisir pembentukan institusi demokrasi di Indonesia serta dapat mempertahankan kelestariannya.

 

II. Gerakan2 Oposisi dan usaha2 demokrasitisasi.

 

Tragedi nasional belum juga berakhir. Tahun 1996/1997 penindasan atas golongan minoritas, konflik berdarah antar etnis, penangkapan aktivist pro-demokrasi, konfrontasi pisik menjelang dan ketika Pemilu berlangsung, bencana kelaparan diberbagai daerah serta bencana lingkungan telah banyak memakan korban jiwa dan materil. 1997/1998 terjadi krisis moneter yang disusul oleh krisis ekonomi sampai menyebabkan korban jiwa dan yang melibatkan persoalan politik di Indonesia sehingga krisis ekonomi semakin mendalam. Menurut pemerintah RI cq Departemen Tenaga Kerja, tambahan angka pengangguran akibat resesi yang berkepanjangan ini mencapai 8 juta. Kelangkaan barang kebutuhan hidup sehari hari dipasaran mengakibatkan banyak orang berebut untuk mendapatkan barang sehingga memakan korban jiwa. Kerusuhan2 di Jatim, Flores, Sulawesi dan daerah2 lainnya untuk sementara waktu dapat di redam oleh aparat keamanan tetapi tindakan2 kriminal disana sini tidak dapat diatasi sepenuhnya dan mengancam keamanan masyarakat terutama golongan minoritas.. Mereka yang paling menderita dari krisis yang tengah berlangsung ini adalah mayoritas rakyat Indonesia yang sejak dulu tertindas dan terus dalam keadaan miskin dan lemah.

Ada cukup banyak usaha2 dari berbagai pihak yang berpendapat bahwa struktur politik harus dirubah dan oleh karena itu diperlukan organisasi untuk menyalurkan aspirasi rakyat untuk dibawa pada zaman yang lebih baik. Sekalipun dengan titik tolak yang berbeda beda, usaha2 dari Petisi 50, organisasi2 kemahasiswaan, berbagai LSM, INFIGHT, PRD, PUDI, SBSI dlsb bermaksud untuk membangun sebuah sistim politik yang lebih bebas dimana masyarakat dapat diikutsertakan dalam proses pembuatan keputusan2 politik yang menyangkut kehidupan mereka sehari hari. Gerakan2 pro demokrasi yang menerapkan metode yang berbeda beda, pada hakekatnya mendambakan terbentuknya institusi2 negara yang dapat melayani kepentingan2 mereka; seperti mis: birokrasi yang transparans (terkontrol oleh masyarakat sehingga tidak korup!) dari tingkat desa s/d nasional, pengadilan yang bebas dari kolusi, aparat keamanan yang bertindak atas hukum yang adil dan berwibawa dst. Berjalannya fungsi kontrol sosial dari masyarakat atas institusi2 negara menjadi problem pokok gerakan pro demokrasi di Indonesia. Tidak sedikit kalangan yang meragukan kemampuan bangsa Indonesia untuk menjalankan prinsip demokrasi. Argumentasi tentang lebih pentingnya membangun sektor ekonomi dengan mengorbankan prinsip2 HAM dan demokrasi dengan alasan bahwa jika tingkat kesejahteraan sudah cukup tinggi maka lambat laun proses demokratisasi dapat dijalankan. Tapi sejak 31 tahun terakhir kenaikan pendapatan perkapita yang lebih dari 10 kali lipat itu tidak menjadikan ditegakkannya HAM dan prinsip2 demokrasi. Sebaliknya, justru pemerintah yang yang sejak lama membanggakan "pembangunan ekonomi" ternyata mewariskan hutang LN yang tinggi, birokrat yang korup, konglomerat yang hanya "jago di kandang sendiri", kemiskinan yang meraja lela dan mengantar masyarakat Indonesia ke berbagai tragedi nasional yang memakan banyak korban jiwa.

 

III. Pembangunan sistim demokrasi sejak Proklamasi Kemerdekaan.

 

Bangsa Indonesia pernah berhasil menegakkan sistim demokrasi. Puncak usaha demokratisasi tsb adalah dilaksanakannya Pemilu tahun 1955, dibentuknya DPR dan Dewan Konstituante yang berhasil merumuskan HAM hasil tukar pendapat dan pencapaian kompromi dari berbagai partai politik dari berbagai spektrum politik. Sejak zaman perintisan kemerdekaan awal abad ini, peran

pemuda dalam melawan penjajahan pada umumnya berpedoman pada pembebasan penderitaan rakyat dari belenggu penindasan.

Untuk itu diperlukan organisasi yang dapat dipergunakan untuk merealisir ide pembebasan itu. Pada mulanya bermunculan organisasi2 yang bersifat eksklusif tapi lambat laun muncul organisasi2 yang revolusioner dan bergerak dibawah tanah. Sekalipun situasi pada saat itu sangat represif tetapi gerakan kaum muda semakin meluas dan sasaran yang ingin dicapai adalah suatu negara Indonesia dimana institusi2nya memungkinkan semua hidup bebas dari penindasan dan bebas dari kemiskinan.

Sejak dahulu para pejuang kemerdekaan Indonesia bercita cita dan membangun negara Indonesia yang institusi2 nya terkontrol oleh masyarakat melalui sistim perwakilan, dimana kebebasan berorganisasi dan berpendapat dijamin. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah merasa wajib membangun institusi2 negara, sekalipun situasi saat itu dalam keadaan serba terbatas. Pada 22 Agustus 1945 dibentuklah KNIP (Komitee Nasional Indonesia Pusat) yang beranggotakan 150 orang untuk membantu Presiden dan Wapres dalam menjalankan tugas2 pemerintahan RI. Tanggal 7 Oktober 1945 KNIP mengusulkan petisi kepada Presiden yang berisi bahwasanya Indonesia membutuhkan wadah legislatif. Presiden dan Wapres ketika itu setuju dengan prinsip pengembangan lembaga2 negara yang demokratis. 17 Oktober 1945 Wapres Hatta atas nama pemerintah mengeluarkan Maklumat X/1945 yang menetapkan KNIP sebagai lembaga legislatif yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan demikian sejak saat itu sistim kenegaraan di Indonesia menganut sistim parlementer sekalipun UUD yang berlaku yaitu UUD 45 menganut sistim presidensil.

Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara

Presiden dan tokoh2 lainnya, yang menandakan

bahwa komitmen pejabat pemerintah kala itu dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi sangat tinggi. Dalam keputusan 17 Oktober tsb juga dinyatakan bahwa KNIP mendelegasikan kekuasaanya kepada BP (Badan Pekerja) KNIP (yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan 15 orang anggota dari KNIP) yang sedikitnya setiap 10 hari mengadakan rapat dan bertanggung jawab pada KNIP. Tanggal 30 Oktober 1945 BP KNIP membentuk KNIP di daerah2 (semacam DPRD) sehingga badan legislatif tidak saja terdapat di pusat tetapi juga di daerah2 di Indonesia. Tanggal 3 November 1945 BP KNIP memberlakukan keputusan yang sangat penting bagi penegakan prinsip demokrasi dan HAM di Indonesia yakni kebebasan berbicara, berpendapat dan kebebasan berorganisasi. Keputusan tersebut memberlakukan legalitas sistim multipartai di Indonesia; sejak saat itu berdirilah berbagai partai beserta organisasi massanya dari berbagai spektrum politik yang ada. BP KNIP juga merencanakan untuk mengadakan pemilu pada bulan Januari 1946 dalam rangka membentuk lembaga perwakilan (parlemen) pilihan rakyat.

Karena UUD 45 tidak mengharuskan anggota2 kabinet bertanggung jawab pada parlemen, maka pada 11 Nov. 1945 BP KNIP menganggap perlu dan memutuskan untuk membentuk suatu azas hukum yang mewajibkan anggota2 kabinet untuk bertanggung jawab pada parlemen (dalam hal ini KNIP). Pada 14 Nov. 1945 terbentuklah kabinet parlementer dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Mentri RI yang pertama dan mentri pertahanan dijabat oleh seorang sipil yaitu Mr. Amir Sjarifuddin. Dengan demikian tugas pemerintah se-hari2 nya dijalankan oleh PM Sjahrir dan Presiden RI Sukarno hanyalah sebagai simbol kepala negara. Basis politik luar negri RI juga ditegaskan Pemerintah RI pada 1 Nov 1945 yaitu mendukung prinsip2 Atlantic Charter 1941 yang berarti menegaskan komitmen mereka terhadap perdamaian dunia dan menentang segala bentuk penjajahan serta berkehendak untuk menyelesaikan proses dekolonisasi lewat perundingan2 diplomasi.

 

IV. Berdirinya Partai2 Politik dan Organisasi2 Massa.

 

A. Partai yang tidak berafiliasi pada agama.

 

1. Partai Sosialis.

Menyusul keputusan pemerintah 1 Nov. 1945 tentang pendirian parpol dan organisasi massa, berdirilah berbagai parpol dengan berbagai ideologi sehingga terciptalah suatu spektrum politik yang sangat bineka. Pada 1 Nov. 1945 Amir Sjarifuddin mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) di Jogjakarta dan pada 12 Nov. 1945 mengadakan konggresnya yang pertama dengan tujuan mempertahankan negara RI, sosialisme ekonomi dan memperkuat basis tani, buruh dan pemuda. Pada 19 Nov. 1945 Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis (Paras) di Cirebon. Tidak lama kemudian yaitu pada 17 Desember 1945 di Cirebon kedua partai sosialis ini berfusi kedalam Partai Sosialis yang akhirnya dipimpin oleh Sjahrir dan Amir Sjarifuddin bersama tokoh lain yaitu Dr. Sudarsono, Johan Sjahroezah, Oei Gie Hwat, Abdulmadjid, L. M. Sitorus, Tan Ling Djie dan Subadio Sastrosatomo. Fusi ini tidak berlangsung lama karena perbedaan pandangan yang semakin tajam antara Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Pada bulan Pebr. 1948 Sjahrir mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang menitik beratkan pada pembentukan kader Sosialis ala Indonesia. Partai ini banyak persamaannya dengan PNI atau Pendidikan Nasional Indonesia (didirikan oleh Sjahrir dan Hatta pada awal 1932 sepulanya mereka dari negri Belanda) yang menghimpun dan mengembangkan kader pemimpin yang berkwalitas untuk mencapai kemerdekaan (tidak bertujuan untuk menghimpun massa seperti partai2 lainnya).

 

 

2.Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

 

Tidak saja di ibukota Jakarta, tetapi di daerah2pun berdiri parpol2 baik yang berafiliasi pada agama maupun yang beraliran nasionalis. Pada tanggal 28 Januari s/d 1 Pebr. 1946 berlangsung kongres parpol/ormas dari kalangan nasionalis. Pada tanggal 29 Januari 1946 kongres sepakat untuk melebur diri dan membentuk PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dengan ketua Sarmidi Mangunsarkoro (ketua PNI Jateng) dan wakil2: Mr. Djody Gondokusumo (ketua PNI Jatim) serta Mr. Wilopo (ketua PNI Jabar). Tokoh2 PNI dari luar Jawa al adalah Dr. A.K. Gani (PNI Sumatra), Manai Sophiaan (PNI Sulawesi), A.S. Pello (PNI Sunda Kecil/NTB & NTT) serta M. Gozali (PNI Kalimantan). PNI yang lain pernah didirikan oleh yaitu Ir. Sukarno (bersama: Mr. Iskaq Cokrohadisurjo, Dr. Cipto Mangunkusumo dan Mr. Sartono) pada tanggal 4 Juni 1927 di Bandung yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. PNI ini dilarang dan dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pada 29 Desember 1929 Sukarno ditangkap, diadili pada 3 September 1930 dan di hukum 3 tahun penjara. Dalam pengadilan inilah Sukarno membacakan pembelaannya yang sangat terkenal dan berpengaruh besar terhadap pergerakan kaum muda dari dulu hingga sekarang, yaitu "Indonesia klaagt aan!" atau "Indonesia menggugat!" (aktifis gerakan mahasiswa 1978 dan mantan ketua dewan mahasiswa ITB Hery Achmadi yang ditangkap dan diadili pada 1979 dalam pidato pembelaannya juga memilih judul "Indonesia menggugat!").

 

3. Partai Buruh Indonesia.

 

Pada tanggal 1 September 1945 kelompok pemuda yang bermarkas di Jl. Menteng 31 Jkt (yang baru saja membentuk Komite van Aksi atau Komisi Aksi) mendirikan API (Angkatan Muda Indonesia) yang diketuai oleh Wikana, wakil: Chaerul Saleh dan bendahara Darwis. Kemudian Komisi Aksi pada 15 September 1945 membentuk Barisan Rakyat dan yang terkenal adalah Barisan Buruh Indonesia. Komisi Aksi menuntut KNIP untuk mengakui eksistensi BBI yang langsung disetujui, dimana anggota KNIP Iwa Kusumasumantri berhasil mengusahakan kongres Buruh dan Tani di Solo pada awal Nov. 1945 dan dalam kongres tsb BBI diubah menjadi PBI (Partai Buruh Indonesia) dengan Sjamsu Harja Udaja sebagai ketua dan Surabaya sebagai pusat PBI. Pada 15 Des. 1945 PBI mengadakan kongres pertamanya di Madiun dan menetapkan bhw PBI berjuang utk kepentingan buruh vis a vis pemilik modal. Dalam perkembangannya, kelompok non komunis PBI memisahkan diri dan membentuk Partai Buruh pada tanggal 25 Desember 1949.

 

4. Partai Komunis Indonesia (PKI).

 

Pada tanggal 6 Nov. 1945 Mr. Mohammad Jusuf dan Mr. Suprapto mendirikan Partai Komunis Indonesia.yang tidak banyak kaitannya dengan PKI sebelumnya. PKI sesungguhnya telah berdiri sejak 23 Mei 1920 di Semarang dengan tokoh2 nya Semaun (mantan pemimpin ISDV=Indische Sociaal-Democratische Vereniging, dan Sjarekat Islam "merah"), Darsono, dan Bergsma. PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah Belanda setelah pemberontakan 1926. PKI juga pernah didirikan kembali oleh Muso pada tahun 1935. Pendukung PKI terutama berada di pulau Jawa; secara umum dapat dikatakan bahwa dukungan PKI diperoleh dari orang Jawa abangan, kalangan buruh tani, buruh perkotaan dan golongan nasionalis kiri (walaupun sebagian besar fungsionaris PKI berlatar belakang elit).

 

5. Partai Murba.

 

Pada tanggal 3 Okt 1948 para pengikut Tan Malaka yang tergabung dalam berbagai organisasi bersepakat untuk melebur diri kedalam partai Murba. Partai Murba resmi berdiri pada 7 Nov. 1948. Tanggal tsb sengaja dipilih untuk memperingati revolusi Bolsjewik di Rusia. Tokoh pendiri partai Murba adalah Sukarni, Maruto Nitimihardjo dan Pandu Kartawinata. Program partai Murba banyak dipengaruhi oleh program minimum Persatuan Perjuangan yang pernah di umumkan oleh Tan Malaka.

Menjelang Pemilu 1955 berdiri berbagai partai non agama al: IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang didirikan oleh Jend. A.H. Nasution bulan Mei 1954; GPPS (Gerakan Pembela Panca Sila) yang didirikan oleh beberapa tokoh PNI pada tahun 1954.

 

B. Partai yang berafiliasi pada agama Islam.

 

1. Masjumi.

 

Pada tanggal 7 Nov. 1945 berdirilah Masjumi (bukan kependekan dari Majelis Sjuro Islam Indonesia yang didirikan oleh Jepang pada 1943) di Jogjakarta yang dipimpin oleh kaum Islam modernist, yaitu Dr. H. Sukiman Wirjosandjojo dan R. Abikusno Tjokrosujoso. Sesungguhnya pada bulan Oktober 1943 (zaman pendudukan Jepang) pemerintah Jepang di Indonesia menghimpun organisasi2 Islam dan mendirikan MIAI (Madjlisul Islamil a’laa Indonesia) yang kemudian beralih menjadi Masjumi yang merupakan kependekan dari Majelis Sjuro Islam Indonesia (dipimpin oleh tokoh2 Muhammaddiah dan NU).

Masjumi merupakan salah satu partai yang terbesar di Indonesia dan mendapat banyak dukungan dari kaum Islam perkotaan terutama di daerah Sumatra dan dalam batas tertentu di daerah perkotaan pulau Jawa dan Madura.

 

2. Nahdatul Ulama (NU).

 

Kaum tradisionalis Islam Jawa dengan tokohnya Parpol/ormas yang banyak berperan dalam demokrasi parlementer di Indonesia adalah NU (Nahdatul Ulama) yang didirikan oleh pemimpin pesantren Jombang, K.H. Hasjim Asjari 1926. Pendukung NU yang terutama adalah masyarakat santri di daerah Jatim NU pernah bergabung kedalam federasi ormas Islam Masjumi pada 1943 atas usaha pemerintah Jepang tapi setelah konflik/rivalitas intern organisasi yang berkepanjangan maka pada rapat pengurus besar NU di Surabaya pada tanggal 5 April 1952 memutuskan untuk memisahkan diri dari Masjumi . Sejak itu cita2 ormas Islam di Indonesia untuk bernaung dibawah hanya satu partai Islam semakin jauh dari kenyataan.

 

3. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

 

Awal Juli 1947 PM Amir Sjarifuddin memerlukan tambahan partner koalisi dalam kabinetnya. Wondoamiseno, Arudji Kartawinata dan R. Abikusno Tjokrosujoso yang mendukung Amir Sjarifuddin ketika itu anggota Masjumi keluar dari Masjumi dan mendirikan kembali PSII yang pernah didirikan oleh Dr. Sukiman dan juga Abikusno Tjokrosujoso pada tahun 1929.

PSIIadalah organisasi Islam modernist yang sebelumnya bernama Sarekat Islam (didirikan HOS Tjokroaminoto 1912 di Surabaya). Wondoamiseno dan Arudji Kartawinata masing2 mendapat kedudukan mentri dalam negri dan mentri muda Pertahanan dalam kabinet Amir Sjarifuddin ketika itu. Pimpinan Masjumi sangat kecewa baik terhadap PM Amir Sjarifuddin maupun pada beberapa pimpinan Masjumi yang memisahkan diri dan mendirikan PSII.

 

4. Persatuan Tarbiyatul Islamiah (Perti).

 

Tokoh Islam tradisionalis di Sumatra (Minangkabau, Aceh, Sumatera Utara dan bengkulu) pada 20 Mei 1930 mendirikan Perti yang berpusat di Bukit Tinggi. Tokoh pendiri Perti adalah Syeh Abbas dan Syeh Sulaiman. Perti merupakan organisasi Islam tradisionalis Sumatra yang tidak sepakat dengan penyebaran Islam modernist seperti Muhammaddiah atau Masjumi. Pada tanggal 22 Nov. 1945 Perti menyatakan diri sebagai partai Islam yang berdiri sendiri.

 

C. Partai yang berafiliasi pada agama Katolik/Kristen dan golongan minoritas.

 

1. Partai Katolik.

 

Partai Katolik pertama didirikan pada tahun 1925; sekalipun partai ini adalah partai minoritas, sejak berdirinya selalu mendukung gerakan pencapaian Indonesia merdeka (menentang penguasa kolonial Belanda). Partai Katolik didirikan kembali oleh I.J. Kasimo pada 8 Desember 1945 di Solo. Pada bulan Desember tahun 1949 berbagai organisasi Katolik dari berbagai daerah seperti Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan Jateng dan Jogjakarta, mengadakan konferensi dan menyatakan diri bergabung dibawah naungan Partai Katolik.

 

2. Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

 

Parkindo didirikan oleh Dr. Leimena, Dr. W.Z. Johannes dan M. Tambunan di Jakarta pada tanggal 18 November 1945. Pendukung Parkindo datang dari kalangan Kristen di Indonesia bagian timur, sebagian pulau Jawa dan Sumut.

Baik partai Katolik maupun Parkindo sejak awal sangat mendukung dasar negara Pancasila dan menegaskan pendiriannya terhadap kebebasan beragama di Indonesia.

 

3. Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia).

 

Pada konggres PDTI (Persatuan Demokrat Tionghoa Indonesia) di Jakarta 11-13 Maret 1954 Oei Tjoe Tat mengusulkan dibentuknya Baperwatt (Badan Permusyawaratan Warga-Turunan Tionghoa). Usulan ini berdasar pada Manifesto politik Pemerintah RI tertanggal 1 Nov 1945 yang dirintis oleh PM Syahrir, yaitu membangun masyarakat dimana warganya mendapat hak yang sama sehingga dapat menjadi patriot Indonesia sejati. Pada prinsipnya konggres menerima usulan itu tapi istilah Tionghoa diminta (oleh para peserta yang tidak lagi merasa sebagai keturunan Tionghoa) untuk diganti menjadi Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Anggota Baperki tidak hanya terdiri dari keturunan Tionghoa, mis: Zainul Arifin (tokoh NU); Dr. Sumarno, (mantan Gubernur DKI) dan Adam Malik (mantan Wapres) kesemuanya bahkan pernah menjadi anggota pengurus Baperki. Ketua Baperki dijabat oleh Siauw Giok Tjhan (mantan mentri negara, anggota DPR dan dewan Konstituante). Tokoh Baperki lain adalah Yap Thian Hin, yang dikenal sbg pejuang HAM di Indonesia.

 

V. Pemilihan aggota2 DPR di Indonesia 1955.

Sekalipun komitmen pemerintah RI untuk mengadakan pemilu (untuk anggota DPR) sudah ditegaskan sejak proklamasi tetapi pemilu pertama baru bisa dilakukan pada zaman kabinet Burhanuddin (Masjumi) tanggal 29 September 1955. Sekitar 43,1 juta warga RI yang berumur diatas 18 tahun atau sudah kawin mendaftarkan diri pada Panitia Penyelenggara Pemungutan Suara. 87% dari mereka yang terdaftar menggunakan hak pilih mereka di 93.532 TPS (Tempat Pemungutan Suara) dan 97% dari suara yang masuk dinyatakan syah. Tidak kurang dari 34 parpol/ormas mengikuti kontes pemilu 1955, tetapi hanya 4 partai yang memperoleh suara lebih dari 16% (PNI 22,3%, Masjumi 20,9%, NU 18,4% dan PKI 16,4%) dan selebihnya mendapat suara kurang dari 3%. PNI, NU dan PKI mendapatkan suara terbanyak di Jateng, Jogja dan Jatim dan sedikit di daerah luar Jawa, sedangkan Masjumi mendapat suara terbanyak di luar pulau Jawa dan di Jabar serta sedikit suara di daerah Jateng dan Jatim. Partai Katolik dan Parkindo banyak mendapat suara di Indonesia bagian timur dan di Sumut. Hasil pemilu tsb mencerminkan dualisme antara Jawa vs luar Jawa. Selain itu secara umum juga tercermin pengelompokan masyarakat di Indonesia yang berafiliasi terhadap partai tertentu; yaitu kalangan aristokrat/birokrat yang mendukung PNI, golongan Islam perkotaan modernist yang mendukung Masjumi, golongan Islam pedesaan tradisionalis yang mendukung NU serta masyarakat kecil ("wong cilik") atau golongan abangan yang mendukung PKI.

 

VI. Pemilihan anggota Dewan Konstituante dan keputusan tentang Hak2 Azasi manusia.

 

Pada tanggal 15 Desember 1955 dilangsungkan pemilu untuk pemilihan Dewan Konstituante yang bertugas untuk menyusun UUD yang legitim sehingga dapat menggantikan UUD yang selalu bersifat sementara. Pemilu ini hasilnya tidak begitu banyak bedanya dengan hasil pemilu anggota parlemen sebelumnya. Pada tanggal 10 Nov. 1956 Dewan Konstituante terbentuk dan pada tanggal 19 Agustus 1958 dewan ini berhasil merumuskan keputusan No. 26/K/PK/1958 yaitu bagian penting dari UUD yang memuat Hak2 Azasi Manusia (hasil kompromi dari diskusi panjang antara seluruh wakil2 parpol/ormas dari berbagai golongan). Pencapaian kompromi terhadap HAM tsb merupakan titik puncak dari usaha2 para politikus Indonesia dalam membangun institusi2 sosial-politik yang memungkinkan dijalankannya kehidupan demokrasi di Indonesia. Sayang dewan pilihan rakyat yang hampir menyelesaikan tugas pokok mereka yaitu membuat UUD, dibubarkan lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (kembali ke UUD 45), sekalipun hal ini melanggar UUD 50 yang berlaku ketika itu.

 

VII. Penyebab runtuhnya institusi2 demokrasi di Indonesia.

 

Sebenarnya, institusi2 demokrasi telah dihancurkan sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu ketika Jend. Nasution (panglima ABRI) pada 14 Maret 1957 berhasil mendesak Presiden Sukarno untuk memberlakukan SOB (Staat Van Oorlog en Beleg), yaitu pernyataan bahwa negara dalam keadaan darurat (pemberlakuan jam malam, pembatasan kegiatan2 masyarakat, bahkan membatasi sidang Dewan Konstituante!) yang berarti bahwa militer secara de facto berhasil mengontrol kehidupan rakyat. Dengan demikian sejak saat itu ABRI merupakan kekuatan sospol yang sangat menentukan jalannya pemerintah RI. Sebelum itu, yaitu pada tanggal 17 Oktober 1952 dibawah Jen. Nasution, segenap pimpinan Angkatan Darat mengancam pemerintah RI untuk tidak menggunakan haknya dalam menentukan kebijaksanaan2 RI dibidang pertahanan. Usaha tsb dipatahkan oleh Presiden Sukarno dan Jen. Nasution dipecat dari jabatannya sebagai Pangab. Tahun 1955 atas usaha Presiden Sukarno Nasution kembali diangkat sebagai Pangab, berkoalisi dengan Presd. Sukarno dan menjalankan program RERA, yaitu restrukturisasi/rasionalisasi ABRI, dimana perwira2 saingannya di pusat dipindahkan ke daerah2. Situasi ekonomi daerah ketika itu sangat buruk. Rakyat didaerah (termasuk prajurit2 ABRI) ketika itu diliputi oleh situasi yang serba tidak berkecukupan. Merasa kecewa thdp kebijaksanaan pusat, para perwira militer didaerah di Sumatra dan di Sulawesi (Kol. Zulkifli Lubis, Letkol. Ahmad Husein, Kol. M. Simbolon, Letkol. Barlian di Sumatra, Letkol. Joop Warouw, Letkol. HNV Sumual, Letkol. Saleh Lahade, Letkol Andi Mattalata di Sulawesi) pada tahun 1956/1957 mengadakan protes keras melalui pembentukan PRRI/ PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Semesta Alam) menuntut penggantian segenap pimpinan ABRI, restorasi dwitunggal Pres./Wapres Sukarno-Hatta, pendirian lembaga Senat (terdiri dari perwakilan daerah2 di pemerintahan pusat) dan pemerataan pembangunan. Akibatnya terjadi konflik fisik antara pasukan pusat (dibawah Jen.Nasution) lawan pasukan2 daerah dibawah Zulkifli Lubis, Warouw dkk). Gerakan protes PRRI/Permesta mendapat dukungan dari partai politik Masjumi dan PSI yang notabene mempunyai basis dukungan di daerah luar Jawa. "Pertempuran" tsb dimenangkan oleh Jen. Nasution pada tahun 1958. Sejak itu posisi ABRI dibawah Jen. Nasution semakin kuat dan bahkan berhasil mendelegitimasi sistim parlementer sehingga posisi Presiden Sukarno, parpol/ormas (DPR dan Dewan Konstituante hasil pilihan rakyat) menjadi sangat lemah dan mengembalikannya ke sistim pemerintah presidensil, yaitu kembali ke UUD 45.

Penyebab ketidak stabilan politik lainnya adalah: (1). Antara 1945-1949 Indonesia mengalami serangan militer dari fihak sekutu dan terutama serangan2 militer dari kerajaan Belanda yang memakan banyak korban jiwa dan kerusakan2 infrastruktur. Serangan2 militer yang bertubu tubi itu mengakibatkan pemerintah RI melakukan perundingan dengan harapan serangan2 militer itu terhenti. Jalan perundingan tidak disetujui oleh golongan kiri nasionalis yang tidak mempercayai itikad pihak Belanda. Hal ini mengakibatkan pertentangan antara pihak2 yang pro lawan pihak yang kontra perundingan. Pertentangan2 tsb mengakibatkan destabilitasi sosial-politik yang kompleks dan berkepanjangan. (2) Hasil perundingan Meja Bundar disatu fihak membuahkan pengakuan Belanda atas kedaulatan RI sejak 27 Desember 1949 tapi dilain fihak mewajibkan pemerintah RI untuk melindungi perusahaan2 dan hak milik asing (terutama milik orang Belanda) di Indonesia. Hal ini tidak disetujui golongan nasionalis kiri yang menganggap bahwa hal tsb adalah suatu bentuk penjajahan model baru; karena itu timbulah konflik yang berkepanjangan yang mengakibatkan destabilisasi sosial politik di Indonesia kala itu. (3) Selain itu pemerintah RI harus menghadapi pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jabar (Karto Suwiryo), Sulsel (Kahar Muzakar) dan Aceh (Hasan Tiro) yang menghendaki pembentukan negara Islam Indonesia. Perkembangan itu tidak memungkinkan dilaksanakannya program2 ekonomi sehingga kemiskinan meraja lela, image pemerintah dimata masyarakat memburuk sehingga dengan demikian jalan terbuka lebar bagi Jen. AH. Nasution dkk (yang mempunyai organisasi yang efektif dan memiliki sarana2 yang cukup) untuk meluluhkan legitimasi demokrasi parlementer dan menggantinya dengan sistim presidensil (UUD 45).

Setelah dekrit 5 Juli 1959, komponen2 yang paling menentukan dalam politik di Indonesia adalah Militer, Presiden Sukarno, PNI, NU dan PKI. Untuk menandingi militer Presiden Sukarno berusaha berkoalisi dengan parpol besar yang tersisa lewat konsep Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom), tapi usaha2 itu gagal, sehingga posisi Sukarno makin lemah. Setelah peristiwa G30S 1965, posisi Jend. A.H. Nasution tergeser oleh pemegang Supersemar Jend. Suharto. 12 Maret 1967 PKI dibubarkan dan munculah Orde Baru dengan Golkar sebagai partai utamanya. Dengan dalih stabilitas politik demi pembangunan nasional, pemerintah orba mendorong para parpol untuk berfusi. Pembangunan nasional ala orde baru ternyata malah mengantar Indonesia kedalam krisis ekonomi yang dalam berkepanjangan. Di zaman demokrasi parlementer terdapat kemerdekaan politik tapi keadaan ekonomi merosot. Kini, kemerdekaan politik sudah tiada malah ditambah dengan krisis ekonomi yang struktural dan berkepanjangan. Sekian! (Priyanto).

 


Kembali ke Daftar Isi