Siapa bermulut besar, tentu harus siap untuk tersiksa. Dan ini agaknya, berlaku bagi Menristek Indonesia, Habibie, yang sekaligus merangkap menjadi bos ICMI. Pasalnya, perkara penggugatan terhadap dirinya itu, kendati seret, tokh akhirnya bergulir juga. Pengadilan Stade, tidak jauh dari lokasi vila Habibie di Kakerbeck, menuntutnya agar dia mau memberikan tanggapan. Namun, sampai kini Bos ICMI diam seribu bahasa, mulutnya berat untuk mengatakan yang sebenarnya.
Memang, tak ada jalan lain bagi Habibie, selain tak menggubris surat dari Pengadilan Stade itu. Ludah yang telah disemprotkan, mana mungkin dijilat kembali? Itu lah perkaranya, jika seenaknya "njeplak" (istilah Presiden Suharto).
Awal musibah yang menimpa Habibie ini dimulai pada bulan April 1995. Dari mulut karungnya, berulangkali terlontar fitnahan-fitnahan, bahwa para demonstran di Dresden penggugat kunjungan Presiden Suharto menerima bayaran dan bir gratis. Sesuai dengan resep "tut wuri handayani", Habibie urun rembug pernyataan-pernyataan yang dihembuskan oleh Presiden Suharto, Kasum ABRI Suyono, KSAD Jendrel Hartono dan para petinggi lainnya. Entah, karena keenakan, Bos ICMI - BPPT - IPTN - PAL dll. ini lepas kontrol dan lupa daratan. Dalam wawancaranya dengan Forum Keadilan bulan Juni 1995, misalnya, Habibie masih sesumbar, bahwa demonstran di Dresden memang dibayar dan memperoleh bir gratis.
Darimana Habibie memperoleh informasi ini? Katanya, ia mengutip keterangan dari Konsul Kehormatan Indonesia yang berwarganegara Jerman dan berkedudukan di Muenchen, Woelfgang Schoeller. Begitu menggebu-gebunya fitnah Habibie, sehingga sebagian masyarakat Indonesia pun terkecoh. Ya, siapa menyangka, di antara mulut asinya terselipi mulut busuk? Tengok lah tabiat dedengkot ICMI Berlin, Anzikriadi. Seraya mengutip bosnya, dengan lantangnya ia menuding Amnesty International sebagai pembayar demonstran dan pemasok bir gratis. Anzikriadi bermata gelap. Baginya, yang penting ke mana tuan pergi, ke sana lah anjing rezim kurapan menggogong. "Hast du Angst?", tantangnya kepada Amnesty International menggebu-gebu (Dalam surat pembaca di Forum Keadilan, 24 Oktober 1995).
Mengaku mengutip keterangan dari orang, memang rawan. Siapa yang lupa daratan, ya tentu gampang memperoleh dampratan. Apalagi, Woelfgang Schoeller warganegara Jerman. Oleh karena itu, Konsul Kehormatan ini lalu menjadi incaran para organisator demonstrasi di Dresden. Bila benar sang Konsul itu memberikan keterangan demikian, maka ia bakal terjerat gugatan. Namun, secara tertulis, sang Konsul membantah telah memberikan keterangan kepada sang bos seribu lembaga ini. Bahkan, dalam penjelasannya secara lisan, sang Konsul mengatakan, bahwa ihwal demonstrasi dibayar itu cuma khayalan Habibie. Maka, tak pelak, terbongkar lah jenis mulut bos ICMI ini. Sebagai bos organisasi Islam, ia melupakan ajaran Islam. Bahwa fitnah haram lah hukumnya.
Namun, penjelasan sang Konsul ini dinilai tidak memadai bagi para
demonstran yang namanya telah dicemarkan. Bahkan, mereka yang aktif menumbangkan
rezim komunis menganggap, bahwa aksi-aksi mereka terhadap Presiden Suharto yang
penjelmaaannya Erich Honnecker, telah dilecehkan oleh Habibie. Habibie dianggap
menghina demokrasi di Jerman. Cuma, bagaimana menggugat Habibie?
Setegar-tegarnya Habibie dan sebanyak-banyaknya anjing rezim kurapan yang
mengawalnya, namun, akibat bermulut karung, ia mempunyai kelemahan pula. Konon,
menurut sumber yang dipercaya, Habibie berkewarganegaraan Jerman, dan memiliki,
auzubilaaah, tiga rumah di negara tersebut. Yakni di Muenchen, Braunschweig dan
Kakerbeck (kira-kira 100 kilometer sebelah Barat Daya Hamburg).
Maka, sebelum gugatan diajukan, sejumlah aktivis Pekan Hannover Tandingan di Hannover April 1995 menyerbu vilanya di Kakerbeck. Di sana, mereka menggelar aksi. Ini terjadi pertengahan bulan Desember 1995, kala cuaca di luar menunjukkan minus lima derajat di bawah nol. Aksi tersebut sesungguhnya cuma jeweran belaka terhadap Habibie. Bahwa dengan dipergokinya lokasi domisilnya, Bos ICMI ini bukan lah orang kuat seperti yang dia duga. Ia masih bisa dijerat oleh UU Jerman.
Maka, demikian lah. Akhir Januari 1996 dilayangkan gugatan terhadap Habibie. Sebagai warganegara Jerman, Habibie bisa digugat, lantaran ia tunduk kepada UU Jerman. Demikian alasan pengacara pihak penggugat (dalam hal ini Conni e.V., sebuah organisasi yang bermarkas di Dresden) yang diajukan kepada Pengadilan.
Surat gugatan itu, ternyata membikin dunia perpolitikan Indonesia gonjang-ganjing. Di Berlin sendiri misalnya, tengok saja tabiat beberapa anggota Orsat ICMI setempat. Sama halnya dengan tabiatnya semula, yaitu awalnya sangat ngebet mengundang Sri Bintang Pamungkas (kala itu Dewan Pakar ICMI), tapi mendadak berbalik seratus delapan puluh derajat dengan menggebuk Sri Bintang Pamungkas setelah terbetik kabar ihwal kemarahan Presiden Suharto; maka dalam kasus Habibie, ICMI orsat Berlin pun diam seribu bahasa. Agaknya, mereka berada dalam posisi siap angkat kaki. Itulah hukumnya: siapa yang gegabah menggebu-gebu, bisa-bisa tersipu-sipu.
Dan dengan jawaban pengadilan tertanggal 17 Februari barusan, berarti gugatan terhadap Habibie diterima. Maka, sebagai orang berpengaruh di Indonesia dan bos ICMI pula, Habibie dalam posisi tersiksa. Menjawab salah, tak menjawab juga berabe.
Cuma bagaimana dengan kewarganegaraannya? Kalau benar dia berwarganegara Jerman, serangan ICMI orsat Berlin selama ini terhadap Barat, berarti salah alamat. Habibie sendiri yang berdomisili di Barat dan menjadi warga negara Barat. Jadi, serangannya menggerogoti bosnya sendiri. Senjata makan tuan ataukah tuan dimakan senjata?
Dan seperti tuntutan Presiden Suharto terhadap Gus Dur, George Aditjondro dan Sri Bintang Pamungkas agar mau bersikap ksatria, Habibie pun harus bersikap ksatria. Oder, hast du Angst? [Tamat]