Oleh: Ignas Iryanto.
Tanggal 24 Januari 1996 seusai menghadap presiden di Bina Graha, Djali Ahimsa, Direktur Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) kepada wartawan, mengungkapkan beberapa hal penting :
Tanggal 31 Januari 1996, Menristek BJ Habibie dalam rapat kerja dengan komisi X mempertegas pernyataan Dirjen BATAN di atas, dengan menekankan harapan bahwa PLTN Muria itu dapat beroperasi tahun 2003. Selanjutnya oleh Habibie diungkapkan bahwa :
Sikap pemerintah tentang PLTN kelihatan jelas sekali dari pernyataan dua pejabat di atas. Pengajuan RUU ketenaganukliran oleh pemerintah baru baru ini serta buka puasa bersama yang diselenggarakan oleh Djali Ahimsa dengan mengundang ketua ketua fraksi di DPR menunjukkan dengan jelas keseriusan pemerintah akan realisasi mega proyek tersebut.
Reaksi terhadap sikap pemerintah :
Tanggal 29 Januari 1996 seusai rapat kerja dengan komisi X DPR, Sarwono Kusumaatmaja mengatakan kepada wartawan bahwa analisis mengenai dampak lingkungan ( ANDAL) proyek PLTN Muria hingga kini belum pernah dilakukan. Jadi masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa proyek PLTN Muria akan dibangun tahun 1998. Jika pernyataan ini benar, maka optimisme yang diucapkan oleh dua pejabat terdahulu, sangat mengherankan. Kesan terburu buru, atau kesan meremehkan suatu analisa penting, yang harus dilakukan tapi belum dilakukan, tampak disini. Jika Andal kemudian dilakukan, maka wajar saja jika nanti timbul kekurang percayaan akan " Kesahihan" atau lebih tepat " Kejujuran" analisa tersebut, jika hasil analisanya mendukung dibangunnya PLTN. Sementara itu beberapa LSM telah mengutarakan sikapnya:
Dengan membandingkan PLTN dan PLTU Batubara untuk lama operasi 30 tahun dengan jumlah daya yang dibangkitkan sebesar 600 MW diperoleh perbandingan bahwa PLTN membutuhkan 4,578 milyard USD sedangkan PLTU Batubara sebesar 2.730 juta USD. Biaya bahan bakar PLTN memang relatif lebih murah, namun biaya pembangunan, biaya operasi serta pemeliharaannya jauh lebih tinggi.
Pihak Batan, dengan surat tertanggal 4 Oktober 1995, menolak pendapat diatas dengan mengatakan bahwa ongkos produksi listrik sepanjang umur PLTN yang 40 tahun itu (note: Nengah Sudja menggunakan angka 30 tahun) akan setara dengan PLTU Batubara. Batan tidak mengemukan cara perhitungan yang digunakan, tetapi jika digunakan cara perhitungan Nengah Sudja dengan mengganti variabel lama operasi dengan angka 40 tahun, diperoleh, PLTN membutuhkan 5.054 Milyard USD dan PLTU sebesar 3.340 Milyard USD. Batan juga menekankan bahwa pembangunan PLTN didasarkan pada pertimbangan makro dengan keunggulan yang dapat dicapai dalam jangka panjang. Contoh yang Visual, demikian Batan, adalah penghijauan kembali hutan hutan gundul.
Dua perbedaan pendapat diatas adalah satu dari sekian banyak perbedaan pendapat yang berkaitan dengan PLTN. Aspek biaya adalah hanya satu dari sekian banyak aspek yang perlu dengan serius, artinya secara ilmiah, bermoral dan bertanggung-jawab, diperhitungkan.
Ucapan klise dari beberapa pejabat yang mendewa-dewakan high-tech, jika ada kritik terhadap kebijaksana high-technya, adalah bahwa kelompok kelompok penentang di tanah air telah menjadi tangan tangan barat yang tidak rela melihat Indonesia maju teknologinya. Konon negara negara barat takut munculnya pesaing pesaing potensial di pasar global abad 21 nanti. Ucapan ini mungkin sekali ada benarnya namun tidak dapat digeneralisasi untuk setiap masalah. Dalam kaitan dengan PLTN, coba ditengok sejenak reaksi 10 tahun terakhir terhadap PLTN di beberapa negara industri maju.
Reaksi terhadap PLTN di beberapa negara Industri:
1. Jepang :
Setelah kebocoran reaktor pembiak cepat Monju pada bulan desember 1995, surat kabar Asahi Shimbun melakukan poling pendapat pada tanggal 25 dan 26 Pebruari 1996. Hasilnya menunjukkan bahwa 73 % penduduk Jepang mengkhawatirkan bencana nuklir dari 49 Reaktor yang sedang beroperasi, 56 % menyangkal pernyataan bahwa resiko kecelakaan nuklir dapat dieliminasi dengan mempercanggih teknologi dan management dan 61 % berpendapat bahwa pemerintahnya harus MENINJAU KEMBALI program effisiensi bahan nuklir dengan reaktor pembiak cepat Monju, hingga penyelidikan akan kebocoran PLTN Monju tuntas.
2. USA:
Sebuah pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh lembaga Washington
International Energy Group pada awal tahun 1996 ini, menunjukkan suatu sikap
pesimis terhadap energi nuklir. Yang menjadi sampel adalah 400 Staf Eksekutif
produsen energy di Amerika.
Dibawah ini disajikan empat pertanyaan pokok dalam poling tersebut:
- Apakah energi nuklir kompetitif ?
- Apakah lisensi untuk reaktor nuklir perusahaan anda akan diperpanjang ?
- Apakah anda akan menawarkan sebuah reaktor nuklir baru ?
Tahun | Ya | Tidak | Tidak Yakin |
1994 | 10 % | 72 % | 18% |
1995 | 10 % | 74 % | 15% |
1996 | 2 % | 89 % | 9 % |
- Apakah akan ada resurgensi dari tenaga nuklir ?
Tahun | Ya | Tidak | Tidak Yakin |
1994 | 37 % | 34 % | 29 % |
1995 | 31 % | 46 % | 23% |
1996 | 8 % | 80 % | 12 % |
(Sumber : Survey tahunan Washington International Energy Group)
Sementara itu, pada akhir Pebruari tahun ini, Matthew Freedman, seorang
analis kebijakan energi di Amerika mengusulkan kepada lembaga yang
berkepentingan (House Appropriations Committee - Energy and water subcommittee
), agar mendorong terus riset riset energi terbarukan dan meninjau kembali riset
riset energi nuklir, baik fisi maupun fusi. Dalam kaitan dengan energi
terbarukan ditunjukkan perkembangan perkembangan yang telah dicapai, misalnya
teknologi energi surya saat ini telah mampu menawarkan modul senilai dibawah 4.5
USD / Watt (mengalami penurunan dari 6 USD /Watt di tahun 1991). Sementara itu
ongkos energi listrik yang dibangkitkan oleh tenaga angin telah turun drastis
(lebih dari 80 %) sehingga menjadi 3.9 Cent / kWh, bahkan diproyeksikan menjadi
2.5 Cent/kWh pada tahun 2000. Proyek enegi angin yang ada saat ini mencakup
lebih dari 1.750 MW dan memenuhi kebutuhan 300.000 rumah tangga (dengan tingkat
konsumsi USA). Perkembangan teknologi Geothermal juga telah membantu menurunkan
ongkos dari 12 Cent/kWh ditahun 1980 menjadi 6 Cent/kWh saat ini dan mencakup
2.100 MW yang terpasang di USA.
Hasil poling Washintong International Energy Group dan usulan usulan
Freedman yang nota bene berasal dari lembaga independen yang memberi masukan
bagi kebijakan kebijakan energi berdimensi publik dapat memberikan gambaran
trend energi yang ada di USA sekarang.
3. Swedia :
Rakyat Swedia, yang adalah konsumer PLTN terbesar ke 8 di dunia, lewat referendum tahun 1980 telah menuntut pemerintahnya untuk secara bertahap menutup seluruh PLTN di Swedia sampai tahun 2010.
4. Jerman :
33 % dari konsumsi energi listrik negara ini diperoleh dari PLTN. Adapun saat ini yang sedang beroperasi berjumlah 19 reaktor dengan umur reaktor tertua 28 tahun (reaktor Obrigheim yang baru baru ini menimbulkan polemik mengenai apakah akan dioperasikan terus atau tidak) dan termuda berusia 7 tahun (reaktor Neckarwestheim 2), sedangkan ada 10 buah reaktor yang sudah tidak aktif lagi. Dari 10 reaktor yang telah dinonaktifkan ini, umur yang paling lama dicapai adalah 24 tahun (2 buah). Ada yang hanya berumur satu tahun (reaktor Niederaichbach dari 1973 - 1974) bahkan ada yang hanya sampai tahap operasi percobaan (reaktor Mülheim - Kä rlich pada tahun 1986). Alasannya jelas, setelah dibangun ternyata tidak layak dioperasikan. Jerman juga memiliki beberapa reaktor penelitian, pusat pengayaan Uranium serta industri industri terkait dengan PLTN. Akhirnya 5 buah lokasi pembuangan limbah sementara dan 4 lokasi pembuangan akhir melengkapi seluruh fasilitas yang harus disiapkan untuk pengoperasian PLTN ini. Orang orang Jerman sering berbangga bahwa teknologi PLTN merekalah yang teraman di dunia.
Benar benar amankah PLTN di Jerman ?
Selama ini sebenarnya tercatat lebih kurang 600 kasus atau masalah di PLTN-PLTN Jerman. Masalah yang timbul memang belum seserius Chernobyl misalnya, namun telah membuat masyarakat Jerman mulai berpikir kembali akan kebijakan energinya. Meluasnya penyakit Leukemia di sekitar lokasi reaktor Krümel misalnya adalah satu dari masalah masalah itu.
Pada awal Maret 1996 ini Öko - Institut, sebuah Institut yang bergerak dalam bidang aplikasi lingkungan di Jerman, mempublikasikan hasil studinya tentang Skenario Penggunaan Energi Menuju Tahun 2020 di Jerman. Beberapa point penting hasil studinya adalah sebagai berikut:
Hasil studi di atas akan memperkuat keyakinan rakyat Jerman atau sekurang-kurangnya sebagian rakyat Jerman untuk, seperti yang selama ini telah dilakukan, mendesak pemerintahnya menata kembali seluruh kebijakan energi mereka dengan dasar utama penolakan atas hadirnya PLTN di bumi Jerman. Pada tanggal 27 April yang lalu dilakukan aksi demo serempak di 6 kota dengan tuntutan : Atomkraft ? Nein Danke !!!!
Secara umum terlihat adanya kecenderungan mulai menolak PLTN di negara-negara yang sudah mapan teknologinya dan dengan serius melihat kemungkinan kemungkinan sumber energi terbarukan. Indonesia memang harus belajar dari negara-negara yang sudah maju, termasuk belajar dari kesalahan-kesalahan mereka, yang sudah mulai mereka sadari. Kita memang berbeda dari mereka. Masalah kita, potensi alam kita, cita-cita kita....yaa banyak sekali hal yang berbeda. Namun tetap saja aneh kalau perbedaan itu dijadikan alasan untuk dengan optimis mau mengulangi kesalahan-kesalahan mereka.