Konsekwensi Gerakan Anti PLTN di Indonesia

Dengan pernyataan tertanggal 1 April 1996 yang dikirim kepada ketua Bapenas dengan tembusan kepada 13 lembaga terkait, Api Indonesia telah menyatakan sikapnya terhadap rencana pemerintah mendirikan PLTN di Muria, Jawa tengah.

Isi pernyataan itu (baca Suara Demokrasi edisi April 1996) tidak apriori menolak PLTN namun memberikan usulan tentang aspek aspek yang harus dipertimbangkan serta menuntut dilakukannya debat publik sebagai langkah awal menuju referendum. Pernyataan ini telah dimuat beberapa media massa di tanah air serta membuat seorang warga kabupaten Jepara menyurati komisi diskusi PLTN Api Indonesia. Namun bukan hal ini yang ingin diangkat di sini.

Walaupun tidak apriori menolak PLTN, namun Api Indonesia cenderung untuk tidak menyetujui rencana pemerintah tersebut. Sikap ini juga diambil hampir seluruh LSM Lingkungan di tanah air serta juga beberapa LSM advokasi yang meninjaunya dari sudut hak hak rakyat.

Sikap menolak penggunaan tenaga nuklir fisi di Indonesia sebenarnya juga menuntut langkah langkah lanjutan yang sama sekali tidak sederhana. Komisi diskusi menemukan beberapa hal diantaranya:

  1. Untuk jangka pendek, penyediaan sumber sumber energi untuk industri terpaksa dilakukan dengan sumber sumber yang ada dengan resiko adanya hambatan bagi perkembangan industri di tanah air. Resiko jangka pendek ini seyogyanya diambil untuk menghindari resiko jangka panjang yang lebih dasyat dari adanya PLTN. Rahmat tersembunyi dari hambatan ini adalah terhambatnya sentralisasi industri yang tidak seimbang di pulau Jawa dan "waktu pause" tersebut dapat digunakan untuk mempersiapkan wilayah wilayah luar Jawa yang berpotensi sebagai kawasan industri.
  2. Studi dan riset yang intensif mengenai energi terbarukan: sebuah pusat riset nasional untuk energi energi terbarukan perlu dibangun. Inipun harus didukung dengan didirikannya Fakultas Teknik Energi di Universitas Universitas Unggulan. Jurusan jurusan dari fakultas ini disesuaikan dengan jenis-jenis energi terbarukan yang berpotensi di Indonesia seperti Geotermal, energi surya, angin, biomass dll. Dapat pula dibangun lab lab di lapangan, di wilayah wilayah yang memiliki sumber sumber energi tersebut.
  3. Batan dan lembaga lembaga lainnya yang selama ini melakukan studi studi persiapan pembangunan PLTN dapat mengalihkan konsentrasi risetnya ke bidang bidang lain. Riset riset bidang nuklir dapat diarahkan ke bidang bidang terapan lainnya seperti misalnya pemanfaatan isotop untuk kepentingan kedokteran, pertanian serta juga penelitian sifat sifat materi dengan hamburan neutron. Reaktor reaktor sub-kritis yang telah ada dapat terus dimanfaatkan untuk riset riset tersebut. Jika dimungkinkan, penjajakan ke arah riset Fusi Nuklir dapat juga dilakukan.
  4. Penyediaan sumber daya manusia bidang energi terbarukan. Ini dilakukan di dalam dan luar negeri. Pengiriman tenaga tenaga unggulan keluar negeri juga seyogyanya disesuaikan dengan sentra sentra riset energi terbarukan di dunia. Kesempatan yang diperoleh tenaga- tenaga unggulan ini untuk bekerja di sentra riset internasional harus didukung untuk merenggut pengalaman praktis optimal dari negara maju. Jika negara telah siap memanfaatkan tenaga-tenaga unggulan itu, barulah mereka diharuskan kembali.
  5. Langkah langkah 2 s/d 4 di atas disadari sebagai langkah langkah yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Investasi yang besar inipun harus disadari sebagai konsekuensi sikap anti nuklir.

Adanya konsekuensi konsekuensi di atas, yang tentu saja harus dipelajari lagi dengan lebih seksama dan terperinci, tidak perlu menggoyahkan keyakinan untuk menolak PLTN tetapi mempertebal keyakinan itu sekaligus dengan kesadaran akan langkah langkah lanjutan yang juga mahal dan butuh pengorbanan, yang harus diambil sebagai konsekuensi penolakan PLTN.

Komisi Diskusi PLTN
API Indonesia - Berlin.


Kembali ke Daftar Isi