Proses Pelaksanaan Pembangunan Nasional dan Dampaknya terhadap Pembangunan Daerah di Indonesia.

Upaya Mencapai Pertumbuhan dan Pemerataan: Sentralisasi vs. Desentralisasi?

Lima puluh satu tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Sukarno-Hatta, masyarakat Indonesia banyak mengalami perubahan perubahan sosial antara lain dibidang ekonomi yang secara nasional melalui indikator pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka relatif tinggi yang sekaligus membawa dampak terhadap aspek aspek kehidupan masyarakat. Indikator pembangunan lain yang juga meningkat pesat adalah hutang luar negri, defisit transaksi barang dan jasa, kesenjangan sosial antara kaya-miskin/kota-desa/Jawa-LuarJawa/pertanian-industri, meningkatnya korupsi/kolusi, penggusuran2 tanah, kerusakan lingkungan dan tindakan2 represif terhadap gerakan protest yang tidak bersenjata. Untuk menilai kinerja perubahan perubahan tsb. perlu dilihat kembali tujuan proklamasi kemerdekaan dan tujuan negara RI yang tercantum dalam Preamble yang antara lainnya adalah mencapai masyarakat yang adil & makmur serta berlandaskan peri kemanusiaan. Berdasarkan fakta bahwa masih terjadinya tindakan2 kekerasan (mis.peristiwa Ujungpandang & peristiwa 27 Juli yl.), banyaknya orang yang rumah/lahannya tergusur atau para buruh yang tertindas serta masih banyak indikator2 pembangunan yang memberi kesimpulan yang negatif, seyogianyalah praktek2 pelaksanaan pembangunan ditinjau kembali. Berikut ini akan dijabarkan praktek2 pelaksanaan pembangunan dilihat dari aspek sentralisasi-desentralisasi pembangunan daerah di Indonesia.

Dalam GBHN yang merupakan Ketetapan MPR dalam setiap sidang paripurnanya telah berulang kali digariskan bahwa salah satu prioritas utama pembangunan yang dicakup dalam trilogi pembangunan adalah pemerataan (lihat:GBHN 1993). Setelah 5 kali pembentukan MPR, dalam setiap periode legislatifnya, MPR hanya bersidang 2 kali yaitu sidang pada awal pengangkatan dan pada akhir masa jabatan. MPR yang berhak mengadakan sidang istimewa dan memanggil Presiden setiap saat manakala praktek pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan GBHN, selama ini tidak pernah memakai hak istimewanya, sekalipun indikator2 pemerataan antar kelompok masyarakat, antar daerah atau antar IBB dan IBT semakin memburuk. Sudah menjadi rahasia umum bahwa MPR sebagai lembaga tertinggi tidak mampu mengamankan prioritas pembangunan dan GBHN yang disusunnya.

Dalam melaksanakan GBHN pemerintah Orde Baru menyusun Pelita yang setiap tahunnya dituangkan dalam APBN(Anggaran Pendapatan & Belanja Negara). APBN disusun oleh Bapenas berdasarkan DUP(Daftar Usulan Proyek) yang dikirim oleh Pemda dan Bapeda. Bapenas mempunyai otoritas dalam menyeleksi proyek2 pembangunan (DUP) menjadi DIP (Daftar Isian Proyek) yang selanjutnya diserahkan pada Departemen2 yang bersangkutan dan diteruskan ke Kanwil didaerah TK I & II. Instansi pemerintah didaerah pada hakekatnya perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, karena mereka diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah pusat; DPRD dalam hal ini tidak memiliki fungsi kontrol atas kelangsungan pembangunan daerah.

Proyek2 pembangunan tsb.(DIP) sebahagian besar dibiayai oleh penerimaan dari sektor Pajak Perseroan yaitu penerimaan dari sektor pertambangan (minyak bumi, gas alam, timah, emas, batubara dll), dari pinjaman luar negri, pajak import, Ppn (pajak penjualan), PBB (pajak bumi & bangunan), pajak nilai tambah dan pajak pendapatan. Seperti diketahui bersama bahwa dengan dalih pasal 33 ayat 1&2 UUD 45 pemerintah pusat melalui BUMN menguasai seluruh hasil2 sektor pertambangan. Dengan demikian baik penguasaan hasil bumi dan pajak dari daerah maupun penggunaan dana pembangunan sepenuhnya berada di pemerintahan pusat; dengan perkataan lain dilihat dari penyusunan rencana, penarikan dana serta pengelolaan dana pembangunan, methode pelaksanaan pembangunan di Indonesia berpola sentralisasi.

Pada zaman kolonial, pemerintah Belanda membangun sarana2 infrastruktur (jalan raya Daendels, rel KA dan pelabuhan2 laut serta infrastruktur kota2 besar) di pesisir Jawa untuk kepentingan2 perdagangan internasional mereka. Dalam masa pemerintahan Bung Karno keadaan tsb. tidak banyak berubah dan pada masa Orde Barupun pembangunan infrastruktur sangat "big city oriented". Pembangunan "industrial Zones" dilakukan dikota2 besar yaitu Jakarta & Surabaya dan prioritas pembangunan dipusatkan pada sektor industri yang relatif padat modal dibandingkan dengan sektor pertanian yang padat karya. Dengan demikian proyek2 PMDN & PMDA terkonsentrasi di dua kota tsb yang menyebabkan arus urbanisasi dari daerah2 pedesaan Jawa ke Jkt & Srby. Pada tahun 1993 Jakarta menerima 53% kredit perbankan dan 47% diterima oleh daerah Indonesia lainnya (lihat:BI, Laporan Statistik & Keuangan Indonesia, April 1994). Pertumbuhan penduduk perkotaan Jabotabek dan Gerbangkertosusilo lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia, sebaliknya pertumbuhan penduduk pedesaan Jawa lebih lambat; proses ini mengakibatkan meningkatnya kesenjangan sosial antara desa-kota di Jawa. Terjadinya aglomerasi atau konsentrasi penduduk di kota2 besar meningkatkan kebutuhan akan infrastruktur kota seperti air bersih, perumahan, perkantoran, pengelolaan sampah, jalan raya, alat transportasi & jasa kesehatan. Tidak heran jika harga2 komoditi diatas miningkat pesat, sekalipun pemerintah selalu mengumumkan bahwa laju inflasi kurang dari 10% pertahun. Jika pola pelaksanaan pembangunan nasional terus berjalan seperti sekarang hanya memicu pertumbuhan ekonomi, kesenjangan2 beserta problematiknya akan bertambah parah dan kelestarian dari sistim pembangunan itu sendiri akan sirna. Agregasi perkembangan ekonomi disetiap daerah di indonesia adalah pembangunan nasional, bukan sebaliknya!. Meningkatnya hutang luar negri dan defisit transaksi barang dan jasa menunjukkan buruknya effisiensi perekonomian suatu negara. Oleh karena itu seyogianyalah pola pelaksanaan pembangunan ditinjau kembali sehingga effisiensi dan pemanfaatan potensi daerah2 bagi pembangunan nasional dapat dicapai.

Pembangunan yang egaliter hendaknya mengacu pada prinsip2 subsidiaritas dan prinsip accountability, yang sebenarnya tidak lain daripada prinsip demokrasi. Prinsip subsidiaritas ialah suatu prinsip pengorganisasian yang desentralistis dimana segala sesuatu yang bisa diselenggarakan oleh rakyat setempat (lokal), tidak boleh lagi diatur oleh pemerintah pusat. Pemberian hak otonom kepada daerah seharusnya tidak sekedar pemberian status (diatas kertas) tapi juga diberi hak & wewenang untuk memanfaatkan sumberdaya lokal untuk kepentingan penduduk setempat. Selain itu prinsip accountability juga harus diterapkan, karena prinsip inilah yang menjamin kedaulatan rakyat, dimana rakyat setiap saat melalui perwakilan atau organisasi kepentingan mereka berhak dan berwenang untuk mengontrol jalannya proses pelaksanaan pembangunan yang menyangkut kehidupan mereka. Pemerataan pembangunan atau yang disebut trickle down effects tidak akan datang begitu saja jika tidak ada mekanismenya. Hanya organisasi2 masyarakat (dalam hal ini lembaga2 kenegaraan) yang berazaskan kedua prinsip diatas yang dapat menghasilkan pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan segenap lapisan masyarakat. Dengan demikian dua tatanan penting bagi proses pembangunan yaitu pertumbuhan yang seimbang (balanced growth) dan pemerataan pembangunan (baik sektoral maupun interregional) bagi segenap lapisan masyarakat dapat dicapai.

(Priyanto)


Kembali ke Daftar Isi