» Saat ini, banyak orang yang suka bicara mengenai masalah ketidakharmonisan antara golongan pri dan non-pri, tapi sayang tak banyak yang bersedia mengatasinya.Yang kami suguhkan kali ini, seklumit pengalaman pribadi yang ditulis dengan gaya bahasa yang lugas namun bersahaja, usaha ini bukan saja patut dihargai, akan tetapi juga merupakan pemikiran alternatif untuk mengatasi problim yang ada. Wah! memang satu keberanian «
30 Agustus 1990 aku tiba di bandara Tegel, Berlin. Aku tercengang, kaget. Kemudian langsung kutelpon temanku. Namun sayang tak ada yang menjawab. Barangkali mereka sedang keluar rumah pikirku. Ini problem pertama yang kualami diluar negeri. Karena aku kurang persiapan. Akhirnya aku bertemu juga dengan temanku itu. Lho, Berlin kok kayak gini, aku keceplosan ngomong. "Emangnya lu pikir gimana", ujar teman baikku itu. "Ah, kupikir luar negeri itu yah macam New York atau L.A." seperti di film-film Amerika. Ah, - tanpa sadar aku mendesah lagi - aku betul betul heran. Wah, kota Berlin memang tidak seperti yang kubayangkan semula. Tapi ini tak jadi soal. Dan sesuatu yang penting dalam hidupku yakni perubahan yang paling mendasar justru terjadi dikota ini; di Berlin timbul kesadaran baru dalam diriku. Kesadaran (politik) inilah yang akhirnya merubah pandanganku, terutama pandangan mengenai identitas diriku sebagai seorang anak non-pri. Disamping itu, Weltbild (gambaran dunia) yang kumiliki juga berubah drastis. Begitu pula, aku mulai sedikit demi sedikit paham politik. Aku mulai bisa mengerti masalah politik. Atau paling tidak aku bisa menilai kebijaksanaan pemerintah. Minimal aku bisa membedakan antara negara dan pemerintah. Dan perubahan dalam diriku ini berlangsung dalam proses yang cukup panjang (1990-1997). Sejak kedatanganku tujuh tahun yang lalu hingga kepulanganku akhir tahun ini. Nah, proses perubahan kesadaran dalam diriku inilah yang hendak kuceritakan. Tapi aku tak tahu harus mulai dari mana? Yah, seperti biasa aku mulai saja dengan latar belakang keluargaku di Jakarta.
Aku berasal dari keluarga keturunan Tionghoa (totok) istilah bekennya non-pri. Sejak kecil (kecuali dengan pembantu) aku tak pernah bergaul dengan anak-anak melayu pribumi. Begitu juga aku tak punya teman sekolah pribumi. Sebab sejak SD hingga SMP aku masuk sekolah kristen, yang muridnya 100% anak-anak keturunan. Begitu juga setelah di SMA, aku masuk SMA yang katholik, teman-teman sekolahku juga anak-anak keturunan semua. Kemudian tambahan lagi, rumahku berada dikomplek perumahan orang keturunan juga. Jadi praktis - walaupun sejak lahir sampai tamat SMA hidup di Jakarta, aku tak pernah bergaul dengan anak-anak melayu (pribumi). Sebelum ke Berlin, aku tak pernah memikirkan masalah pri dan non-pri tersebut. Karena kupikir memang sudah begitu. Ya akan terus begitu. Jadi tidak ada perubahan. Barangkali - sejak lahir sampai mati - mungkin aku tak bakal pernah mendapat kesempatan untuk bergaul dengan orang orang pribumi, yang sebenarnya satu bangsa denganku. Sungguh aneh tapi nyata, dan sulit dipercaya. Ternyata teman pribumi (yang pertama!) sekelas denganku yaitu ketika aku kuliah di Technische Universität Berlin. Aku mengambil jurusan Verfahrenstechnik (chemical engineering), kalau di Indonesia mungkin ini disebut tehnik kimia atau polytehnik. Dan kini aku sudah selesai kuliah. Tamat. Kalau liburan semester aku biasanya bekerja, ngumpulin duit. Aku tidak mau menambah beban orang tuaku - keculai kepepet betul. Pengalaman kerjaku juga menarik. Suatu saat aku pernah mendapat pekerjaan sebagai Umzugshelfer membantu orang yang lagi pindah rumah. Aku pikir lumayan juga. Tapi celaka, yang pindahan (seorang bapak guru) barangnya luar biasa banyak. Terutama buku-buku tebal yang dimasukkan kedalam kardus. Luar biasa beratnya. Disamping itu aku harus naik turun tangga. Dari apartment lama ke yang baru dari lantai satu kelantai empat, tanpa lift. Aku ngosngosan, nafasku hampir habis. Aku tak pernah kerja berat sebelumnya. Aku mulai ngomel ngomel - tapi hanya dalam hati saja - ah betapa beratnya menjadi seorang buruh. Betapa susahnya jadi orang miskin. Kalau mau duit, harus peras keringat macam begini. Lalu (setelah itu) barulah aku bisa merasakan betapa beratnya menjadi seorang buruh kasar. Belum lagi (kalau di melayu) dibentak bentak majikan. Nah itulah sebabnya - kata orang - kalau kita ingin mengetahui kondisi orang miskin kita harus bisa merasakan penderitaan orang-orang miskin. Ya langsung, dengan merasakannya sendiri. Seperti yang kulakukan itu. Kita ambil contoh pembantu dirumah misalnya. Bangunnya sudah paling dulu, pagi pagi sekali, tidurnya paling terakhir, kerjanya berat; belanja, nyuci, nyetrika, masak, nyapu atau ngepel dll. Terus diomelin lagi. yah...itu tidak menschlich (manusiawi) namanya. Bukannya aku ini orang yang suka ngomelin babu, maksudku bukan begitu. Seandainya aku tidak pernah merasakan menjadi seorang buruh, bagaimana aku dapat merasakan penderitaan seorang buruh. Mereka (kelas buruh) itu kan orang tertindas. Jadi tanpa pengalamanku di Berlin itu, barangkali aku tidak akan mengerti bahwa ada penindasan seperti itu, ah begitu misalnya. Mungkin saja aku pikir bahwa itu sesuatu yang biasa biasa saja. Karena, aku melihat masalah itu hanya dari kaca mata majikan saja. Yah syukurlah, kini semuanya telah berlalu. Namun kendatipun demikian ini akhirnya menjadi pelajaran yang amat menarik dalam hidupku. Ini faktor pertama yang menyadarkan aku dari mimpi indah-indah sebelum berangkat ke Berlin dulu.
Mula mula yang ada diotakku hanya pikiran untuk cepat-cepat selesai sekolah. Kemudian pulang. Lalu mencari pekerjaan, kawin etc. Yah seperti yang diharapkan oleh orang tua kita umumnya. Tapi setelah enam tahun hidup di Berlin (kuliah, bekerja dan berorganisasi) aku mulai tertarik untuk membuat pengalaman sendiri. Aku tak mau jadi Fach idiot. Orang yang cuma tahu bidangnya sendiri saja dan tak tertarik dengan masalah-masalah (sosial) lainnya. Aku tak mau menjadi seorang sarjana macam begitu. Namun semua orang tua tentu saja ingin agar anaknya cepat cepat selesai sekolah, sukses menuntut ilmu dinegeri orang. Orang tuaku juga mempunyai keinginan seperti itu - terutama ibuku. Menurut ibuku, anak-anak pribumi tak becus sekolahnya. Maksudnya tak bisa sampai keperguruan tinggi. Memang sebelum berangkat ke Berlin, aku tak begitu pusing dengan ocehan ibuku itu. Namun ketika aku kuliah di (TU) Berlin, banyak kulihat anak-anak melayu pribumi - yang sukses, tidak berbeda dengan golongan nonpri. Ternyata pri atau non pri - dibangku kuliah - sama saja. Malah mahasiswa melayu (Indonesia) memiliki kelebihan dibidang matematik atau ilmu pasti, kalau dibandingkan mahasiswa dari negara lain. Kalau bahasa (Jerman) ya memang agak sulit. Semester pertama, kedua sampai ketiga, kita belum bisa seratus persen mengikuti kuliah Profesor. Tapi yang mencolok adalah prosentase antara mahasiswa pri dan nonpri yang berasal dari Indonesia. Mahasiswa non-pri di Berlin memang ternyata jumlahnya lebih banyak dibanding yang pribumi. Sehingga, muncul klise bahwa golongan non-pri lebih sukses dari pribumi.
Agar bisa bergaul lebih luas kemudian timbul hasratku untuk masuk kesalah satu organisasi yang ada di Berlin. Dengan latar belakang sekolah kristen dan SMA katholik di Jakarta dulu aku tidak mengalami kesulitan untuk mendekati mahasiswa kristen atau katholik. Mula mula kudatangi kelompok mahasiswa kristen (imanuel), mereka ini terlalu teoritis. Buatku ini terlalu abstrak. Aku ingin sesuatu yang sedikit lebih konkrit. Kemudian aku diajak seorang teman berkunjung ke kelompok mahasiswa katholik (KMKI). Aku memang betah disitu. Tapi, lama kelamaan setelah kupikir pikir, ya seperti di SMA dulu lagi. Sebab dalam organisasi inipun mayoritas anak-anak keturunan juga. Melayu pribuminya boleh dibilang hampir engga ada. Atau sedikit sekali. Disamping itu organisasi ini lebih menyerupai perkumpulan keluarga yaitu sebagai tempat ngumpul ngumpul, tukar menukar informasi, makan-makan dan nyanyi, doa bersama tapi kadang kadang juga ada ceramah ilmiah, diskusi atau kerja sosial lainnya, mengumpulkan dana untuk korban kelaparan di Irian Jaya misalnya. Barangkali perlu juga disebut disini bahwa tidak semua pengurus atau anggota KMKI itu beragama katolik. Pendeknya organisasi ini termasuk organisasi yang bagus. Terutama, tempat untuk menghilangkan stres. Apalagi kalau sudah capek belajar seharian di rumah atau di Uni. Cuma ada kritik sedikit. Karena anggotanya kebanyakan anak-anak orang keturunan (non-pri) yang dikenal apolitis, sehingga mereka tak bisa dengan jeli melihat permasalahan. Karena belum apa apa sudah takut duluan sih. Sedangkan sebaliknya, anak-anak PPI mayoritasnya pribumi. Mereka lebih berani ngomong. Mereka lebih kritis. Lalu timbul keinginanku untuk mengenal mereka lebih dekat. Dengan kata lain aku pingin masuk PPI. 1993 atas ajakan seorang teman (pribumi) aku masuk perhimpunan pelajar indonesia (PPI) langsung diminta menjadi pengurus (sekretaris). Disamping itu aku juga sudah merasakan adanya semacam kejenuhan di KMKI. Artinya aku sudah tahu seluk beluk orangisasi tersebut cukup mendetail dari A sampai Z. Jadi tidak ada tantangan lagi. Motivasi pribadiku masuk PPI sebenarnya pertama tama ya, itu tadi yakni ingin bergaul lebih luas. Dan bukannya sudah jauh jauh pergi keluar negeri masih ngumpul sama sama nonpri lagi. Aku melihat kesempatan bergaul atara pri dan non pri seperti ini justru ada di Berlin, barangkali kesempatan seperti ini sulit kita dapatkan di negara kita. Apalagi kalau sudah terpolakan oleh kondisi yang kurang sehat, seperti yang sering kita saksikan. Ya tambah susah lagi. Yah karena di KMKI aku bergaul dengan orang-orang keturunan seperti di Jakarta dulu, jadi tetap begitu-begitu saja - tak ada perubahan. Sedangkan PPI buatku menarik, karena disini tempat ngumpulnya anak anak dari berbagai latar belakang agama dan etnis. Aku antusias sekali. Mula-mula aku cuma bantu ngetikin majalah Gotong Royong pakai komputerku. Sehingga lama kelamaan aku tidak canggung lagi bergaul dengan teman-teman pribumiku itu. Disamping itu, kami semua tinggal di satu asrama mahasiswa (Sigmundshof), yang juga sewanya relatif murah. Letaknya strategis, sekitar sepuluh menit - jalan kaki - dari Zoo pusat kota Berlin (sebelah barat) dan juga tidak begitu jauh dari TU.
Syahdan, kami (group Sigmundshof), mengadakan rapat untuk membuat rancangan program kerja. Ketua kami (Iwan) menganjurkan ‘’keterbukaan’’. Apa sih yang dimaksud Iwan dengan keterbukaan? Yah kita open sajalah. Artinya kita engga usah ngelompok ngelompok kalau lagi ngegunjingin yang lain. Jadi langsung saja ngomong, misalnya kalau ada masalah, suka atau tak suka. Nah ini, waktu itu, sangat berarti buatku. Ya, terutama mengenai masalah pri dan non pri itu. Buatku ini cocok sekali makanya aku ikut sajalah. Ini sesuai dengan problim yang lagi aku pikirin. Akhirnya lewat PPI aku mencoba untuk mencari jawaban. Yang dimaksud keterbukaan itu kayak apa sih? Okay, tentu saja arti keterbukaan menurut ketua (Iwan) maksudnya lain - bukan pribumi atau non pribumi - bebas berkumpul, bebas bersuara atau mengeluarkan pendapat dll. Dan isi program ini memang sejalan dengan misi dan kondisiku yang waktu itu aku barusan habis dikonfirmasikan (penguatan) di gereja katholik di Berlin. 1991 aku dibaptis. Aku sekarang sudah resmi menjadi seorang penganut agama katolik. Iman katholikku sedang tumbuh yakni aku ingin mencoba untuk bersikap polos dengan keadaan, artinya tanpa harus ada perasaan prejudice dulu. Menurutku, selama menurut katholik sesuatu itu benar, ya kenapa tidak dilakukan saja? Kita ambil contoh, ketika itu, Iwan ngomong mengenai tulisan-tulisan Pipit, misalnya, yang mana teman-teman pada antipati sekali. Karena takut barangkali. Bukan takut sama isi tulisannya, tapi takut sama resikonya. Takut sama pemerintah. Aku engga ngerti kenapa belum apa-apa sudah takut duluan, kenapa kita engga lihat hasilnya? Maksud tulisannnya apa. Tak perlu ngelihatin penulisnya, apa dosa orangnya. Disamping itu waktu itu kita kedatangan beberapa tokoh; WS Rendra, orang dari Walhi dan yang paling gede, ya Bintang. Yang akhirnya jadi masalah itu. Menurut aku pribadi bintang itu orangnya ya biasa biasa saja. Tapi dia itu kan orang penting, anggota DPR. Ah betapa konyolnya aku. Dulu kupikir Sri Bintang Pamungkas (SBP) itu seorang pejabat pemerintah, saat itu aku belum paham beda antara DPR dan pemerintah. Yang aku tahu bahwa SBP ini orang vokal. Iwan mau ngundang SBP untuk diskusi. Kita langsung bikin undangannya. Waktu diskusi itu perasaanku biasa biasa saja. Mula mula aku duduk tenang-tenang saja, yah bikin kopi, sambil dengerin isi ceramah SBP. Kemudian aku dengar dia makin bersemangat, ditambah dengan hadirin yang waktu itu antusias sekali mendengarkannya. Aku berani bilang 95% hadirin waktu itu sangat begeistert (antusias) mengikuti ceramah Bintang tersebut. Omongannya kedengaran logis. Wah kupikir dia (SBP) bukan saja vokal tapi orangnya juga pinter sekali. Aduh, kalau ngomongin soal kasus Bintang di Berlin, mungkin tempat yang tersedia di majalah ini bakal tak mencukupi. Okay aku bisa cerita dilain kesempatan saja. Gara-gara ceramah SBP aku akhirnya jadi saksi ke Jakarta. Aku pikir berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Walaupun waktu itu aku sempat mikir; wah aku ini kan orang keturunan Cina, Cina totok lagi, kok berani berani amat sih. Kalau mau ngedengerin omongan orang tua sih. Wah celaka, aku bisa mampus deh.
Setibanya di Jakarta aku langsung dijemput orang, engga sempat ngapa-ngapain lagi. Sidang ibarat panggung sandiwara. Pertanyaan polisi, jaksa dan hakim semuanya sama. Yang ditanyakan yang itu-itu aja. Tak mau dengerin apa yang aku katakan. Apalagi hakim, pertanyaannya ya gitu gitu aja. Tidak seperti di film Madlock (kisah tentang proses peradilan) misalnya, dimana orang benar-benar mencari keadilan. Disini kan engga gitu. Polisi, jaksa dan hakim semuanya hanya ingin tahu: "Apakah SBP dalam ceramahnya bilang.....bahwa Suharto diktator?" Sebenarnya aku ini kan ‘ndak masuk hitungan untuk menjadi saksi yang berangkat ke Indonesia, karena aku ini kan orang yang goblok yang lugu, ndak tahu apa-apa. Tapi melihat yang lainnya engga mungkin berangkat, sedangkan diperlukan tiga orang saksi, ya terpaksalah aku mau aja. Tapi waktu itu ada semacam konflik batin dalam diriku. Karena kata Iwan, ya kita sudah terlanjur bikin begini, jadi harus bisa bertanggung jawablah. Sedangkan kalau aku ikuti omongan orang tuaku, ibuku pasti melarangku untuk menjadi saksi. Kalau aku mengingkari kenyataan ini, ya sebenarnya bisa aja, tak jadi masalah. Tapi aku pikir, lebih bagus aku ikuti saja kasus ini, hitung-hitung menambah pengalaman atau sebagai pelajaran hidup. Memang aku mengalami sedikit kontradiksi dalam pikiranku yaitu antara ajaran (moral) agamaku yang selalu menganjurkan untuk mencari kebenaran, selalu siap membantu orang yang kesusahan disatu pihak dan dipihak lain, masalah tanggung jawab organisasi yang bernuansa politis. Kendati demikian, pelajaran yang paling menarik aku dapat dari kasus SBP yaitu aku baru tahu negara Indonesia itu kayak apa? ternyata didalamnya ada ‘’panggung sandiwara’’ juga. Itu yang pertama. kemudian yang kedua buatku pribadi, di Indonesia ini ada yang tidak beres, ada sesuatu yang diumpetin. Kalu dicari cari terus, ini nanti bermuara disatu titik. Jadi jangan diumpetin, harus ada keterbukaan politik. Faktor inilah yang memantapkan pemikiranku. Kemudian dari sini misalnya aku baru tahu bahwa kalau pelajaran PMP yang diberikan disekolah itu kayak doktrin aja. Begitu juga peristiwa 65 itu sebenarnya bagaimana kok bisa terjadi. Sehingga dengan membaca buku, tanya-tanya sama teman, dengerin orang ngomongin politik, akhirnya aku semakin yakin aja bahwa regime politik di negara kita ini rada otoriter.
Setelah kasus SBP berlalu, aku merasakan adanya perubahan kesadaran dialam pikiranku, bersamaan dengan itu, maka terjadilah arus balik di Berlin. Orang-orang yang tadinya pro kita, akhirnya berbalik malah mereka menyerang kita. Sehingga aku kewalahan dibuatnya. Orang-orang tersebut menuduh bahwa kami (pengurus PPI, termasuk aku) membawa organisasi kearah yang salah sehingga menjadi kacau dan kami juga dituduh tidak mau bertanggung jawab dan sebagainya. Begitu pula kami mulai merasakan adanya tekanan dari pihak perwakilan (KJRI). Sehingga forum PPI tidak lagi bisa dipakai untuk ngomongin masalah masalah yang terjadi di Indonesia misalnya. Aneh, ada orang mau bantuin orang miskin kok malah dimasukin penjara, ini ya gimana?
Konsulat waktu itu sudah mulai mengintimidasi anggota PPI dan KMKI, dengan ancaman: "Kalian jangan deket-deket sama si A. si B. etc. itu orang-orang yang sudah di black list". "Jika kalian deket-deket di Mensa nanti kalian difoto intel kita". Begitu selentingan dari konsulat yang sering kita denger - lewat temen-temen yang sering kesitu. Waktu itu, memang sebagian temen-temen sempat termakan oleh politik intimidasi konsulat. Malah ada kejadian menarik waktu itu. Begini. Ketika seorang temen pulang berlibur ke Jakarta, dia sempat ditanya orang, apakah dia kenal aku.? Dia jawab: tidak! Wah padahal orang yang ditanya itu temanku yang tinggal di Berlin. Aku kesal juga. Tapi aku berbesar hati. O, Yesus aja dulu disalib kok. Memang ajaran agama membuatku sering berbesar hati dalam menghadapi problim sehari hari. Apalagi waktu aku menghadapi kasus SBP. Maksudku ajaran agama itu sebagai patokan apakah ini benar apa engga, begitu. Bukan berarti aku afal alkitab semua, engga sih. Cuma satu yang kuingat yang diajarin Yesus: cinta kasih.
Setelah kasus SBP ‘’keterbukaan’’ di PPI Berlin mengalami cobaan. Kebanyakan anak-anak pada menjauh. Oleh karena itu, untuk menindaklanjuti keterbukaan itu maka kami (kelompok enam) membentuk API (Aliansi Pemuda Independen). Melihat kenyataan ini pihak perwakilan bertambah bringas. Namun dipihak lain API mendapat dukungan penuh - terutama dari para aktifis senior yang masih ada di Berlin. Aku makin lama makin senang saja di API, karena kita betul betul terdiri dari unsur yang majemuk. Memang perjalanan hidupku semakin bergeser, mula-mula aku masuk KMKI, kemudian PPI lalu aku ikut mendirikan API. Wah mungkin perlu juga disebut disini bahwa API masih sibuk dengan penyadaran, sedangkan aplikasinya belum terlihat. Maksudku tindakan yang lebih konkrit. Kendatipun ini bukan lalu berarti bahwa API kurang peduli dengan kejadian-kejadian ditanah air. Ah justru sebaliknya. Kalau menurutku sih, kalau bukan API, lalu organisasi mana lagi yang concern dengan kejadian-kejadian di tanah air. Disamping itu aku juga senang dengerin omongan para senior dan pakar di API, kan ada yang ahli ekonomi, ada yang ahli politik dll. Nah ini penting sekali buatku pribadi, agar aku ini nanti tidak jadi aktifis diatas kertas doang. Aku mau ambil langkah-langkah konkrit di Indonesia nanti. Pendeknya di API aku dapat memantapkan pemikiranku sendiri.
Dari uraian diatas jangan jangan nanti aku ini dikira mau cari selamat sendiri. Oh, bukan begitu. Tapi karena mengingat aku ini orang yang berstatus ‘np’ (non pri) dan, dimana kejadian-kejadian yang berbau SARA makin memanas di negara kita, jadi bagaimanapun aku harus prihatin juga. Setelah mendengar teori kanan kiri, membaca tulisan Ben Anderson (Cina di Batavia) atau karangan Pram dll. lalu yang penting bagaimana jalan keluarnya. Bagaimanapun sesuatu masalah itu kan mesti ada jalan keluarnya, cara menanggulanginya atau konsepnya. Inilah yang sedang aku pikirin. Kalau kita disini (Berlin) kan masih jernih nih, artinya kita masih bisa leluasa ngomongin masalah-masalah beginian. Mungkin kalau di Indonesia nanti, aku pikir kita engga sempat lagi. Karena kita disibukkan dengan masalah-masalah lain. Menurutku pribadi, inti persoalan ini sebenarnya terletak pada dua hal: yang pertama masalah generasi dan yang kedua soal pendidikan. Artinya begini. Kalau ibuku dulu pernah bilang bahwa melayu tak bisa sekolah sampai tinggi, kemudian di Jerman aku lihat tidak benar begitu, jadi ini berarti omongan ibuku keliru. Jadi aku harus berani mengoreksi generasi orang tuaku, begitu misalnya. Dan sikap ini akan aku teruskan kepada generasiku berikutnya. Sedangkan mengenai pendidikan, aku engga usah terangin panjang lebar lagi, karena sudah terlalu umum. semua orang sudah tahu. Tapi ini tidak terbatas hanya pada pendidikan di sekolah saja, pendidikan informalpun juga penting.
Kalau bicara soal generasi aku jadi sedikit bingung. Aku tak bisa menerangkannya dengan logika; kenapa laki laki keturunan biasanya memilih calon istri dari keluarga keturunan juga? Demikian tanya seorang teman. Bukankah ini nanti bisa menghambat pembauran (asimilasi)?
Kalau aku jawab, ini mah masalah selera. Eh, tapi rasanya engga tepat juga. Kita mau kawin dengan siapa saja itu kan hak pribadi masing masing. Atau ini kebetulan aja? Tapi aku pikir engga juga. Lalu? Bagaimana aku mesti menerangkannya? Gampang, karena aku sudah pacaran sejak hampir sepuluh tahun. ‘Kan tadi diatas aku sudah bilang bahwa aku tak punya teman sekelas yang pribumi. Bagaimana mungkin mau pacarin cewek pribumi? Lain misalnya kalau aku punya anak, nanti dia penginnya kawin sama pribumi, bule atau cina aku engga bakalan ngomel ngomel. Silakan aja. Pendeknya sesuka sukanyalah. Begitu pula soal ganti nama misalnya. Walaupun nama sudah diganti, tapi kebiasaan sehari hari kan sulit dirubah. Walaupun begitu aku pun sudah ganti nama juga. Nah itulah, masih banyak kontradiksi yang ada pada diriku. Begitu juga dulu aku pernah mikir mengenai orang cina yang rumahnya dikelilingin tembok tinggi dan dijaga anjing herder dan tinggal disatu komplek. Sedangkan, aku sendiri, juga tinggalnya dikomplek pecinan, walau tembok rumahku tak tinggi dan aku pun tak punya anjing herder.
Orang cina memang dikenal sangat taat memegang adat istiadat (kultur) mereka. Namun ada juga yang bilang bahwa kini ada kecenderungan orang orang keturunan beralih agama. Dari agama buddha Kong Hu Cu ke agama lain: kristen, katholik atau islam. Pertanyaannya: apa yang akan terjadi dua atau tiga generasi kedepan? Apakah ini dapat menyelesaikan masalah yang ada? Aku juga kurang tahu. Sebab agama menurutku bukan institusi, bukan ideologi atau apalah. Agama menurutku tak bisa dijadikan jaminan. Dan itu urusan yang sifatnya pribadi. Di Berlin sendiri kan ada Imanuel (Kristen) ada KMKI dll. tapi gimana? Kalau agama tidak bisa meringankan masalah ini, bagaimana dari segi politik misalnya? Menurutku tentu ada faedahnya. Seandainya konsep serta kebijakansanaan pemerintah tepat sasarannya. Mungkin saja akan berguna. Tapi ini engga bisa diomongin sambil lalu. Jadi maksudku, harus ada studi yang mendalam. Tapi hanya dari kemauan baik pemerintah saja, yah seperti masalah ganti nama, usaha mengurangi kesenjangan sosial, dengan menjinakkan konglomerat atau dengan jalan membuka lowongan semua lapangan pekerjaan (pegawai negeri/Abri) juga buat golongan nonpri dan sebagainya, semua itu tidak akan berarti, kalau tidak diikuti oleh inisiatif pihak nonpri itu sendiri. Karena mengingat konon - kata orang - kultur cina itu lumayan kuat.
Kata penutup dari redaksi.
Manusia adalah ibarat seekor laba-laba, yang berada disarang jaring-jaring nilai kehidupan yang mereka pintal sendiri - yang disebut kultur. Konsep kultural adalah kerangka untuk bertindak, namun sekaligus merupakan abstraksi dari pola tindakan itu sendiri. Jadi kultur adalah pola tindakan dan sekaligus metode untuk bertindak. Ini adalah eskplanasi yang sifatnya sirkuler. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kultur itu diproduksi dan dimodifikasi oleh kelas dominan? Dalam hal ini bagaimana hendaknya kita melihat interaksi antara eksistensi kebudayaan dengan proses terbentuknya kesadaran (politik) baru yang tidak hadir dengan sendirinya itu. Kalau sikap kita kurang kritis terhadap (kultur) diri kita sendiri, maka niscaya kita akan dililit oleh jaring laba-laba nilai kebudayaan yang kita pintal sendiri. Oleh sebab itu, yang patut kita ketahui disini yalah bagaimana terjadinya hubungan kausalitas antara kultur dan politik disuatu negara?
Masalah politik adalah masalah - proses perebutan atau pembagian kekuasaan - yang ditandai oleh hubungan yang sangat kompleks.Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, sebaiknya kita mengetahui dulu, misalnya, hubungan antara seorang pemimpin dengan pendukungnya, otoritas dan ideologi, ideologi dan mobilisasi-massa, solidaritas dan loyalitas dan seterusnya. Hubungan yang kait mengait ini, menyatu serta mengakar kuat dalam sistim ekonomi dan kemasyarakatan suatu negara. Lalu, singkatnya, semua norma dan nilai-nilai yang hadir sebagai hasil dari hubungan yang kompleks tersebut, kita sebut kultur.
(a) Kultur diatur dalam struktur yang berbentuk makna, arti, atau simbol. Begitu juga sebaliknya, (b) simbol-simbol kultural distrukturisasi melalui sejarah. Sebab, arti atau makna kehidupan, sedikit banyak juga ditentukan - dan diperbaharahui - melalui prilaku sehari hari. Jadi sintesis, yakni pertentangan (a) dan (b) ini, berkembang dalam prilaku kreatif setiap subyek historis yakni manusia bersangkutan atau kita sendiri.