Editorial

Tragedi demi tragedi, dari satu krisis ke krisis lain datang silih berganti. Kehidupan yang lebih pahit bagi masyarakat Indonesia mungkin belum pernah dialami. Semenjak beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia mengalami krisis yang telah memakan korban material, bahkan, korban jiwa yang tak ternilai. Sejak Juli 1997, krisis moneter yang mengantar masyarakat Indonesia ke krisis ekonomi yg strutural belum kunjung usai. Pembangunan ala Orba, ternyata malah menghasilkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Di zaman demokrasi parlementer, sekali pun masyarakat Indonesia dilanda kemiskinan, tetapi ada kemerdekaan politik. Saat ini, kemiskinan tetap mencekam kehidupan rakyat, ditambah lagi dengan tiadanya kemerdekaan politik.

Krisis ekonomi yang ada, bahkan, menjadi stimulan bagi Presiden RI untuk menjalankan manuver politiknya (antara lain lewat keengganannya dalam menjalankan program-program bersyarat IMF, terutama diperkenalkannya CBS, yang jelas-jelas melanggar ketentuan nomor 22 dari 50 butir letter of intent dari IMF). Beberapa pihak mendukung perlawanan Presiden RI terhadap IMF. Sebaliknya IMF pun sangat tergantung pada Presiden RI dalam usaha mereka memulihkan ekonomi Indonesia, yang juga merupakan kepentingan negara-negara industri. Memang pada hakekatnya, IMF bukan merupakan suatu institusi yang mewakili kepentingan mayoritas rakyat di Indonesia, yang hingga kini paling merasakan akibat buruk dari krisis ekonomi, tetapi IMF merupakan lobby negara2 adikuasa di bidang ekonomi. Di lain fihak, ketidak puasan masyarakat terhadap kebijaksanaan pemerintah Orba sudah sedemikian meluas. Tekanan2 politik dari negara adikuasa (lewat legitimasi IMF) terhadap pemerintah RI untuk menghentikan praktek-praktek monopolinya, bisa merupakan harapan bagi dimulainya era baru dalam bidang ekonomi, akan tetapi tuntutan IMF untuk menghapus subsidi minyak pasti memperburuk keadaan rakyat kecil, karena harga bensin dan minyak tanah akan semakin mahal, sehingga harga transportasi meningkat dan harga barang dan jasa lainnya pasti ikut naik. Mengapa IMF tidak menuntut rasionalisasi di Pertamina yang notabene tidak efisien, banyak terjadi korupsi/kolusi, sehingga ongkos produksi minyak menjadi tinggi dan harus disubsidi? Mengapa IMF tidak mengajukan syarat yang memungkinkan terjadinya reform di bidang politik?

Staff redaksi majalah Suara Demokrasi nomor ini sengaja memilih topik reformasi politik pasca Orba, karena kebutuhan pembaruan di bidang politik menuju masyarakat demokrasi sudah sangat mendesak. Masyarakat Indonesia yang mendambakan era baru di bidang politik membutuhkan visi yang jelas terhadap negara RI yang konstitusional, di mana rakyat dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut diri mereka. Dalam nomor terbitan ini, kami sajikan beberapa pokok pikiran yang dapat membantu kita masyarakat madani untuk menemukan format sistim politik yang demokratis.

Syarat terjadinya perubahan sosial politik ada lah terjalinnya kondisi obyektif (tuntutan masyarakat terhadap pembaruan) dengan kondisi subyektif (organisasi dengan kepemimpinan yang dapat menggalang aspirasi pembaruan). Saat ini, kondisi obyektif telah menjadi kenyataan, akan tetapi faktor subyektif belum memadai. Sebaliknya, sampai kini Presiden RI yang didukung militer dan birokrat mempunyai organisasi yang lebih baik. Cita-cita demokrasi hanya bisa terwujud, jika ada kekuatan sosial politik yang terorganisir, sehingga dapat mengubah cita-cita demokrasi kedalam bentuk kenyataan dan sekaligus mempertahankan kelestariannya. Salam dari redaksi dan selamat membaca.


Kembali ke Daftar Isi