SIAPA TENTARA DI IRIAN

oleh : Krishna

Irian dalam peta militer warnanya seperti traffic light: merah, kuning, dan hijau. Semua daerah perbatasan dan beberapa daerah pedalaman berwarna merah. Daerah pedalaman lain berwarna kuning. Perkotaan biasanya hijau. Di daerah merah hampir pasti dihuni oleh kaum hijau: pohon dan tentara. Tentara ini memakai sistem rotasi. Rata-rata tentara dari satu batallion tertentu tinggal selama satu tahun di satu daerah. Hampir semua tentara tidak terlalu happy tinggal di pedalaman yang dingin dan sepi, makanan yang sangat buruk, tidak ada hiburan, dan penuh dengan malaria untuk daerah dataran rendah seperti Merauke dan Arso. Tempat tinggal mereka biasanya 1-2 bangunan kecil yang dihuni 15-20 orang tentara.

Penduduk asli juga tidak tidak terlalu happy dengan keberadaan tentara itu di daerahnya. Para tentara yang kedinginan, kesepian, over-crowded, dan sering sakit ini kerap kali menjadi stress. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan karena memang tidak banyak yang bisa mereka lakukan. Jarang sekali ada tentara yang mempunyai buku bacaan. Mungkin karena mereka rata-rata hanya berpendidikan SMP. Akibatnya kelakuan mereka sering "aneh-aneh". Babi dan ayam penduduk sering ditembaki dan dimakan. Kadang kala penduduknya ditembaki. Satu dua kali perempuan Irian diperkosa. Inilah sumber ketegangan antara orang Irian dan tentara.

Tetapi tidak semua tentara jelek sebenarnya. Umumnya perilaku mereka bisa diramalkan berdasarkan usia dan suku bangsanya. Probabilitas keonaran lebih besar bila para tentara berusia muda belia dan berasal dari Ujung Pandang dan Biak. Ini sebabnya pada tahun 1991 Pastor dan orang Ngalum di Pegunungan Bintang mengirim petisi kepada Pangdam Trikora untuk tidak menempatkan tentara yang berasal dari Ujung Pandang dan Biak. Percaya atau tidak, mereka menyukai tentara berasal dari ... Yogya dan Solo! Wong Yogya dan Solo nampaknya tidak bisa menghilangkan kehalusan mereka. Ironi sebenarnya, bahwa tentara yang berasal dari Irian yang biasanya paling brutal terhadap penduduk asli. Di Abmisibil, Peg. Bintang, pernah seorang komandan tentara yang berasal dari Yogya/Solo ditembak mati oleh anak buahnya yang orang Irian asli. Pasalnya dia menegur anak buah ini yang sering mencuri ayam dan babi penduduk asli. Penyelesaian dengan memberikan sanksi kepada pelaku-pelaku langsung pembantaian bukanlah jalan keluar yang tuntas. Kejadian yang sama akan terulang lagi. Pasti! Kelakuan lain ialah berkelahi dengan sesama tentara. Kalau ada yang terbunuh, mereka melaporkan dia dibunuh oleh OPM. Apa tujuannya? Makin banyak kasus di satu daerah, makin banyak perhatian dari pusat ke daerah itu, dan makin banyak uang datang.

Pada dasarnya saya menyukai keberadan tentara ini di pedalaman jika jumlahnya tidak terlalu banyak dan kelakuannya manis.

Di daerah merah, ada 2 unit tentara. Yang pertama adalah pasukan tempur dari luar Irian, misalnya Kopasus dan Kostrad. Yang kedua adalah tentara Koramil yang dibawah komando Kodam Trikora. Pasukan khusus biasanya lebih tua usia rata-ratanya dan lebih berpendidikan daripada tentara koramil. Mereka lebih "kaya". Fasilitas perumahan, makanan dan senjatanya lebih baik. Sering terjadi konflik antara pasukan khusus ini dengan tentara koramil.

Tentara koramil hampir semuanya direkrut di Irian. Kwalifikasi tidak terlalu sulit. Kondisi fisik yang fit dan tidak buta huruf. Dengan persyaratan ini, Kodam Trikora tidak pernah kekurangan pelamar. Walaupun mereka tahu bahwa mereka akan dikirim ke pedalaman dengan gaji yang sangat kecil dan pangkat maksimal sersan, atau letnan, bila beruntung sekali, berbondong-bondong orang-orang ini melamar ke Kodam. Mengapa mereka mau? Jawabnya tidak terlalu sulit: tidak ada pilihan yang lebih baik.

"Bahan bakar" dari mesin ekonomi Irian adalah gaji dari pemerintah. Hitung saja persentase pegawai negeri di kota-kota. Atau lebih mudah lagi, hitung persentase kendaraan bermotor non public dengan plat merah. Kalau kurang dari 40%, kejutan. Untuk anak-anak transmigran, pintu pegawai negeri ini seperti lubang jarum. Untunglah, militer masih cukup punya uang menggaji orang-orang dengan pendidikan minimal ini. Jadilah mereka tentara pedalaman setelah mendapat training kilat yang hampir 100% latihan phisik. Aku tidak pernah mendengar nama "Hoea", tempat pembantaian. Tetapi aku tahu tentang keadaan Jila, desa induk dari Hoea. "Jila" sebuah nama yang angker untuk para tentara yang bertugas di pedalaman. Termasuk kecamatan Ilaga, tetapi berjarak 3 hari jalan kaki dari Kago, ibukota kecamatan. Hanya orang-orang yang kondisinya sangat fit saja yang bisa menembus hutan dengan tebing-tebing yang curam dan licin. Jika terpeleset, sungai yang penuh batu dan berarus sangat deras menunggu kita. Lebih gawat lagi kalau hujan (dan celakanya hampir selalu hujan di daerah ini), dingin setengah mati dan tidak bisa melihat jalan setapak.

Bila sampai di Jila, bukan berarti neraka sudah lewat. Kalau tidak membawa cukup perbekalan, jangan mengharapkan makanan tersedia di sana. Jila berada di tengah-tengah taman nasional Lorenzt. Penduduknya hanya sedikit dan tidak terlalu ramah. Dapat dimengerti karena sudah lama sekali mereka dicap OPM. Satu lagi, malaria juga punya "markas besar" di sini.

Aku bisa membayangkan ketakutan yang mencekam sersan Marjaka dan anakbuahnya di Hoea. Pasti mereka sudah berjalan berjam-jam menembus hutan. Mereka tahu di hutan mereka seperti ikan di darat dibandingkan dengan orang Irian. Orang-orang pedalaman dengan mudah menyelinap di antara pohon-pohon, menyeberangi sungai dengan meloncati batu-batu licin, dan berlari mendaki dengan beban 40-50 kg di punggung. Dengan mudah mereka menghabisi tentara Indonesia yang masih "hijau" di tengah hutan belantara seperti beberapa tahun yang lalu di Kab. Paniai.

Kasus pembantaian penduduk asli bukanlah masalah sederhana. Tentara yang brutal atau panik menembak penduduk sipil. Permasalahan bisa dihubungkan dengan permasalahan nasional : sistem pendidikan yang buruk, angka pengangguran yang tinggi, program transmigrasi yang sangat politis, perlakuan tidak adil terhadap penduduk asli, dll. Penyelesaian dengan memberikan sanksi kepada pelaku-pelaku langsung pembantaian bukanlah jalan keluar yang tuntas. Kejadian yang sama akan terulang lagi. Pasti!

(Krishna adalah Seorang dokter yang pernah kerja praktek di Irian Jaya).

* Tulisan ini dikutip dari Internet.


Kembali ke Daftar Isi