Kerusuhan di Timor Timur Awal September 1995

Pada minggu pertama bulan September 1995 baru lalu, telah terjadi kerusuhan di beberapa kota di Timor Timur (Dili, Maliana, Balibo, Atambua dan Uatolari). Tidak kurang dari 1000 pemuda dan pelajar SMA/STM mengamuk di pusat pusat kota dan mengadakan kerusuhan. Pasar Comoro dan Becora di Dili, sejumlah toko toko, kios, bangunan sekolah, kantor Yayasan Islam Nasrullah (Yakin) dan satu gereja Protestan mengalami kerusakan besar.

Beberapa orang sempat dibawa kerumah sakit karena cedera. Ada banyak penduduk yang bukan asli Timtim pergi mengungsi lari dari Timtim. Konon sebab musabab dari kemarahan para pemuda Timtim itu berawal dari pengumuman hasil seleksi calon pegawai negri dimana hampir semua calon dari penduduk asli Timtim ditolak lamarannya sekalipun sebagian pelamar adalah penduduk asli Timtim. Hal ini mengakibatkan frustrasi dikalangan pelamar yang gagal sehingga mereka mengamuk dan menghancurkan pasar dan beberapa pertokoan serta kios di pusat kota. Selanjutnya pada hari Sabtu 2 September 1995 terjadi pelecehan terhadap agama Katholik di Lembaga Pemasyarakatan di kota Maliana (100 km sebelah barat Dili) oleh salah satu petugas yang bernama Sanusi Abubakar, seorang asal luar Timtim.

Selain itu ditemukan selebaran berisi pelecehan atas agama Katholik yang dibuat oleh Sanusi. Selebaran tsb. beredar di kalangan pelajar di kota Maliana dan juga Dili. Hal ini mengakibatkan kemarahan para narapidana (kebanyakan penduduk asli Timtim) yang bersikeras hendak menghantam Sanusi. Para napi tsb. berhasil lari keluar penjara, menuju rumah Sanusi dan mengobrak abriknya. Sanusi berhasil melarikan diri. Aksi ini melibatkan tidak kurang dari 500 orang. Hari Jumat 8 September Kompleks Yayasan Yakin di kota Dili dilempari batu dan di porak porandakan bahkan sebagian bagunannya dibakar massa yang marah karena frustrasi ditambah isu pelecehan atas agama Katholik. Di depan Universitas Timtim kelompok pemuda mencegat orang orang yang bukan asal timtim (mereka juga memeriksa KTP) dan memukulinya. Di Uatolari (kabupaten Viqueque) pada hari Senin 4 September beredar isu mengenai perkawinan campuran antara penduduk asli dan pendatang di gereja Protestan Sidang Jemaat Allah di desa Aflacai.

Mendengar isu tsb. para penduduk setempat membakar gereja berikut rumah pendetanya. Gereja Protestan lain (Gereja Hosana) di desa Naedala juga di rusak oleh para penduduk asli setempat. Juga tersiar kabar bahwa ada lambang salib Kristus yang tergeletak rusak didalam Musala Al Iswad. Setelah itu Musala dan Mesjid Nurul Huda dan pasar Matahoi di Uatolari di rusak dan dibakar penduduk.

Pada tanggal 8 September siang hari uskup Ximenes Belo mencoba menenangkan massa yang frustrasi dan marah. Di gereja Balide uskup Belo kemudian mengmukakan amanatnya yaitu Agama Katholik adalah agama anti kekerasan, Yesus pernah dilempari dan tidak membalas; selanjutnya uskup Belo menegaskan, kekerasan adalah sangat tidak Kristiani! Akhirnya uskup Belo meminta maaf kepada umat Islam dan Protestan. Sementara itu aparat keamanan di Dili maupun di kota lain di Timtim nampaknya bertindak kurang sigap dan tidak lugas dalam menangani amukan massa tsb.

Kerusuhan di Timtim sempat mengundang banyak reaksi dari berbagai pihak. Presiden Suharto mengatakan bahwa kerusuhan di Timtim menyangkut masalah SARA dan bukan masalah politik. Kasad Hartono mensinyalir adanya unsur gerakan bawah tanah anti integrasi (cladestine) yang menyulut api SARA di sana. Rombongan kelompok KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) yang dipimpin wakil ketuanya Ahmad Sumargono mendatangi Sekretariat Komnas HAM di Jalan Juanda Jakarta dan mendesak agar Komnas Ham bertindak segera atas pelanggaran hak azasi terhadap umat Islam. Amien Rais ketua Muhammaddiah mengecam umat Katholik Timtim yang bertindak berdasarkan SARA. Menanggapi pernyataan uskup Belo (yang dikutip majalah Gatra) tentang Timtim sebagai daerah khusus Katholik, Amien Rais mengatakan bahwa hal itu tidak Pancasilais! Uskup Belo selanjutnya menjelaskan bahwa majalah Gatra salah mengutip pernyataanya dan menjelaskan bahwa sebagian besar penduduk Timtim adalah umat Katholik yang membutuhkan dialog antar agama lainnya sehingga kesalah pahaman dapat dihindarkan.

KH Hasan Basri, Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) memperlihatkan sikap yang lunak dan menghimbau umat Islam agar jangan terpancing isu SARA di Timtim. Selanjutnya berdatangan pernyataan dari para ulama yang bersedia untuk membuka dialog untuk mengatasi ketegangan yang ada di Timtim.

Belum lagi tuntas penyelesaian kerusuhan Timtim, terjadi lagi tindakan kekerasan dari pihak aparat keamanan awal minggu ke dua bulan Oktober. Radio BBC London Rabu pagi 18 Oktober mengabarkan 2 orang tewas dan beberapa orang luka luka ketika aparat keamanan melakukan razia dan mendatangi rumah penduduk yang dicurigai anti integrasi. Uskup Belo yang tengah berada di Vatikan untuk menemui Paus, mengatakan bahwa pendekatan keamanan di Timtim harus dirubah; selanjutnya uskup Belo mengungkapkan bahwa selama ini banyak terjadi pelanggaran Hak azasi manusia atas penduduk asli Timtim oleh aparat keamanan.

(Disarikan dari majalah Gatra 23 September 1995, siaran radio BBC London dan dari Internet Indonesia-list).


Kembali ke Daftar Isi