TRAGEDI di TIMIKA, IRIAN JAYA

Komnas HAM mengungkapkan serangkaian pelanggaran HAM di Timika. Pada hari Natal tanggal 25 Desember 1994 di desa Banti, Tembagapura seusai ibadah Natal, 10 orang hendak kembali ke Timika dengan menumpang kendaraan PT. Freeport. Seperti biasa para penumpang harus melapor pada pihak militer setempat; KTP dan surat jalan diperiksa. Di pos militer sudah berjaga jaga beberapa serdadu yang memaksa kesepuluh orang tadi naik bus PT. Freeport lainnya. Didalam bus ini terdapat 5 orang penduduk yang diikat dan ditutup matanya. Ternyata pihak militer menuduh kelima belas penduduk itu anggota OPM. Wendy Tabuni (seorang penduduk suku Dhani) berusaha melarikan diri tapi tewas tertembak dan 3 orang lainnya disiksa hingga tewas di mess Panglima Timika (Wisma Pupurima) dan yang lain dilepas pada hari berikutnya.

Pada tanggal 31 Mei 1995, pagi jam 8.00 WIT tidak kurang dari 60 orang suku Amungme (suku di Irian yang tanahnya di eksploitir oleh perusahaan pertambangan terbesar didunia Freeport Mc MoRan asal AS) dari desa kecil Agani, yang beragama Kristen dipimpin oleh pendeta Martinus Kibak dari jemaat Protestan Kingmi Hoea, sedang beribadah dan memanjatkan doa(suku di Irian yang tanahnya di eksploitir oleh perusahaan pertambangan terbesar didunia Freeport Mc MoRan asal AS). Sebelum doa berakhir, tiba tiba lima serdadu aparat keamanan yang tergabung dalam batalyon 752 Paniai dibawah pimpinan serda Marjaka memberondong peluru kearah para penduduk suku Amungme yang tengah beribadah. Suara senapanpun menyalak beruntun dan sebelas orang tewas seketika (termasuk pendeta Martinus Kibak dan dua anak kecil yang baru berusia 5 dan 6 tahun!).

Kejadian tragis di Timika sebenarnya sudah beberapa bulan berlalu; baru muncul sebagai berita di media massa ketika Uskup Jayapura HFM Munninghoff melaporkan rentetan kejadian itu kepada Komnas HAM. Menurut Uskup Munninghoff yang sejak 1983 berwarga negara Indonesia itu, berita mengenai pembunuhan itu sudah ia laporkan pada media massa jauh hari sebelumnya tapi tidak ada yang berani memuat. Komnas Ham dipimpin oleh Marzuki Darusman mendarat di Timika Kamis pagi pukul 7.00 WIT. Setelah selesai mengumpulkan fakta, akhir Agustus 1995 yang lalu Komnas HAM menyimpulkan bahwa antara Oktober 1994 sampai dengan Juni 1995 telah terjadi pembunuhan, penyiksaan dan penahanan di Timika. Ringkasnya, kasus kasus yang diungkap Komnas Ham adalah sbb: 9 Oktober 1994 terjadi penangkapan semena mena terhadap 5 orang sipil. 25 Desember 1994 seorang tewas tertembak dan 3 disiksa sampai mati. 26 Desember 1994 empat penduduk sipil di tangkap. 16 April 1995 seorang ditusuk dan ditembak hingga tewas dan 31 Mei 1995 sebelas orang ditembak hingga tewas seketika.

Pada hari Senin pagi 28 Agustus 1995 sekitar 50 mahasiswa asal Irian yang berkuliah di berbagai Perguruan Tinggi di pulau Jawa mendatangi gedung DPR membentangkan spanduk bertuliskan nama korban di Timika dan menemui ketua Komisi I DPR Aisyah Amini yang berjanji akan membicarakan masalah ini dengan Menhankam dan Pangab. Akhir Agustus Kasad Hartono mengutus delegasi ABRI yang dipimpin oleh Brigjen Soetarto, untuk meneliti tragedi Timika.

Pangab ABRI Jendral Faisal Tanjung mengakui adanya kesalahan prosedur dalam penanganan masalah keamanan di Timika. Menanggapi sikap LBH dan Walhi yang menuntut dibentuknya DKM (Dewan Kehormatan Militer) untuk menangani dan menindak kebrutalan militer di Timika, Pangab mengatakan tidak perlu dibentuk DKM; Pangab menegaskan akan ada tindakan atas pelaku yang menyalahi prosedur militer.

(Disarikan dari majalah majalah: Forum Keadilan 9.10.1995, Sinar 2.9.1995, Tiras 7 September 1995).


Kembali ke Daftar Isi