Mayjen Agum Gumelar dikenal sebagai perwira yang cemerlang. Ia pernah menjadi Komandan Kopassus (1993-1994), Kasdam I, dan Staf Ahli Pangab Bidang Sospol. Pada Agustus 1996, ia ditunjuk menjadi Pangdam Wirabuana, hanya beberapa bulan setelah Ujungpandang dilanda kerusuhan (demonstrasi mahasiswa) "Insiden 24 April 1996" yang menewaskan tiga mahasiswa dan berbuntut ketegangan yang cukup lama.
Tapi, setelah Mayjen Agum mengadakan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan mahasiswa -- setelah beberapa anggota ABRI yang terlibat insiden tersebut dihukum -- akhirnya situasi mencair kembali. Keberhasilan Mayjen Agum meredakan ketegangan itu juga terlihat hasilnya selama kampanye Pemilu 1997, sehingga membuat orang terkagum-kagum terhadap Agum. Wilayah Sulsel, yang semula dianggap salah satu titik paling rawan waktu, alamaaaak..., ternyata "aman-aman" saja. Dan, mungkin, sebagai tanda syukur atas "stabilitas" tersebut, Mayjen Agum pun berangkat ke Tanah Suci untuk menjalankan ibadah umroh, awal September lalu. Tapi, hanya selang beberapa hari setelah ia kembali, meletus lah kerusuhan di Ujungpandang itu.
Kejadian tersebut tampaknya tidak pernah diperhitungkan sama sekali oleh Mayjen Agum dan juga oleh seluruh aparat keamanan di sana. Ya, dalam keadaan stabil, siapa pula yang mau main jahil? Apalagi sudah ada Posko Kwaspadaan.
Kerusuhan sosial berbau SARA di Ujungpandang 15-17 September lalu, paling dahsyat dalam sejarah "Kota Daeng" itu. "Api dalam sekam" itu ternyata belum padam dan kini nyalanya jauh lebih besar daripada peristiwa di awal tahun 1965, 1978, dan tahun 1980. Kerusuhan anti-Cina yang terjadi di Kota Daeng April 1980 itu, mengakibatkan 1.123 rumah dan toko hancur, 29 mobil dan 42 sepeda motor pun ludes.
Dalam peristiwa barusan, 80 mobil rusak dan dibakar dan 168 sepeda motor habis dibinasakan. Gedung dan toko yang hangus dibakar berjumlah 25 buah. Yang paling banyak ada lah bangunan dan toko yang dirusak. Jumlahnya mencapai 1.471 buah. Walikota Madya Ujungpandang, Malik B. Masry, menaksir jumlah kerugian sebesar 17,5 Miliar Rupiah.
Boleh dibilang, dalam soal pembangunan kerusakan dan kemurkaan, terdapat kemajuan pesat. Ini agaknya, yang disebut dengan PELITA Diam-Diam.
Dari SARAP menuju ke SARA
Bencana yang menyebabkan lima orang tewas, 13 mahasiswa mengalami luka tembak, dan 116 orang ditahan, itu dipicu oleh mengamuknya Benny Karre, seorang penjual botol yang keturunan Cina, Senin (15/9) malam, tepatnya pukul 19.35. Ia membacok tewas gadis 9 tahun yang masih duduk di bangku kelas IV SD Mangkura, Anni Mujahidah Rasuna. Ternyata bacokannya memuaskan Benny. Ia malah membacok kepala Anni di tanah berkali kali sampai tak bisa dikenali lagi. Kepala Anni lepas dari tubuhnya.
Tubuh Benny sendiri akhirnya diludeskan oleh massa. Ihtiar buat menyematkan nyawanya, tok sia-sia belaka. Dua jam setelah ditidurkan di RS Bhayngkara, Benny menghembuskan nafas yang terakhir di rumah sakit.
Di lokasi kejadian, massa tak puas. Mereka lantas beraksi. Mata mereka menjadi sepet karena penuh kebencian. Mereka lalu menghancurkan ruang dalam rumah Benny, dan selanjutnya, menjalar ke rumaah rumah orang sipit disekitarnya, sampai melebar, seperti yang terjadi: rusuh anti Cina di Ujungpandang. Dan seperti lazimnya pula, WNI keturunan non-Cina pun memasang label di depan rumahnya: "WNI/India - Muslim". Bahkan, di tempat-tempat hiburan, tampak terlihat sekelompok wanita tuna susila yang panik, berlarian ke sana ke mari, sambil memekik, "WTS pribumi. WTS pribumi." Mungkin, para pelanggan WNI keturunan Cina bisa selamat karena sempat terbukti, bahwa WNI/Cina sedang melakukan pembauran dengan WTS pribumi.
Benny, sang pemicu kerusahan SARA itu sendiri, baru ketahuan SARAPnya
tidak beres alias "gokil" (gila). Menurut direktur RS Jiwa Ujungpandang,
Dr. Denny Thong, Benny memang mengidap ganguan jiwa Schizophrenia Paranoid.
Benny bukan saja pengidap SARA, melainkan SARAP(aranoid). Pengidap penyakit
itu, kata Dr. Denny, dapat hidup secara normal karena penyakitnya paling-paling
cuma kambuh sekali sebulan. Tapi, "jika sedang kambuh, akan sangat merugikan
orang lain", ujarnya. Agaknya, ini merupakan satu perstasi tersendiri,
orang gila bisa memicu kerusuhan berrekorkan peringkat nasional.
APA jadinya Makassar tanpa warga keturunan Cina?
Dulu, kala keturunan Cina masih miskin, hubungan dengan penduduk
asli Makassar erat dan akrab. Tapi kemajuan ekonomi yang mereka capai,
ditopang dengan kebijakan pemerintah yang timpang, membuat kelompok Cina
dianggap sebagai ancaman di Makassar.
APA jadinya Makassar tanpa warga keturunan Cina? Panglima Kodam Wirabuana, Mayjen TNI Agum Gumelar mempunyai perumpamaan yang tepat: "Cari baterai pun susah." Ketika kerusuhan melanda, warga keturunan Cina memang menutup toko toko dan usaha mereka selama tiga hari. Dan Ujunpandang seperti lumpuh.
Kendati hanya berjumlah kurang dari 40 ribu jiwa, dari 1,5 juta jiwa penduduk Ujungpandang, warga keturunan Cina memang mendominasi sektor ekonomi.
Dan rupanya, kemajuan ekonomi kelompok ini telah begitu pesat dibandingkan ketika mereka pertamakali menjejak kota Makassar dalam keadaan miskin pada tahun 1676. Kala itu Matoa Amanna Gappa memerintah Kerajaan Gowa. Mereka memang mengembara dari Hokkian didaratan Cina, negeri yang ribuan mil jaraknya. Di kota niaga Makassar, mereka diterima dengan tangan terbuka, bahkan Amanna Gappa sendiri mengambil seorang putri Cina, We Cudai sebagai permaisuri.
Di tanah harapan itu, dari puluhan orang, mereka beranak pinak. Pada akhir abad ke 19, jumlah orang Cina di Makassar telah mencapai 500 orang. Mereka dipimpin seorang bangsawan keturunan. Dinasti Tung yang pernah berkuasa di Cina, yang disebut Kapitan Tung. Pada jaman itu tak ada yang menyebut mereka "Cinanya" Cina) seperti yang sekarang ini sering diucapkan orang orang Makassar dengan setengah memaki. "Waktu itu orang Cina berpembawaan baik, hubungan mereka dengan pribumi juga baik.
Lagipula mereka masih miskin," kenang Andi Muis, 68 tahun, seorang warga Makassar. Ayahnya, Andi Makkasau bangsawan Bone, ketika itu bahkan berinisiatif membangun dua petak rumah toko untuk orang Cina yang disukainya. Pekerjaan warga keturunan itu awalnya adalah menjual kecap, membetulkan sepatu, dan yang sedikit pintar berdagang antara pengusaha pribumi dengan kapal kapal Eropa. Mereka keliling kota memakai topi lebar berujung lancip, menjual kecap dilengkapi giring giring berlonceng. Sementara, para wanita Cina, sudah terbiasa memakai kebaya dalam bekerja, juga saat bepergian. Dengan warga pribumi, mereka tetap akrab, sebagian di antara prianya bahkan menikah dengan warga suku Makassar. Peranakan peranakan Cina Makassar ini, bahkan tak kenal lagi bahasa induknya. Mereka kini mahir berbahasa Makassar. Jika tahun baru Imlek tiba, warga Cina di Makassar larut dalam perayaan yang disambut suka cita oleh orang orang pribumi. Mereka menggantung petasan dan menggelar atraksi barongsai di kawasan Pecinan yang kini menjadi Jalan Sulawesi dan sekitarnya. Bahkan orang orang pribumi ikut memanggul naga raksasa buatan diiringi dengan tari tarian. Go Ki Hok, seorang Cina tua berusia 65 tahun, ingat benar pada waktu itu orang tuanya membuat dua barong raksasa, satu melambangkan dewa, yang lainnya dewi. Dewa menanti di Makassar, sedang barong dewi di kota Maros, 30 kilometer utara Ujungpandang. "Barong barong itu dipertemukan di tengah jalan oleh penari penari pribumi yang memanggulnya," kata Go Ki Hok. Atraksi barongsai setiap Imlek itu, masih dilihat Go Ki Hok dan warga kota Makassar sampai tahun 1950, sebelum pemerintah mengeluarkan larangan memainkan tarian tradisional Cina ini di Indonesia.
Bibit bibit merenggangnya hubungan pribumi dengan orang orang keturunan Cina ini sebenarnya sudah muncul di Makassar, ketika Belanda mulai menerapkan politik pilih kasih, sekitar tahun 1935. Pemerintah kolonial Belanda membagi penduduk Makassar dalam tiga kategori, Belanda, pribumi dan orang orang Timur Asing termasuk di dalamnya, Cina, Arab dan India. Orang orang Timur Asing itulah yang kemudian mendapat banyak kemudahan ketika berhubungan dengan birokrasi kolonial, terutama kemudahan menguasai dan membeli tanah milik orang orang pribumi. Anak anak Cina bersekolah di sekolah khusus warga Cina yang berbahasa pengantar bahasa Belanda: Chinese Lagere School. "Belanda telah menanam bom waktu," kata Andi Muis, 68 tahun, seorang warga kota Ujungpandang.
Waktu berlalu, orang orang Cina di Ujungpandang pun bertambah. Selain beranak pinak dengan pesat, generasi ketiga orang Cina di Makassar menerima tambahan kedatangan warga keturunan dari Pulau Jawa yang kian padat. Setelah kemerdekaan, sekitar tahun 1950, orang Cina telah berkembang sampai 5.000 an, konflik konflik kecil dengan pribumi mulai timbul. Sementara, orang Timur Asing lainnya dari India, dianggap terlalu sedikit, dan tidak berpengaruh terhadap keseharian warga Makassar, terutama di bidang ekonomi. Orang orang Arab, tetap dihormati sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW mayoritas orang Makassar adalah penganut Islam yang baik.
Begitulah. Etos kerja yang tinggi dari warga keturunan itu, membuat orang Cina di Makassar mulai mendominasi kehidupan perekonomian kota, meski masih dalam tahap menengah. Tapi di antara mereka, ada juga yang menjadi pejabat dan intelektual.
Sebut saja Komisaris Polisi Tung, Hakim Thio Tiong Gun, yang pada awal 1960 an dikenal sebagai pejabat pejabat yang jujur, juga Prof. Mr. Teng Tjeng Leng, intelektual Cina yang menjadi anggota delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Segelintir lainnya diterima warga kota Makassar sebagai Cina Muslim yang biasanya melaksanakan shalat di sebuah masjid di kawasan pasar Butung.
Bom waktu yang disebut Andi Muis tadi meledak ketika penumpasan PKI terjadi pada bulan Maret 1965. Orang orang Cina yang dianggap dekat dengan komunis kontan saja diganyang. Harta mereka dirampas begitu saja, sebagian dibunuh. Sejak itu, hubungan pribumi dengan orang orang keturunan Cina di Makassar (menjadi Ujungpandang sejak 1971) tak pernah erat lagi. Konflik tinggal menunggu pemicu.
Peristiwa Toko La, pada tahun 1980 misalnya, tak lepas dari semangat "benci Cina" itu. Waktu itu, seorang Cina, pemilik Toko La di Jalan Sungai Calendu, menghamili pembantunya, seorang Toraja. Ia lalu membunuhnya ketika wanita malang ini minta dinikahi. Tindakan bejat oknum warga keturunan itu , sontak menyebar dan akibatnya dialami orang orang Cina di Ujungpandang, mereka diganyang habis habisan. Pengrusakan barang barang berbau Cina terjadi hampir di seluruh penjuru kota. Tercatat 1.123 rumah dan toko, 29 mobil dan 42 sepeda motor yang dirusak. Kerugian ditaksir Rp. 318 juta. "Saya dua kali kena lemparan batu," kata Go Ki Hok. Untungnya, pasukan keamanan cepat bergerak dan kerusuhan tidak meluas. Konflik ini ternyata tetap menjadi bara dalam sekam. Kemajuan perekonomian Ujungpandang dianggap mayoritas masyarakat hanya dinikmati warga keturunan. Dan anggapan itu menimbulkan kecemburuan sosial. Maklum, seluruh wilayah pemukiman elit dan kawasan utama kota, juga pusat perdagangan, dimiliki mereka.
Belakangan ini, api dalam sekam itu kembali menyala tatkala proyek pariwisata Tanjung Bunga dibangun. Proyek wisata terpadu yang akan menyulap Pantai Losari itu dicetuskan 1995 mulanya disambut rakyat dengan suka cita. Apalagi, ketika Januari 1996, proyek pembangunan rumah sangat sederhana di kawasan Tanjung Merdeka sebagai bagian dari proyek Tanjung Bunga itu diwujudkan. Banyak yang berharap orang orang kecil bakal mendapat tempat di sana.
Yang terjadi kemudian ternyata jauh dari harapan, RSS (rumah sangat sederhana) itu malah dijual Pemda Sulsel dan investor Lippo Grup kepada warga keturunan Cina yang berharap dapat menjualnya kembali, jika harga tanah di situ berlipat ganda.
Dua tahun lalu, pasar Sentral yang menampung 2.600 pedagang direnovasi. Akibatnya, banyak pedagang pribumi yang tersingkir. Mereka tak sanggup membayar lagi uang sewa yang dinaikan menjadi Rp 10 juta. Akhirnya, hanya para pedagang besar lah yang bisa bertahan di Pasar Sentral, yang namanya diubah lagi menjadi Mal Makassar setelah direnovasi.
Lalu, pada awal tahun 1997 Lippo Grup kembali membangun pemukiman alternatif di Tanjung Bunga, Taman Toraja. Kontan saja sebagian warga kelas menengah kota Ujungpandang mendatangi sang pengembang. Lagi lagi mereka kecewa karena Taman Toraja nyaris menjadi Pecinan baru: ludes oleh warga keturunan.
Kawasan elit Panakkukang Mas Ujungpandang yang dulu kampung miskin Paropo, awal dekade 1980 an dibangun diiringi dengan tangisan penghuninya. Mereka mengalah dengan janji akan mendapat tempat, setidaknya di salah satu sudut kawasan itu. Tapi pengembang Panakkukang Mas, PT Asindo Indah Griyatama tak kurang akal.
Sebanyak 300 kepala keluarga mulanya dibangunkan pasar tradisional yang sempat dipuji para pakar sebagai contoh pemukiman modern yang tidak mengorbankan rakyat kecil. Tapi itu berlangsung singkat, warga yang menjual murah tanahnya itu, kemudian dihalau secara perlahan dari tempat ini. Dan kini, Panakkukang Mas tampil mentereng, dengan kerlip lampu merkuri hingga di taman tamannya. Hampir seluruh penghuninya: etnis Cina.
Ketimpangan memang terasa di mana mana. Pendapatan per kapita 1,5 juta penduduk Ujungpandang sebanyak Rp 2,5 juta yang diumumkan walikota Ujungpandang, Malik B. Masry dianggap data semu oleh sebagian warga pribumi. "Kalau orang orang Cina tidak dihitung, data itu bisa anjlok lebih dari setengahnya," kata Andi Rudiyanto Asapa, S.H., mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Ujungpandang.
Menurut catatan Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Hukum Universitas Hasanuddin, A. Muis, 70 persen kekayaan (uang dan barang) berada di bawah penguasaan golongan ekonomi superkuat (WNI Keturunan Cina). Kesenjangan sosial-ekonomi antara pribumi dengan nonpri itu seakan mencapai puncaknya ketika muncul banyak supermarket. Toko-toko kecil milik pribumi banyak yang terpaksa gulung tikar karena tak sanggup bersaing dengan toko-toko swalayan milik WNI Keturunan.
A. Muis juga membeberkan, bahwa peranan birokrasi memperkuat kesenjangan itu. Golongan ekonomi kuat (WNI Keturunan) sangat mudah memperoleh kredit bank pemerintah dan segala macam izin dari instansi-instasi yang berwenang. Warga masyarakat pribumi yang umumnya sangat sulit memperoleh kredit dan izin membangun perusahaan kecil kian merasakan adanya gejala kolusi di kalangan oknum-oknum perbankan dan oknum-oknum birokrasi dengan pengusaha-pengusaha WNI keturunan. Hal itu pernah diutarakan secara blak-blakan oleh seorang mantan Wali Kota dalam sebuah Seminar Saudagar Bugis-Makassar, yang dihadiri Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad tahun 1995.
Kadar keakraban hubungan sosial pribumi dan nonpribumi juga memprihatinkan. Dosen Fisipol Universitas Hasanuddin, Darwis, melukiskan, keterlibatan nonpribumi dalam kegiatan sosial rendah sekali. Mereka jarang muncul dalam kegiatan gotong royong, ronda malam, dan semacamnya, sehingga tidak terjadi hubungan yang serasi. Kontak fisik memang kerap terjadi, tapi tidak akrab. "Orang Cina mempunyai rasa kecurigaan yang tinggi terhadap pribumi", ujarnya. Darwis mensinyalir, trauma kerusuhan-kerusuhan rasial yang terjadi sebelumnya lah yang membuat mereka tertutup.
Tidak heran, ketika Benny Karre, seorang pengidap penyakit jiwa di Jalan Kumala, Senin 15 September malam, telengas membacok seorang anak pribumi, kerusuhan berbau rasial pun meledak. Banyak yang menganggap, Benny sekadar pemicu. "Kalau ada senggolan lain yang terjadi antara orang Cina dan orang pribumi, kerusuhan akan tetap terjadi," kata Andi Rudiyanto Asapa. Sebab, kata Rudiyanto yang oleh kalangan mahasiswa dan LSM se Sulsel disuarakan sebagai calon gubernur itu, huru hara rasial di Ujungpandang adalah puncak dari persoalan persoalan sosial di kota Ujungpandang. "Inilah hasil pembangunan itu," katanya.
Pemanfaat Kerushan: Jelaaaas Pihak Ketiga
Tak telak, kemantapan stabilitas "Api dalam sekam" boleh memperoleh ajungan jempol. Pasalnya, "api dalam sekam" ini stabil dan tak pernah padam. Ini kah hasil dari pembangunan seperti yang dikatakan oleh Andi Rudiyanto Asapa?
Gubenur Sulawesi Selatan, Mayjen (Purn.) Zainal Basri Palaguna, menolak, bila faktor kesenjangan itu menjadi pemicu kerusuhan rasial. "Saya kira, itu karena terpicu adanya pembunuhan oleh Benny. Kemudian, tentu ada oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan untuk mengeruhkan suasana. Kesenjangan sosial di daerah Sulawesi Selatan, khususnya di Ujungpandang, saya kira bukan permasalahan pokok", ujarnya kepada FORUM KEADILAN. Sang Gubernur mengatakan selanjutnya, bahwa "di mana-mana terjadi kesenjangan sosial. Di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia pasti ada kesenjangan. Tetapi di Ujungpandang, saya kira tidak mencolok, karena pemerataan cukup bagus di sini".
Mayjen Agum Gumelar menolak anggapan, bahwa sepertinya pribumi meluapkan emosinya karena merasa terpinggirkan oleh kekuatan nonpri. Kepada FORUN KEADILAB Mayjen Agum Gumelar menyatakan, bahwa penyebab kerusuhan itu ada lah "massa sudah hilang nalar" dan dimanfaatkan oleh kekuatan ekstrem. Metodenya mirip cara-cara komunis.
Menurut Mayjen Agum Gumelar, semua warga negara Indonesia termasuk warganegara keturunan, mempunyai hak yang sama dalam segala bidang. Tetapi, sekarang tergantung pada sumber daya manusianya dalam menerima kesempatan itu. Menurut dia pula, "lebih baik kita sekarang ini banyak belajar".
Dari mana kita bisa belajar? Mungkin dari WTS lah. Sebab WTS ada lah satu-satunya kelompok yang aktif melalakukan pembauaran dan mungkin satu kelompok masyarakat yang mengetahui, bahwa manusia hanya lah diukur dari sumberdaya dalam menerima kesempatan.