Reformasi Politik dan Reformasi Institusi
oleh: Prof. Daniel S. Lev (Univ. Washington)
Makin lama makin banyak orang memikirkan apa yang akan terjadi seusai jaman Orba. Ada bisikan tentang siapa yang bakal jadi Presiden nanti. Berbagai ragam pertanyaan muncul berkaitan dengan bagaimana tatanan sosial maupun politik pada saat itu : apakah Angkatan Darat akan berperan nanti seperti sekarang? Apakah mungkin tercapai demokrasi? Apakah partai-partai politik dapat ditumbuhkan sampai menjadi partai politik dalam artian sesungguhnya, yang mewakili rakyat dan mampu serta berpeluang membawa ide-ide baru dalam politik nasional? Ada analisa, ramalan, pesimisme, optimisme, kekuatiran dan juga harapan. Kelihatannya kebanyakan orang setuju bahwa keadaan sekarang tidak bisa terus dipertahankan.Soalnya, bagaimana memikirkan proses perubahan dan strategi pengubahan, reformasi, karena permasalahannya mencakupi begitu banyak persoalan politik, pemerintahan, ekonomi, dan bahkan masyarakat sampai kebudayaan.
Memikirkan reformasi di manapun tidak pernah mudah, apalagi jika ide-ide pembaharuan terlalu lama ditekan, tak ada ruang dan waktu untuk tumbuh sehingga ada peluang untuk menguji dan mengkajinya. Sesudah tiga puluh tahun Orde Baru, kelihatan bahwa kejengkelan terhadap pemerintah dan elite politik sudah cukup luas ,mendalam dan mengakar.
Yang berobah selama tiga dasawarsa adalah dan hanyalah ekonomi dan masyarakat, pemerintahan belum, dengan akibat bahwa saluran politik amat dihambat, kantor-kantor pemerintah tidak melayani keperluan masyarakat dengan baik, dan elite politik lebih aktif melayani diri sendiri daripada melayani negara dan masyarakat. Bahwa reformasi perlu sekali tidak dapat disangkal, tetapi kapan dan di mana dimulai?
Sebetulnya proses perubahan sudah dimulai, terutama dalam bentuk tuntutan masyarakat, kritik terhadap bermacam-macam aspek politik dan pemerintahan, perdebatan mengenai sistim politik, negara hukum, hak azasi manusia, hubungan antara negara dan masyarakat, dstnya. Dalam waktu beberapa tahun terakhir ini makin banyak pemimpin pemerintah, termasuk beberapa menteri, yang mulai mengakui bahwa memang ada kesulitan yang perlu dihadapi dan diperbaiki.
Kritik dan perdebatan ini, termasuk konflik yang ada, merupakan bahan yang mulai mengarahkan proses reformasi. Sasaran terutama daripada kritik dan perdebatan sekarang adalah sistim politik, dan tuntutan terutama adalah demokrasi, termasuk sistem pemilihan umum, kepartaian yang bebas dari campurtangan pemerintah, penarikan angkatan bersenjata ke luar dari politik dan pemerintahan, pers yang bebas, dan negara hukum.
Tuntutan ini semuanya penting sekali, dan tidak akan hilang dari perdebatan politik di Indonesia. Hanya saja, boleh ditanyakan apakah ada yang dilupakan, atau kalau tidak dilupakan, kurang ditonjolkan. Pertanyaan ini muncul karena dalam perdebatan selama ini terlihat bahwa banyak harapan dicurahkan pada reformasi politik tinggi-- pemilu, partai, DPR, kepresidenan, ABRI, UUD-- padahal pondasi negara dipandang agak sepi, kurang diperhatikan. Yang dimaksudkan dengan "pondasi negara" disini, adalah lembaga-lembaga pemerintahan seperti birokrasi umum, baik nasional maupun daerah, sistem peradilan, dan lembaga-lembaga negara yang setiap hari bertugas mengurusi keperluan warga negara-- pokoknya, lembaga-lembaga birokratif sebuah negara hukum, yang selama ini biasanya daripadanya ada tuntutan yang bersifat umum, tetapi sering tanpa spesifikasi, selain pembersihan pengadilan dan eradikasi korupsi.
Reformasi politik dan reformasi institusi negara sangat berhubungan satu sama lain, tetapi dapat dipisahkan secara analitis sebagai persoalan yang berlainan, dan karena itu bisa diperdebatkan apakah yang satu atau yang lain, yang semestinya diprioritaskan. Para reformis sekarang mendahulukan reformasi politik. Tendensi ini dapat dimengerti dan masuk akal karena keruwetan sistim politik dan permainan pimpinan negara. Akan tetapi, mungkin ada gunanya kalau mempertimbangkan strategi lain, yang tidak mengesampingkan pembaharuan sistim politik, tetapi lebih banyak memperhatikan pembaharuan lembaga-lembaga negara. Karena hasil yang terakhir ini sangat penting juga dan bisa menuju ke reformasi politik secara tidak langsung. Lembaga-lembaga yang sehat, proses hukum yang cukup kuat dan berwibawa, merupakan landasan negara yang sehat, yang merupakan sine qua non daripada proses politik yang sehat. Tanpa syarat ini, belum tentu demokratisasi bisa berhasil, atau malah dimakamkan sebelum hidup. "Demokrasi" bisa bervariasi banyak, karena selalu dibentuk dalam sejarah pertaruhan politik lokal.
Akan tetapi, bentuknya apapun tergantung pada organisasi negara yang jujur, efisien, dan dipercayai masyarakat.
Di Indonesia birokrasi umum dan sistim hukum dirongrong selama lima puluh tahun. Kejengkelan yang dirasakan umum sekarang disebabkan bukan hanya oleh permainan politik pemerintah melainkan juga oleh kebobrokan administrasi negara. Malah dapat dikatakan bahwa pemerintah sekarang bisa sedikit banyak memadamkan kemarahan rakyat dari bawah sampai keatas kalau administrasinya lebih baik. (Hanya saja, secara realistis, kalau administrasi negara lebih baik, pimpinan tidak akan bisa "main" seperti sekarang.) Dari pengalaman ini dapat ditarik semacam prinsip: kalau terjadi kekacauan politik, yang selalu mungkin, administrasi negara seharusnya bisa jalan terus dan bertanggung-jawab, sedikit banyak terpisah dari permainan elite politik, supaya masyarakat jangan terlalu digoncangkan oleh pimpinan.
Paling sedikit, kehidupan sehari-hari yang tergantung pada pelayanan pemerintah harus terjamin dalam keadaan apa saja. Administrasi negara tidak banyak diperhatikan sejak akhir jaman kolonial, terkecuali untuk kepentingan politik pimpinan negara. Akibatnya, birokrasi umum sekarang masih mirip birokrasi kolonial, dan pengadilan yang ada masih merupakan warisan langsung dari pengadilan jajahan yang dimaksudkan buat rakyat Indonesia. Yang berbeda adalah bahwa keadaan institusi warisan itu merosot sejak tahun 30-an, terutama pada jaman Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Sebab utamanya adalah konsentrasi kekuatan politik pada pimpinan, yang secara sadar memakai birokrasi dan pengadilan untuk tujuan politik. Soalnya sekarang, bagaimana melepaskan birokrasi dan pengadilan dari ikatan langsung dengan pimpinan politik-- dengan pengertian bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak mungkin lepas sama sekali dari pengaruh politik, tetapi relatif bisa dan harus, karena salah satu tugas institusi-institusi negara adalah untuk menjamin kepentingan masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan oleh pimpinan politik yang kurang bertanggung jawab.
Ini bukan soal "kebudayaan" melainkan soal power, kekuatan politik, dan ideologi, yang sering sedikit banyak berhubungan dengan kepentingan. Perlu ditekankan, bahwa yang bertanggung jawab atas korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kerakusan, kolusi dan seterusnya bukan "kebudayaan," yang selalu dapat ditafsirkan semaunya saja. Yang bertanggung jawab adalah orang-- pemimpin dan pejabat pemerintah yang memanfaatkan kedudukannya untuk diri sendiri atau kalangannya. Soalnya bukan pimpinan kanan atau kiri, korup atau bersih, "kolot" atau "moderen," baik atau buruk, berpihak ini atau itu, karena pimpinan siapa pun saja mampu untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Pimpinan negara selalu harus di jaga di mana saja, dan penjagaan ini tergantung pada organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga negara. Tetapi kalau lembaga-lembaga negara itu tidak memenuhi tanggung-jawabnya, kemampuan organisasi masyarakat seperti pers dan LSM dll dapat dilumpuhkan.
Mencapai tujuan reformasi untuk memberdayakan lembaga-lembaga negara tidak gampang dan selalu makan waktu. Di Indonesia sekarang ada cukup banyak sokongan buat reformasi birokrasi dan pengadilan. Akan tetapi, perdebatan mengenai reformasi birokrasi tidak selalu transparan karena ditutupi keributan tentang isu yang lebih dramatis lagi. Dan dalam hal solusi mungkin sejarah dan kebiasaan perlembagaan terlalu berpengaruh.
Kesulitan yang kedua itu dapat terlihat dalam soal pengadilan, yang selama setahun terakhir ini menimbulkan banyak kehebohan. Sudah lama diketahui bahwa pengadilan, dari bawah sampai keatas, dicekam oleh wabah korupsi, kolusi, dan kerelaan untuk patuh pada kemauan pimpinan politik. Tetapi pada umumnya pemikiran akan reformasi peradilan masih berasumsi bahwa sistim warisan kolonial hanya perlu diperbaiki saja. Di mana mana di dunia ada tendensi untuk berpegang terus pada yang sudah biasa. Pada tahun 1945, dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan, diputuskan untuk meneruskan landraden dulu sebagai landasan pengadilan negeri baru, termasuk hukum acaranya, yaitu HIR, walaupun HIR kurang menjamin hak-hak rakyat Indonesia kalau dibandingkan dengan hukum acara buat orang Eropa. Sekarang ada Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru, tapi karena pengadilan masih gaya lama, yang merosot lagi kemandiriannya, hukum acara yang diperbaiki itu tidak berpengaruh banyak dalam menegakan wibawa hukum.
Karena pengalaman pengadilan dan hakim sejak Demokrasi Terpimpin, belum tentu bahwa keinginan untuk memperbaik sistim peradilan dari dalam bisa berhasil. Sejak tahun 1968-1970, waktu diperdebatkan UU 14/1970, dianjurkan oleh para reformis (terutama PERADIN dulu and beberapa hakim) untuk melepaskan pengadilan dari Departemen Kehakiman supaya bisa mandiri, tapi usul itu tentu saja ditolak Dep. Kehakiman dan pimpinan pemerintah yang tidak menginginkan adanya lemabaga peradilan yang betul-betul bebas.
Selain itu, pernah dianjurkan bahwa seharusnya hakim diangkat dari luar korps kehakiman, termasuk advokat, umpamanya, yang berpengetahuan dan berani. Untuk ini sudah ada preseden-- yaitu ahli hukum militer yang diangkat pada Mahkamah Agung sejak 1974 -- tetapi belum dibuka untuk advokat, konsultan hukum, atau ahli hukum dari lain profesi. Dan belum tentu ada advokat atau konsultan yang mau, bukan hanya karena soal gaji, tetapi malah karena mereka tidak lagi menghormati pengadilan.
Apakah ada solusi lain? Semestinya ya, asal ada keberanian untuk meninggalkan tradisi dan sedikit keberanian untuk bereksperimen--untuk mengadopsi sesuatu yang berguna dan cocok dari luar negeri, tapi juga untuk mencoba yang sama sekali berlainan. Sebetulnya ada contoh di Indonesia, yaitu sejak tahun 1990, dalam bentuk PTUN dan Komnas HAM. Mungkin pada mulanya pemerintah tidak menduga perkembangan yang terjadi pada kedua lembaga baru itu. Apakah dapat dibayangkan sebelumnya bahwa seorang seperti Pak Benyamin Mangkoedilaga akan menggegerkan Indonesia dengan suatu keputusan yang sah dan benar menurut hukum tapi tidak diinginkan oleh pimpinan politik? Atau bahwa beberapa anggota Komnas HAM akan ambil sikap yang begitu serius dan berani terhadap tugasnya? Yang penting tentang lembaga-lembaga baru ini adalah bahwa kedua-duanya betul-betul baru, tanpa preseden, dan karena itu mereka bisa menentukan presedennya sendiri. Dan mungkin juga di antara para anggotanya ada yang dipengaruhi oleh pengalaman pengadilan biasa dan oleh kemuakan yang dirasakan dalam masyarakat terhadap peradilan umum.
Kalau begitu, daripada usahakan pembaharuan pengadilan negeri sekarang, yang amat sulit dan bahkan barangkali tidak mungkin, kenapa tidak melanjutkan experimen PTUN dan Komnas dengan memperjuangkan pengadilan baru? Pengadilan negeri dibiarkan tetap saja, tetapi juga dibentuk sebuah pengadilan ekonomi dan perdagangan umpamanya, di beberapa kota besar-- pengadilan yang terdiri atas konsultan hukum, advokat, pedagang setempat, dan mungkin seorang dua orang hakim biasa yang tertarik dan menguasai betul persoalan hukum dagang. Dan pengadilan dagang ini diberikan tugas baik untuk mendamaikan konflik dagang maupun untuk memutuskan perkara, dengan harapan bahwa dari keputusannya akan mulai timbul pengaruh baru, dari pengalaman, atas perkembangan hukum dagang. Pengadilan dagang ini bisa ditempatkan dibawah salah satu departement, atau malah bisa lepas sama sekali; yang penting adalah kemandiriannya yang dijaga oleh pers, organisasi dagang, IKADIN, beberapa LSM, dan lembaga lain yang berkepentingan. Di samping itu manfaat lain yang dapat juga diambil, adalah bahwa dengan ditariknya perkara dagang dari pengadilan negeri, maka kompleksitas persoalan dalam membenahi peradilan umum dapat dikurangi.
Untuk soal perburuhan juga mungkin perlu semacam sistim peradilan buruh yang baru, bukan lagi BP4 dibawah Dep. Tenaga Kerja, tetapi pengadilan terbuka yang bisa dihadiri sidangnya oleh advokat, pers, mahaguru dan mahasiswa hukum. Sistim peradilan Jerman dapat dipakai sebagai contoh, umpamanya, atau malah bisa dicoba sebuah experimen baru sesudah mempelajari pengalaman di beberapa negara lain.
Kalau di pengadilan umum, mungkin usaha perbaikan harus dilakukan dengan bentuk lain-- prinsip utamanya adalah mencegah korupsi dan kolusi dilembaga ini dengan memaksakan transparansi. Umpamanya, experimentasi dengan pengangkatan orang awam di lembaga pengadilan-- seperti di beberapa negara, termasuk Jerman, yang menolak juri tetapi menunjuk orang biasa yang diberikan pendidikan singkat tapi cukup untuk turut sebagai hakim anggota. Ini juga merupakan semacam pendemokrasian yang penting dan efektif.
Tentu saja, pembaharuan macam ini tidak akan berhasil sukses tanpa perjuangan. Kemungkinan besar pemerintah pada mulanya akan menolak, seperti usul-usul PERADIN (dan IKAHI) ditolak dalam UU 14/1970. Tetapi itulah, dalam usaha reformasi, tidak ada yang gampang, antara lain karena kepentingan-- apakah kepentingan politik atau ekonomi atau juga ideologi-- yang berbeda dalam setiap konflik tentang perubahan. Tetapi kalau tidak diperjuangkan, pembaharuan tidak mungkin sama sekali. Dalam bidang peradilan dan hukum, perjuangan menuju reform tergantung pada koalisi antara advokat, konsultan hukum, fakultas hukum, pers, pedagang, dan lain lagi, yang rela mendorong keras tuntutannya atas perbaikan keadaan.
Soal pengadilan hanya satu contoh saja. Struktur dan kemandirian birokrasi nasional dan daerah lebih sulit lagi pembaharuannya, karena luasnya, jumlah keanggotaannya, dan kepentingan politik serta ekonomi yang bersangkutan. Tetapi pada akhirnya hampir semua reformasi fundamental merupakan ancaman pada kepentingan yang vested dalam bentuk negara sekarang. Yang ditekankan di sini ialah bahwa kalau landasan hukum, birokrasi, peradilan tidak diperkuat, demokrasi yang dituntut keras sekarang tidak akan berarti.
Ada soal lain yang lebih ruwet lagi dalam hubungan dengan reformasi. Yaitu, ada kecenderungan untuk memikirkan pembaharuan institusi dari sudut jangka pendek, dengan akibat bahwa para reformis lekas frustrasi kalau tidak tercapai tujuannya sekarang ini atau kalau yang diharapkan dari reformasi itu tidak terwujud dengan sempurna. Tentu saja tujuan jangka pendek perlu, akan tetapi semestinya tujuan itu dianggap sebagian saja daripada tujuan jangka panjang yang tidak pernah akan berakhir. Karena reformasi merupakan tugas dan beban yang terus menerus, yang selalu menimbulkan persoalan baru, dan menuntut strategi politik yang cukup canggih dan flexibel. Pertimbangan jangka panjang itu memerlukan pandangan luas. Ketidak-sabaran yang menonjol yang juga diperlukan seyogyanya berduet dengan kesabaran yang bijaksana dan bisa kompromi.
Perencanaan, perdebatan, pendorongan, dan kesabaran yang berdasarkan ketidaksabaran: semuanya penting sekali dalam proses reformasi, karena penciptaan lembaga negara baru dan adaptasinya pada tuntutan masyarakat bukan pekerjaan sembarangan saja tetapi sangat menentukan dalam kehidupan semua warga negara."