Mengawali Agenda Perubahan
Denny J.A
(Kompas 1 Agustus 1996)
Terasa bahwa berbagai dinamika politik hari hari ini menunjukan perkembangan baru yang agaknya semakin sulit diakomodasi oleh format politik lama. Semakin terasa menguatnya kontradiksi internal dalam sistem politik ekonomi kita.
Kita merasakan adanya perkembangan yang paradoks. Ekonomi Indonesia begitu fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan mutakir dunia. Komitmen kepada perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi sudah diambil. Sungguhpun masih terjadi praktek proteksi di sana- sini, namun kecenderungan liberalisasi itu semakin dirasakan.
Namun dunia politik kita terasa kurang fleksibel. Selama tiga puluh tahun ini kita belum merasakan adanya perubahan yang substansial sebagaimana yang terjadi di dunia ekonomi. Sementara berbagai negara di bagian dunia lainnya sudah banyak yang berubah.
Artikel pendek ini memberikan argumen dan renungan mengapa kita sudah harus mengantisipasi dan mengagendakan perubahan politik yang substansial dan terkendali.
Format Lama
Kita dapat mulai dengan melihat format politik apa yang kita punya sekarang in, lalu menunjukan mengapa format politik ini sudah harus berubah, cepat atau lambat. Di luar negeri banyak ahli Indonesia yang berupaya mengambarkannya. Satu tulisan yang cukup mewakili adalah dari Harold Crouch yang dimuat oleh Journal World Politics (1979). Artikel ini sudah cukup lama namun kita masih merasakan kebenarannya karena memang format politik Indonesia belum banyak berubah.
Menurut Crouch, format politik Indonesia menyimpan elemen neo patrimonialisme. Term "patrimonialisme" itu sendiri berasal dari Weber untuk mengistilahkan bentuk organisasi sosial yang belum mencapai karakter birokrasi modern yang impersonal dan rasional. Sedangkan term "neo" menunjukan perkembangan baru suatu organisasi sosial yang sudah menggunakan berbagai sarana modernitas namun masih mempunyai karakter patrimonialisme.
Dalam neo-patrimonialisme, stabilitas sistem terjaga bukan karena sistem ini rasional, efisien dan adil, tapi karena kemampuan sang pemimpin untuk merekatkan berbagai kelompok kepentingan di sekitarnya. Loyalitas berbagai kekuatan politik cukup kuat karena distribusi pemenuhan kepentingan berbagai kelompok kepentingan itu terselenggara dengan baik. Berbagai negara neo patrimonialisme di dunia ketiga selalu ditandai oleh personalism, yaitu besarnya peran dan kewibawaan pemimpin untuk mendistribusikan benefit dalam rangka mendapatkan loyalitas politik.
Namun stabilitas neo-patrimonialisme ini mensyaratkan dua kondisi. Syarat pertama adalah adanya keseragaman pandangan politik dan ideologi di kalangan elit dan kekuatan utama. Seandainyapun terjadi konflik elit, konflik itu semata berdasarkan kepentingan pribadi bukan karena perbedaan ideologi dan program politik. Dengan demikian konstruksi neo-patrimonialisme itu sendiri tidak ditantang untuk berubah.
Syarat kedua adalah adanya depolitisasi massa. Dalam kontruksi neo-patrimonialisme, massa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan politik. Dalam kondisi massa yang terfragmentasi secara primordial, baik berdasarkan sentimen agama, ras atau etnis di satu sisi,dan masih rendahnya daya pikir kritis dan tidak well informed di sisi lainnya, pelibatan massa dalam politik dapat menggoyahkan stabilitas dan membawa keseluruhan sistem surut ke belakang.
Dua kondisi ini dapat menjelaskan mengapa neo-patrimonialisme di era Demokrasi Terpimpin gagal, namun di era Orde Baru sangat berhasil. Di era Demokrasi Terpimpin, kalangan elit terbelah secara tajam dalam perbedaan ideologis, antara militer dan elit dari kalangan PNI yang nasionalistik di satu sisi, dan komunisme (PKI) di sisi lainnya. Keterbelahan ideologis ini diramaikan pula oleh masih kuatnya politik Islam ataupun aspirasi politik dari golongan Sosial Demokrat. Elit dan kekuatan politik utama mengalami ketidak sepakatan yang ideologis dan politis sifatnya tentang bagaimana sebaiknya negara diselenggarakan.
Pada saat yang sama massa mengalami radikalisasi baik di kota besar ataupun di desa-desa. Radikalisasi ini juga bersifat ideologis antara pendukung PKI dan mereka yang tumbuh bergerak melawannya. Rusaknya perekonomian di ujung Demokrasi Terpimpin memperburuk suasana. Konstruksi neo-patrimonialisme tak lagi mampu merekatkan berbagai dinamika politik yang ada. Pada waktunya sistem inipun ambruk dan terjadi pergantian kepemimpinan.
Orde Baru lahir dengan kembali menegakan neo patrimonialisme namun dengan perbaikan yang substansial. Berbagai program dan undang-undang politik yang dibuat selama Orde Baru pada dasarnya memberikan infrastruktur yang dibutuhkan bagi stabilitas neo patrimonialisme itu. Kekuatan politik utama sekarang relatif berada dalam tata ideologis yang sama. Perpecahan ideologis antar elit yang dijumpai di era Demokrasi Terpimpin tidak lagi hadir di era Orde Baru. Massapun berhasil dipasifkan dari politik praktis.
Proyek homogenisasi elit dan depolitisasi massa ini berhasil karena ditopong oleh pembangunan ekonomi yang sukses. Keberhasilan ekonomi ini memudahkan pemimpin untuk mendistribusikan benefit ke lingkaran politik utama. Berbagai konflik kepentingan antar elit yang ada dapat diselesaikan dengan memberikan pos politik ataupun reward ekonomi yang dapat memuaskan pihak yang bertikai. Sementara massapun kurang teradikalisasi karena secara umum juga merasakan perbaikan hidup.
Namun pembangunan ekonomi ini dapat menjadi bom waktu bagi konstruksi neo-patrimonialisme itu sendiri. Bagaimanapun pembangunan ekonomi itu berjala berdasarkan hukum-hukum ekonomi modern, yang dirancang oleh teknokrat, dan banyak bertentangan dengan prinsip politik neo patrimonialisme. Ekonomi modern menghendaki kompetisi, namun neo patrimonialisme tertanam dalam sistim favoritism. Yang satu tumbuh karena keterbukaan, yang lain berada dalam ketertutupan. Yang satu semakin bergerak menuju impersonal order, yang lain berdasarkan personalism.
Singkat kata, seperti yang disinggung Crouch, konstruksi neopatrimonialisme Orde Baru berdiri pada fondasi pembangunan ekonomi yang semakin modern dan semakin tidak bersifat patrimonial. Konstruksi neo patrimonialisme itu pada waktunya akan juga runtuh justru karena keberhasilan pembangunan ekonomi yang dibuahkannya.
Sukses
Tak diragukan, pembangunan ekonomi Orde Baru sudah sangat berhasil. Laporan Bank Dunia memasukan Indonesia sebagai bagian dari keajaiban Asia Timur, bersama-sama dengan Thailand, Malaysia, Singapore, Taiwan, Korea Selatan, China dan Jepang. Dengan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5% setahun, ekonomi Indonesia akan terus menambah jumlah kelas menengah dan buruh.
Sudah menjadi fenomena umum bahwa kemajuan ekonomi suatu negara akan meminta partsipasi politik lebih luas dan juga tuntutan berkurangnya keterlibatan pemerintah dalam politik. Liberalisasi ekonomi pada waktunya melahirkan tuntutan deregulasi politik.
Negara tetangga di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Filipina dan Taiwan sudah berada di jalan ini, dari kesuksesan pembangunan ekonomi menuju demokratisasi. Singapura memang memilih jalannya sendiri yang berbeda. Namun Singapura tak dapat dijadikan ukuran karena posisinya yang unik, sebuah negara kota dengan jumlah penduduk yang hanya separuh dari penduduk Jakarta. Suka atau tidak, hukum-hukum sosial ekonomi akan membawa Indonesia ke jalan sebagaimana yang ditempuh Jepang dan negara sukses lainnya di Asia.
Sangatlah beralasan, dalam rangka berpikir ke depan, negara kita juga sudah harus menyiapkan agenda perubahan untuk mereformasi format politik lama. Antisipasi dan persiapan yang dini dapat mengurangi kadar kekerasan akibat tumbuhnya aspirasi baru. Format politik baru dengan sendirinya harus kompatibel dengan sistem ekonomi yang dipilih. Karena sistem ekonomi kita akan semakin liberal, bersandar kepada mekanisme pasar yang kompetitif, format politik yang harus dikembang adalah yang juga favourable dengan kultur kompetisi itu.
Dapat dibayangkan, beberapa institusi dan konsensus yang sangat fungsional dengan format politik lama harus ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan kultur kompetisi. Otoritas pembina politik, misalnya, harus lebih dibatasi untuk tidak mudah mengintervensi. Alasannya sederhana. Pembina politik adalah kader partai tertentu. Menjadi janggal jika kader partai tertentu membina partai saingannya sendiri yang sama-sama menjadi peserta pemilu. Bias dan konflik kepentingan mudah terjadi.
Tak ada yang istimewa sebenarnya dengan kultur kompetisi di dunia politik. Berbagai negara yang sukses sudah mempraktekannya, baik di barat ataupun di timur, baik yang berkultur liberal di AS kultur Kong Hu Chu di Taiwan, ataupun yang penduduknya mayoritas Islam di Malaysia. Jika dunia ekonomi kita sudah mampu menyesuaikan diri dengan kecenderungan liberalisasi, dunia politik kita tentunya akan pula mampu menyesuaikan diri dengan kecenderungan demokratisasi di berbagai belahan bumi, sejauh hal itu memang dikehendaki oleh kekuatan utama negeri ini.***
(Denny J.A mahasiswa Ph.D Comparative Politics and Economic Development Ohio State University, USA).