FORMAT POLITIK DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Dr. Sjahrir

WARTA EKONOMI
Mingguan Berita Ekonomi
BisnisEdisi 5 Agustus 1996

Apakah perubahan politik yang drastis akan menyebabkan ambruknya perekonomian domestik? Tidak. Justru pengaturan ekonomi yang menentang efisiensi punya potensi besar untuk menimbulkan persoalan politik serius di dalam negeri.

Membicarakan hubungan format politik dan pembangunan ekonomi, bagi saya, bisa menjadi persoalan penting dan bisa juga tidak. Saya mulai dari tinjauan yang menyatakan tidak penting.

Dalam banyak teori ilmu politik sering dikemukakan tesis tentang hubungan pelembagaan politik dan pembangunan. Dasar pemikirannya, pelembagaan politik akan mengefisienkan pembangunan ekonomi. Ini tesis usang yang sejak 1970-an terus diusap-usap oleh para pakar politik kita. Kita, saat ini, masih terperangkap dengan cara pikir itu. Sementara itu, dunia riil perekonomian sudah jauh melampauinya. Artinya, karakteristik relasi-relasi ekonomi sudah begitu berubah sehingga tak ada lagi suatu imperatif politik yang mampu mendefinisikan hubungan antara "dunia politik" dan "dunia ekonomi". Elektronisasi uang, globalisasi faktor produksi, kosmopolitanisasi selera konsumen, kecepatan dunia informasi, semuanya membuat transaksi-transaksi ekonomi menjadi tak ada hubungannya lagi dengan, misalnya, soal stabil tidaknya politik domestik.

Bahkan bukan saja Dunia Ketiga yang repot dengan perubahan mendasar dalam sifat dan praktek bisnis internasional kontemporer. Dunia maju pun mengalami kesulitan karena pecahnya prinsip antara lokasi modal dan lokasi politik. Modal sekarang bisa beroperasi secara trans-politik guna mengejar efisiensi maksimal.

Mungkin kita bisa menguji soal ini dengan keadaan di Indonesia. Pertanyaannya: apakah perubahan politik yang drastis akan menyebabkan ambruknya perekonomian domestik? Menurut saya, tidak. Justru pengaturan ekonomi yang menentang efisiensi punya potensi besar untuk menimbulkan persoalan politik serius di dalam negeri.

Kini, saya akan membahas pentingnya membicarakan hubungan antara format politik dan pembangunan ekonomi.

Menurut saya, hubungan itu menjadi penting hanya bila pendekatan terhadap soal ini dilakukan secara normatif. Artinya, kita menempatkan pembicaraan ini dalam suatu nilai dan norma bernegara yang kita anut. Misalnya, apakah format politik saat ini sungguh-sungguh sudah atau belum mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat? Kalau kita bisa tuntas menjawab soal ini secara normatif-konstitusional, sesungguhnya tak relevan lagi menyoal hal-hal semacam "jumlah ABRI di DPR", "Isi UU Kepartaian", atau "PDI versi mana yang sah", dan sebagainya.

Kalau kita mau masuk dalam pembicaraan normatif, kita harus mengerahkan pikiran untuk mempersiapkan konsep bernegara yang secara kualitatif lebih memungkinkan perkembangan sistem politik yang terbuka di masa depan. Misalnya, bagaimana bentuk penataan politik yang lebih sehat di masa depan? Bagaimana hubungan sipil-militer dalam suasana berpolitik yang lebih terbuka, kelak? Bagaimana posisi LSM dalam format politik mendatang? Semuanya harus dihitung tuntas, bukan sekadar memanfaatkan variabel-variabel domestik dan spekulasi politik jangka pendek, melainkan juga--bahkan mungkin ini yang penting--variabel internasional, terutama tekanan globalisasi modal. Faktor ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan riil perekonomian nasional dan sekaligus persepsi konsumen dalam memandang dunia politik.

Sejak awal, misalnya, kita harus mulai mengantisipasi kemungkinan berkembangnya sistem politik yang pragmatis dan rasional--semuanya berdasarkan pertimbangan pragmatis ekonomis. Kita harus siap, misalnya, berkomunikasi secara demokratis dengan warga negara yang tak peduli terhadap pertimbangan ideologis-romantis yang berasal dari "pengalaman sejarah kolonial". Bagaimana, misalnya, kita menghadapi suatu kultur politik baru yang tata bahasanya tak lagi berdasarkan "nasionalisme"?

Akhirnya, dalam membicarakan hubungan format politik dan pembangunan ekonomi, kita sebaiknya tak terperangkap dalam analisis jangka pendek. Sesungguhnya, kita memerlukan pandangan prospektif yang realistis berdasarkan kalkulasi global di bidang politik dan memperhatikan kenyataan sifat perekonomian dunia yang sudah berubah. Dan satu-satunya problem yang akan menetap pada kehidupan politik kita di masa datang adalah bagaimana "keadilan sosial" memperoleh jaminan konstitusional di satu pihak, tetapi pada pihak lain tak menjadi sumber pembenaran ideologis bagi kebijakan politik yang doktrinal dan kebijakan ekonomi yang dirigitis dan distorsif.

Saya percaya bahwa dengan pengalaman bernegara selama ini, dan dalam perbandingannya dengan perubahan politik dunia di ujung abad ke-20, kita akan sanggup memasuki abad ke-21 dalam suasana ekonomi dan politik yang lain. Perlu ditekankan di sini bahwa abad ke-21 hanya tinggal 1.000 hari lagi.


Kembali ke Daftar Isi