Bali: Identitas Kultural dan Identitas Politik

Oleh: I Gusti Nyoman Aryana

Artikel atau buku mengenai keindahan alam, keramahan penduduk, terutama 'keunikan' budaya Bali memang sudah terlalu sering di tulis orang. Jadi tidak perlu ditulis lagi. Akan tetapi Bali dalam konteks nasional dan internasional - boleh dibilang - belum begitu banyak mendapat perhatian. Oleh karena itu, analisis singkat ini hendaknya dapat dilihat sebagai satu usaha kearah itu. Artinya melihat Bali dengan 'kaca mata lain'. Singkat kata ini berarti identitas kultural dan politik identitas yang kompatibel. Yang - menurut penulis - merupakan karakter moderen komunitas Bali. Kalau begitu dapatkah kita menyebut ini sebagai satu ciri khas atau identitas Bali yang baru? Atau paling tidak sebagai koreksi atas image klasik Bali yang romantis, yang hingga saat ini masih merupakan mainstream.

Identitas

Apa sebenarnya yang kita maksud dengan identitas kultural dan politik identitas? Menurut Eric Hobsbawm pertama, identitas kolektif - yang cendrung berkonotasi negatif itu - berarti sesuatu yang berlawanan dengan yang lain. Sebagai contoh, kita sengaja mengambil jarak dari kelompok lain, dengan menegaskan disini 'kita' disana 'mereka'. Dan 'kita' selalu lebih baik dari pada 'mereka'. Lalu, seandainya tidak ada 'mereka' kita tidak akan pernah bertanya, siapa 'kita'? Ini berarti, tanpa adanya outsiders tidak bakal ada insiders. Dengan kalimat lain, identitas kolektif tidak mesti berangkat dari ciri-ciri yang sama. Atau, kita menemukan sedikit kesamaan diantara anggota. Selain faktor pengecualian bahwa 'kita' memang berbeda dari yang lain. Sebagai contoh, Serbia, Kroasia, Bosnia memiliki kesamaan life styles. Secara biologis sulit dibedakan. Disamping itu mereka menggunakan bahasa yang sama pula. Hanya satu hal yang membedakan mereka. Agama. Kalau begitu apa yang menyatukan (bangsa) Palestina, yang islam, roma- katolik serta yunani ortodok? Jawabnya simpel. Mereka bukan Israel. Lalu apa yang menyatukan (bangsa) Indonesia, yang islam, katolik, protestan, budha dan hindu? Identitas politik! Ini artinya, Indonesia bukan Malaysia, bukan Brunei, bukan PNG dan juga bukan Australia. Singkat kata politik identitas atau identitas politiklah yang menyatukan kita sebagai bangsa dan sekaligus membedakan kita dengan bangsa lain. Selain geografi tentunya.

Sudah barang tentu kolektivitas berdasarkan beberapa karakter obyektif. Termasuk juga karakter biologis (ras), yang politis sangat sensitif yakni ukuran bentuk tubuh, warna kulit dan jenis rambut etc. yang terdapat pada anggota. Namun identitas kolektif lebih sering dipandang sebagai pakaian yang membungkus kulit, dari pada (warna) kulit yang dibungkus pakaian. Ini berarti, kebanyakan identitas kelompok tidak berdasarkan kesamaan fisik. Walaupun semua kelompok bakal mengklaim bahwa idenititas yang mereka miliki merupakan karunia alam. Dan memang sudah begitu sejak dulu. Yang dalam bahasa Bali: Bèh, nak mula keto (Ah, memang sudah begitu).

Kedua. Dalam kehidupan real sehari hari, identitas ibarat selembar kain atau sarung. Yang dapat diganti setiap saat. Atau bisa juga dikombinasi dengan pakaian lain. Tergantung situasi dan kondisi. Bahkan telah menjadi konsensus umum bahwa tak ada seorang manusia pun di dunia ini yang memiliki hanya satu identitas. Umat manusia tidak dapat dikaitkan hanya dengan satu identitas. Dengan alasan administratif sekalipun. Melainkan manusia hendaknya dipandang sebagai sebuah kombinasi dari berbagai karakter (identitas). Kendatipun demikian, jika dibanding identitas-identitas lainnya, identitas politik kiranya yang bukan saja paling dominan, akan tetapi juga kompatibel dikombinasi dengan identitas lainnya. Sebagai contoh, secara kultural seseorang mungkin saja dapat kita sebut sebagai seorang muslim. Karena orang tersebut beragama islam. Demikian juga, kita biasanya menyebut seseorang sebagai orang hindu, katolik, protestan atau budha lantaran agama orang-orang itu. Namun praktis tidak masuk akal dan absurd, seandainya kita mengkombinasikan dua atau tiga agama sebagai identitas seseorang. Dan lagi pula tidak ada kepentingan untuk itu. Kecuali akan membingungkan orang saja. Namun dari segi kultur-politis, mengkombinasikan identitas kultural dan identitas politik bukanlah merupakan satu permasalahan. Malah sebaliknya. Ini merupakan jalan keluar dari satu permasalahan. Karena hidup berarti bergulat untuk mengatasi permasalahan yang tak pernah berhenti. Termasuk juga masalah politik. Sebagai contoh, seorang kristen protestan, katolik, budha maupun hindu bahkan islam sekalipun dapat saja bersama sama menjadi anggota salah satu partai politik macam Golkar, PDI, PRD atau PUDI. Sebaliknya untuk kalangan non muslim (sampai sekarang) hampir tak masuk akal bila mereka mendukung Partai Persatuan Pembangunan (P3) misalnya. Disamping itu bukan sesuatu yang mengherankan jika P3 di Flores, Irian Jaya, Timtim atau Bali memperoleh cuma sedikit suara dalam pemilu yang sudah lewat. Dan ini bukan harga mati. Artinya suatu saat bisa saja berubah. Karena politik - berbeda dengan ekonomi - hitung hitungannya memang lain. Perubahan ini misalnya terutama diakibatkan oleh kebencian masyarakat terhadap PDI-Soerjadi. Yang terlihat dimana mana, termasuk juga di Bali. Singkat kata, para pendukung setia Mega kini tampaknya akan menyalurkan suaranya ke P3. Tapi di Bali ini bukan berarti sama sekali tanpa masalah.

Umat hindu di Bali pun bertanya: "Bolehkah mereka mencoblos partai - yang dulunya berasaskan islam itu?" Kabarnya, para pemimpin ormas di Bali - menjelang pemilu nanti - akan mengeluarkan bhisama (semacam fatwa) mengenai hal itu. Intinya mencoblos P3 tidak haram. Karena dari segi moralitas, pimpinan P3 jauh lebih baik dari Soerjadi. "Memang tak ada masalah untuk mendukung P3. Apalagi kini partai tersebut adalah partai terbuka dan tidak berasaskan islam lagi." ujar seorang cendekiawan hindu. (Forum Keadilan 19 Mai 1997). Kendatipun demikian, pertanyaan: kenapa PDI (Mega) di Bali mendapat simpati begitu besar kiranya masih tetap memerlukan jawaban. Apakah barangkali (hanya) karena nenek Megawati orang Bali misalnya? Kalau memang benar begitu, rasanya terlalu gampang buat kita. Tapi apakah tidak ada faktor lain, seperti faktor sejarah, ideologi serta masalah eksternal misalnya? Yang membuat orang Bali loyal sama PDI-Mega? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita membuat konstruksi teori terlebih dahulu.

Sejarah dan ideologi

Interes yang ada dimasyarakat - di negara mana pun - memang banyak dan tumpang tindih bahkan tak jarang saling bertentangan. Dan ini terbentuk sesuai dengan jenis pekerjaan, status sosial serta pengalaman seseorang. Adapun realisasi atau artikulasi interes masyarakat, pada dasarnya merupakan pencerminan karakter, identitas, filosofi atau ideologi masyarakat tersebut. Perlu diketahui, ideologi tidak melayang di udara. Melainkan ia mengakar kuat di masyarakat, pada kurun waktu tertentu, mengabdi untuk kepentingan tertentu pula. Dan proses ini terjadi secara bertahap dan perlahan lahan. Singkat kata saja, dari segi sejarah terbentuknya, ideologi cuma ada tiga macam, di dunia ini. Yakni konservatisme, liberalisme, sosialisme. Kiranya bukan suatu kebetulan, kalau Indonesia menganut sistim tiga partai. Walaupun ini masih jauh dari pada pencerminan realitas sosial yang ada. Namun kita mencoba untuk membuat katagori (PPP,Golkar,PDI) berdasarkan ideologi-ideologi yang ada. Atau dengan kata lain elemen-elemen ideologi yang ada pada masing-masing partai. Namun dengan catatan semua ini hanya untuk mempermudah saja. Cuma untuk memperjelas permasalahan. Artinya kalau bukan untuk menyalurkan berbagai interes yang ada dimasyarakat, lalu untuk apa partai-partai itu didirikan? Sebagai seorang pengamat yang serius penulis percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini (mestinya) memiliki makna. Cuma persoalannya adalah bagaimana kita hendak mengartikan makna tersebut. Ya termasuk ketiga partai itu. Pasti ada maknanya. Kegunaannya atau paling sedikit fungsi sosialnya. Kenapa demikian? Karena dalam era informasi global ini, kita tahu banyak, tapi mengerti sedikit. Gampangnya begini. Jika P3 dianggap mewakili interes kelompok konservatif, Golkar - walaupun nanti banyak yang tak setuju - kita anggap saja menampung interes kalangan liberal, maka PDI (idealnya) dianggap mewakili interes sebagian besar lapisan bawah. Dengan kata lain koalisi berbagai minoritas. Baik ini dalam pengertian sosial-ekonomis (buruh, petani, nelayan, karyawan penjaga toko, pedagang klontong dipasar serta pengusaha kecil,), maupun dalam arti sosio-kultural atau etnis-religius (Batak kristen, Dayak katolik, Chinese-budha, Bali hindu). Singkat kata - gampangnya saja - elemen sosialisme demokratis yang ada di tubuh PDI boleh dibilang merupakan pencerminan koalisi interes antara masyarakat minoritas multi kultural dan lapisan luas masyarakat bawah. Ini lalu berarti tanpa dukungan rakyat banyak, tidak bakal ada sosialisme. Dengan kata lain tanpa sosialisme tidak bakal ada demokrasi. Tanpa demokrasi-politik tidak mungkin akan terjadi demokrasi-ekonomi. Itu kalau kita ngomong idealnya sosialisme demokratis. Sosialisme (demokratis) hendaknya jangan dilihat sebagai kelanjutan sosialisme realis, melainkan sebagai ... salah satu alternatif untuk sistim kapitalisme. Sebaiknya Anda mengaitkan Mega dengan nama-nama seperti Miterand, Brandt atau Blair. Selain itu, mengingat sejarah terbentuknya partai berlogo kepala banteng ini adalah partai yang beraliran nasionalis. Namun hendaknya jangan dikelirukan dengan Nazi yakni nasional-sosialisme - partai Hitler di Jerman - yang justru anti minoritas. Jenis nasionalisme memang banyak. Namun pada dasarnya istilah tersebut berasal dari revolusi Prancis 1789. Yang lahir sebagai reaksi terhadap represi ancien regime. Kemudian sejak itu paham nasionalisme - seperti juga agama - menyebar ke seluruh dunia, bersimbiose dengan elemen lokal. Untuk di Indonesia nasionalisme telah menjadi simbol perlawanan terhadap imperialisme/kolonialsme (Belanda). Perlawanan gigih menentang dominasi asing - yang menelan korban sangat banyak ini - di Bali disebut Puputan. Berbeda dengan revolusi Prancis, Puputan 1906 di Bali bukanlah perang rakyat melawan raja. Akan tetapi rakyat bersama raja atau bangsawan menentang kekuatan militer asing atau kolonialisme. Kenapa hal ini harus disebut disini? Ini penting, terutama untuk memperbaiki persepsi kita mengenai sejarah moderen (baca politik) Bali. Yang, tidak selamamya berlangsung dialektis. Walaupun begitu bukan berarti kontradiksi antara bangsawan land lords dengan petani penggarap yang tak punya tanah tidak ada sama sekali. Tentu saja tidak demikian. Cuma saja, waktu itu persoalan tersebut belum muncul kepermukaan. Dan persoalan ini muncul, terutama setelah pengaruh paham nasionalisme dan sosialisme masuk ke Bali sekitar tahun 1920. Singkat kata tidak mengherankan sama sekali kalau akhirnya cukup banyak terdapat bangsawan Bali yang berpikiran maju, pro-republik (nasionalis), serta berjiwa progresif-revolusioner (sosialis). Ini bukan dimaksud bahwa tatkala revolusi nasional (1945-'49) berkobar, tidak ada bangsawan yang reaksioner, anti-republik dan xenophobic. Memang ada juga. Kendatipun jumlah mereka relatif kecil, namun cukup merepotkan kelompok pejuang kemerdekaan. Singkat kata nasionalisme berarti mengingat sejarah. Terutama peristiwa-peristiwa heroik, kepahlawanan, aktivitas terpuji, pendeknya sesuatu yang baik. Dengan mengingat sesuatu yang baik, berarti kita (harus bisa) melupakan yang kurang baik, yang pernah menjadi aib atau malapetaka nasional. Perasaan nasionalis memang tidak kompatibel dengan dendam. Artinya kalau kita merenungkan kembali, kenapa jumlah korban peristiwa 1965 di Bali, secara prosentual paling besar di Indonesia misalnya? Tanpa melupakan korban di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya. Tiga puluh tahun kemudian. Ternyata gelombang nasionalisme sebagai gerakan massa masih merupakan kekuatan politik real yang mengakar di masyarakat. Dan itu bukanlah sesuatu yang mengherankan. Karena nasionalisme bisa tumbuh dimana saja. Terutama diatas lahan, artinya struktur masyarakat yang, mengenal perbedaan fungsi antara agama dan politik. Yang dikenal sudah ada sejak zaman Majapahit. Seandainya tidak ada batas antara agama dan politik yang cukup jelas, maka agamalah yang nanti menggantikan nasionalisme. Dengan kata lain nasionalisme campur aduk dengan agama (seperti di Israel) cenderung menjadi sempit dan berbahaya. Dan ini dapat kilta lihat - lewat siaran tv. - apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina misalnya. Dan begitu juga nasib negara-negara etnis-religius di bekas Yugoslavia, yang lebih banyak merupakan problem baru ketimbang jalan keluar dari problem itu sendiri. Lalu apa hubungannya semua ini dengan eksistensi komunitas Bali? Singkat kata.

Disintegrasi nasional akan terjadi tatkala komunitas (etnis) tidak dapat lagi mengidentifikasikan diri kedalam struktur politik nasional yang sedang dan telah berubah. Dan begitu juga sebaliknya. Artinya jika kelas politik di pusat pemerintahan (Jakarta) - disamping mereka sibuk memperkaya diri - juga sudah kehabisan akal. Tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan. Kecuali mengadu domba kelompok yang satu dengan yang lainnya. Atau tidak serius mengetengahi konflikt yang ada di masyarakat. Malah sebaliknya yakni mengambil keuntungan dari keadaan yang keruh, dengan jalan menyokong atau meng-anak-emaskan yang satu dengan mengorbankan yang lain. (Anda sudah tahu apa yang saya maksud). Dengan kata lain ini berarti tidak ada publik politik. Tak ada ruang serta peraturan untuk main politik yang jelas. Yang ada cuma 'permainan' tingkat yang paling memalukan. Ini bisa dilihat dari argumen para birokrat yang, kosong, nyaris tanpa makna dan (sudah pasti) membosankan. Singkat kata seorang negarawan dalam pengertian negara moderen tak bakal mengancam akan meng-gebuk lawan politik misalnya. Pendeknya tak ada karsa politik dari pihak penguasa untuk membentuk institusi yang benar-benar mandiri, demokratis dan dihargai baik oleh kawan maupun lawan. Kecenderungan seperti itulah yang terjadi di berbagai tempat didunia saat ini. Dari Albania hingga Zaire. Untuk masalah ini hanya ada satu jawaban: chaos. Disintegrasi nasional ini dipercepat lagi setelah 1989 sosialisme buyar. Sejak itulah studi-studi mengenai disintegrasi negara-negara multi-etnik atau multikultural seperti Indonesia makin menjadi perhatian. Sehingga disini timbul pertanyaan. Apakah Indonesia juga akan mengalami nasib yang sama seperti Yugoslavia? Artinya dimana semua kelompok etnis minta diakui sebagai nation atau bangsa. Mungkinkah Bali bisa menjadi 'Bosnia' hindu di samudra Islam dimasa mendatang? Tak ada yang tahu.

Namun yang jelas saat ini, politik identitas di Bali, boleh kita bilang cenderung nasionalis ketimbang regionalis - untuk tidak mengatakan separatis atau etnis-religius apalagi fundamentalis. Dan, kelihatannya ini bukan harga mati. Karena kita belum tahu apa yang bakal terjadi di masa mendatang. Seandainya kita tahu, mungkin masalah tersebut dapat kita selesaikan hari ini juga.

Kenapa di Bali tak pernah muncul partai hindu atau gerakan politik yang bernafaskan keagamaan misalnya? Demikian pertanyaan seorang teman. Pertanyaan gampang jawabnya sulit. Walaupun begitu, sepertinya separatisme itu tidak pas dengan pandangan hidup (filosofi) kebanyakan orang Bali. Barangkali ini dapat sedikit membantu untuk menerangkan kenapa misalnya PDI mengakar begitu kuat di Bali. Disamping itu bagaimana kita dapat menerangkan loyalitas serta tendensi meningkatnya radikalisme pendukung PDI? Tentu saja dalam hal ini tak ada jawaban yang sifatnya monokausal. Akan tetapi secara garis besarnya, dapat kita sebut yakni perasaan sebagai 'minoritas' lah yang sering memaksa orang untuk tampil lebih hebat. Kalau tidak demikian, kemungkinan besar minoritas akan lenyap ditelan Zeitgeist. Barangkali persepsi baru - orang Bali dan Indonesia lainnya - mengenai Bali, dapat dianggap sebagai image Bali moderen. Yang berbeda dengan image klasik (pengamat barat) yang apolitis.

Setiap tindakan mempunyai maksud dan tujuan. Begitu juga artikel ini. Pertama: untuk membantah asumsi - kalangan konservatif - yang menganggap bahwa Bali berada diluar konteks ruang dan waktu. Artinya hanya dilihat sebagai obyek, statis, unik, otentik dan apolitis. Sehingga Bali harus dilindungi dan dilestarikan. Kedua: membebaskan Bali dari klise atau image klasik. Yakni dengan jalan merekonstruksi image baru yang realistis. Artinya lebih mendekati kenyataan yang ada di masyarakat. Ketiga: membandingkan Bali dengan komunitas di negeri lain, dimaksudkan agar lahan riset untuk studi-studi sosial mengenai Bali menjadi lebih luas. Sehingga tidak lagi bersifat 'balisentris'. Artinya melihat masalah Bali dalam konteks politik dan ekonomi internasional. Dengan kata lain yakni, faktor eksternal atau pengaruh kolonialisme.

Pengaruh eksternal

Banyak nama dipergunakan orang untuk menyebut Bali. Pulau seribu-pura. Pulau hindu ditengah samudera islam. The last paradise, dan sebagainya. Adapun image Bali yang dikenal sebagai tempat plesiran sekarang ini, sebenarnya lahir antara tahun 1920 dan tiga puluhan. Ketika itu negara-negara industri sedang dilanda krisis ekonomi dunia. Kondisi sosial di Eropa ketika itu amat buruk. Perkembangan politik - antara perang dunia pertama dan kedua - arahnya tak menentu. Angka pengangguran naik terus. Lalu, singkat kata di Jerman muncul Fasisme. Yakni partai nasional-sosialisme atau Nazi, dibawah pimpinan Adolf Hitler. Yang menganggap bahwa bangsa Jerman adalah bangsa Aria. Artinya bangsa 'unggul' yang berbeda dengan bangsa lainnya didunia. (Catatan: bangsa/wangsa Arya di Bali identis dengan kasta atas, bangsawan atau kelas penguasa). Nama boleh sama, tapi karakter belum tentu. Buat kalangan jet set atau lapisan masyarakat atas, suasana kehidupan di Eropa dan Amerika waktu itu barangkali terasa sangat menjemukan. Alasannya? Industrialisasi ternyata tak merubah dunia menjadi sorga. Melainkan membuat manusia menjadi budak mesin. Artinya mekanis, rasional, individualis, tercerabut dari akarnya serta hambar. Akibatnya jelas; manusia-manusia (Eropa) kehilangan Sinnlichkeit. Maksudnya rangsangan seksual dalam arti kata yang lebih luas. Sehingga timbul keinginan mereka untuk menemukan obat mujarab untuk mengatasi masalah tersebut. Dan ini berarti sesuatu yang ideal, yang romantis, yang mirip dongeng kehidupan para dewa-dewa di sorga. Artinya sesuatu yang masih 'orisinal', otentik, eksotik, yang (kadang) magis atau (sering juga) erotik. Impian romantis atau sorga didunia itu ternyata terletak di Bali. Sebuah pulau kecil yang berada jauh di pantai selatan yang (dianggap) memiliki kekuatan magis. Kalau Afrika terlalu luas. Terlalu berbahaya dan terlalu primitif. India juga terlalu luas. Kalau Tahiti memang kecil dan indah, tapi cuma memiliki sun, sea, and sex. Kalau begitu, cuma Bali yang memiliki, apa yang dicari, yakni eksotisme magis. Dan (hanya!) Bali yang memiliki the shinning hindu culture. Hanya di Bali agama (bener-bener) menyatu dengan alam. Hanya di Bali ada filosofi yang betul betul dipraktikkan dalam kehidupan sehari hari. Nah singkat kata, inilah apa yang dinamakan sebagai filosofi identitas. Atau Identitaetsphilosophie menurut aliran romantik abad ke 19. Apa artinya? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Menurut FWJ Schelling (1775-1854): Alam bukanlah merupakan ciptaan akal. Melainkan akal adalah produk alam. Dan ini hanya mungkin, sebab alam adalah - mula-mula - akal atau roh, roh dari roh kita semua. Sebab alam dan akal (roh) adalah sesuatu yang real dan ideal. Dengan kata lain identis. Filosofi romantik mengalami kebangkitan kembali. Dan menyebar kesegala penjuru dunia, termasuk ke pulau Bali. Aliran romantisme inilah yang menjadi cikal bakal image Bali. Dan, image pada dasarnya bukanlah barang yang jatuh dari langit. Melainkan tak lebih dari pada hasil sebuah konstruksi sosial, yang dalam bahasa gampangnya berarti buatan manusia.

Kisah ini diawali oleh seorang dokter Jerman yakni Dr. med. Gregor Krause (1883-1960), yang mempunyai hobi memotret. Terutama memotret gadis-gadis telanjang. Yang sedang mandi di sungai atau pancuran. Foto-foto (erotis) tersebut akhirnya dimuat dalam buku yang berjudul ''BALI'' terbit 1920. Kendatipun buku itu dalam bahasa Jerman dan berisi lebih banyak gambar dari pada teks, namun tak sulit di mengerti orang. Dan buku itu laku keras dipasar dunia (pariwisata). Foto-foto buatan Dr. Krause itulah yang membuat image Bali pertama. Artinya image yang eksotik, erotik, tapi disamping itu juga ahistoris serta apolitis. Ini artinya Bali - sekali lagi menurut Krause - adalah merupakan kelanjutan (dan koloni) Majapahit. Raja Bali tak lebih dari pada seorang despot. Sehingga tidak salah kalau Belanda (Puputan 1906) bertujuan untuk mengakhiri despotisme di Bali. Dengan kata lain bertujuan untuk menjajah Bali. Logikanya sangat simpel yakni kolonialisme itu tidak jelek - kalau si-penjajah orang asing. Kolonialisme itu jelek - kalau si penjajah bangsa pribumi. Kolonialisme (asing) merubah bangsa pribumi terbatas hanya pada kulit luarnya saja. Sedangkan intinya masih tetap asli, orisinal dan otentik artinya primitif. Dengan kata lain orang primitive tidak menolak kolonialisme. Logika ini akhirnya (1930an) diikuti oleh penulis-penulis berikutnya seperti Vicky Baum, Walter Spies, Miguel Covarrubias, Margaret Mead dan Gregory Bateson. Singkat kata Bali adalah sinonim untuk sesuatu yang orisinal, sesuatu yang otentik yang berada diluar ruang dan waktu. Artinya kekal dan abadi, tidak (boleh) berubah. Pendeknya ini adalah sesuatu yang harus dimuseumkan. Dipertahankan. Dilestarikan. Dilindungi atau diselamatkan dari gangguan luar. Menurut logika orang-orang tersebut diatas kolonialisme bukan faktor eksternal. Dan kolonialisme itu tidak jelek. Yang jelek adalah modernisme. Konon betapa marahnya ketika Walter Spies melihat orang-orang Bali mulai mengenakan pakaian moderen seperti pantalon misalnya, dan tidak memakai kancut lagi. Kabarnya dia ngomel ngomel tatkala jalan-jalan mulai diaspal dan begitu juga listrik hendak masuk ke Bali. Pendek kata Walter ingin membuat orang Bali lebih Bali lagi. Ide membalikan orang Bali (Balinisiring) adalah policy penguasa kolonial Belanda. Yang bukan saja untuk membedakan Bali dengan komunitas-komunitas lainnya, yang ada kepuluan Nusantara. Akan tetapi juga bermaksud melarang komunitas-komunitas lainnya (islam dan kristen) berkembang di Bali. Berbeda dengan penguasa Majapahit, penguasa kolonial Belanda tidak mengijinkan agama mereka sendiri masuk ke Bali. Belanda melarang para misionaris (katolik dan protestan) masuk ke Bali. Akhirnya saat itu muncul pikiran dikalangan elit Bali untuk 'membalikan diri'. Kendatipun untuk maksud dan kepentingan yang lain.

Politik identitas di Bali

Tentu saja tidak semua apa yang dilakukan Belanda itu berarti jelek. Sebagai contoh masuknya sistim pendidikan moderen misalnya. Walaupun mula mula hanya anak-anak golongan bangsawan (Triwangsa) yang boleh melanjutkan sekolah dan bekerja di pemerintahan, namun lama kelamaan anak golongan Sudra (rakyat biasa) akhirnya mendapat juga kesempatan belajar. Sehingga ini menimbulkan kesadaran baru - dikalangan golongan Sudra - sebagai orang Bali. Konflik kepentingan antara Triwangsa dan Sudra pun tak terhindarkan. Golongan Sudra ingin menghapuskan privilese para bangsawan (Triwangsa). Triwangsa menganggap Sudra anti kasta, anti agama hindu dan telah disusupi ideologi luar yaitu komunisme. Konflik itu akhirnya berkepanjangan yang kemudian dikenal sebagai konflik kasta. Konflik ini akhirnya makin lama makin menurun, ketika paham nasionalisme dan sosialisme mulai masuk ke Bali. Golongan bangsawan land lords memilih nasionalisme (PNI) atau - yang tidak suka sama Bung Karno -bergabung dengan PSI, yang di Bali dikenal sebagai partai konservatif. Kebanyakan golongan Sudra (petani miskin) masuk BTI atau PKI. Setelah PSI dibubarkan, PKI mendapat banyak pengikut. Puncak pertentangan antara PKI dan PNI terletak pada pelaksanaan landreform. Dan juga tak tertutup kemungkinan bercampur dendam pribadi atau golongan. Setelah peristiwa 1965, PKI pun dibubarkan. Banyak orang komunis dan simpatisan dibunuh. Awal 1970an dengan bantuan anggota Abri, 'Golkarisasi' mulai diberlakukan. Banyak sekali tokoh-tokoh PNI yang ditangkap, rumah mereka dilemparin batu, atau dibakar. Cuma sedikit saja orang yang tunduk dan mau masuk Golkar. Tapi kebanyakan orang Bali membangkang. Yang kini menjadi anggota atau simpatisan PDI (Mega).

Setelah selesai membaca barangkali Anda berpikir bahwa artikel ini tidak transparan. Itu tidak salah. Anda benar. Dan itu sah sah saja. Sehingga Anda akan mengambil kesimpulan sendiri. Begini misalnya. Artikel ini adalah jeritan seorang dari kalangan minoritas kultural. Yang ingin bersolidaritas dengan minoritas-minoritas lainnya. Yang, baik dalam arti kata sosio-ekonomis maupun minoritas kultural (etnis/religius). Dengan demikian mungkin ini dapat sedikit membantu untuk menerangkan perasaan takut yang ada dikalangan minoritas saat ini, yang mungkin sulit diterima oleh logika. Logika memang berbeda dengan perasaan. Perasaan takut dan tak menentu itu timbul, karena tidak ada garansi. Lalu apa yang bisa kita harapkan dari elit politik yang sama sekali tidak mengakar di masyarakat? Dan masih berapa lama? (26.Mai1997). n


Kembali ke Daftar Isi