Inginnya Sih Rakyat Yang Menang

Ada pencari Tuhan, ada pencari rakyat,
biasanya keduanya mencari sia-sia seumur hidup.

J. Slauerhoff, Pemberontakan Guadalajara.

Pemilihan Umum telah berakhir dan proses penghitungan suara juga telah berakhir. Kita tidak perlu menjadi seorang paranormal untuk mengetahui hasil penghitungqn suara sebelumnya. Saya khawatir jalan raya RW kami akan tetap becek, minimal untuk lima tahun mendatang. Karena P3 lah yang menang di RW kami.

Saya cukup stress di bulan Mei ini. Karena kebetulan rumah kontrakan keluarga persis berada di pinggir jalan, sehingga suasana kampanye sangat mengganggu kami. Ibu saya sangat tersiksa dengan suara-suara motor dan ulah penggembira OPP-OPP yang berkampanye. Pagar rumah kami habis menjadi media corat-coret mereka (salah kami juga sih, kenapa tembok pagernya putih !). Bengkel motor di depan rumah yang tadinya sepi menjadi ramai ditongkrongi orang dan sudah berminggu-minggu mereka mengawasi rumah kami. Belum lagi bemper Mazda kreditan bapak yang remuk ditabrak kampanye motor liar. Saya sendiri harus merelakan waktu dan tenaga ekstra karena perjalanan pulang menjadi lebih melelahkan.

Dulu salah satu guru PMP saya pernah membuat saya terkesan dengan penjelasannya mengenai pemilu. Pemilu adalah pesta demokrasi rakyat di mana sejak kampanye hingga pencoblosan sebenarnya dan seyogyanya terjadi peningkatan intensitas interaksi sosial masyarakat. Yang bagi penduduk urban tak ubahnya seperti oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, secara kasuistik misalnya saya. Saya tidak terlalu mengenal tetangga kanan-kiri karena selain baru dua tahun menetap juga terlalu sibuk di kampus. Dalam minggu tenang yang lalu RT kami mewajibkan warga untuk menggiatkan SISKAMLING secara bergantian. Di situ kami baru berkenalan satu sama lain. Bahkan hal ini berlanjut dengan kegilaan para remaja untuk memasang poster Commando-nya Arnold dan Cindy Crawford di bilik TPS. Fenomena ini menjadi salah satu peristiwa budaya yang unik karena hanya terjadi lima tahun sekali. Hal ini diperkaya dengan segala keunikan dan kekonyolan kampanye yang menggambarkan excitement warga untuk melepaskan ketegangan sehari-hari. Bagi saudara-saudara saya yang tinggal di pedalaman tanah Mataram, Pemilu biasanya disambut dengan keriaan massal sesuai interpretasi mereka.

Namun kejadian yang terjadi belakangan ini sungguh mengerikan dan memiriskan hati. Pembakaran, perusakan, perampasan, penganiayaan dan pembunuhan juga ikut menyambut Pemilu ini. Banyak yang merasa tertekan dengan keadaan ekonomi sosial politik negeri ini. Banyak yang merasa tersisih sebagai orang-orang kalah. Kekecewaan dan kecemburuan telah meraja lela. Arogansi kekuasaan telah menyulut amarah banyak orang yang merasa enteng saja untuk menyiram bangunan-bangunan dengan bensin dan membakarnya.

Sebenarnya apakah memang hanya masalah arogansi kekuasaan ini saja yang menjadi pemicu kebringasan rakyat? Saya pikir tidak sesederhana itu. Banyak variabel lain yang menyebabkan kompleksnya masalah ini. Seperti analisis mengapa rakyat begitu berani secara frontal melawan aparat keamanan? Mungkin saja ada "Beking" kuat yang mendorong mereka dari belakang. Bila ini yang terjadi bisa disimpulkan telah terjadi friksi dalam elit politik dan militer kita. Atau memang telah terjadi kemerosotan moral masyarakat secara umum. Di mana masing-masing penggembira yang hendak berkampanye memang berniat melakukan penjarahan, perusakan, penganiayaan? Banyak yang menganggap bahwa opini demikian terlalu general, picik. Tapi seandainya kita mau menengok ke luar rumah di hampir setiap ujung gang, warung, pojokan jalan, bisa kita temui tongkrongan-tongkrongan anak muda. Sebagian besar dari mereka sudah salah menilai kegagahan dengan kemampuan untuk melukai musuhnya, keberanian merusak lingkungannya, dan sebagainya.

Seberapa dalamkah luka yang diderita masyarakat akibat move dan manuver politik akhir-akhir ini? Kita sudah selayaknya hidup bebas dari tekanan dan ketakutan. Adalah hak kita untuk tidak takut dengan kebrutalan massa kampanye. Namun pada kenyataannya kita harus mempersiapkan diri untuk selalu pasrah pada pergulatan eli-elit kekuasaan. Sebenarnya GOLKAR, PDI PPP, mereka semua itu kecil. Masyarakat adalah pemilik sah negara ini. Seharusnya kitalah yang berada di atas mereka semua karena kita ini besar, kita kuat. Single majority jangan diartikan sebagai betapa kuatnya pengaruh GOLKAR di masyarakat. Tapi betapa kuatnya masyarakat yang mampu mengangkat GOLKAR hingga seperti sekarang. Walaupun harus dengan banyak tekanan. Para orator kekuasaan, menurut Plato, hanyalah pemberi racun yang akhirnya membunuh demokrasi sendiri. Sebab sering yang diumbar adalah kebanggan massa ataupun prasangka-prasangka mereka, bukan pikiran tenang yang bijaksana.

Selama ini timbul sebuah vested interest bahwa masyarakat mengikuti OPP yang akan dipilih. Padahal sebenarnya OPP lah yang mengikuti masyarakat. Tanpa suara kita bagaimana mereka akan sukses? Selama ini kita hanya dianggap sebagai potential market bagi perolehan suara. Tidak lebih dari itu !! Manfaat yang kita terima tidak lebih dari tontonan-tontonan gratis selama kampanye. Setelah itu para Calon Legislatif yang terpilih, menjadi wakil partai, bukan wakil rakyat. Walaupun kitalah yang menyebabkan dia duduk dengan anggun di kursi legislatifnya. Kalaupun dia berani mengangkat kehendak rakyat dia direcall, dipecat. Demokrat jauh lebih rusuh daripada di Indonesia. Debat Umum kedua partai seringkali berlangsung panas dan frontal. Tidak ada ampun, yang kalah harus rela terinjak-injak. Tapi begitu dia terpilih sebagai Congressman atau Senator dia meletakkan diri sebagai wakil daerahnya. Statusnya sebagai anggota partai hanya terbatas pada kesamaan ide. Bukan lagi dalam tindakan. Ironinya setiap terjadi intrik-intrik politik yang melahirkan konflik baik fisik maupun tidak, rakyatlah yang menjadi korbannya. Rakyat akan selalu menjadi korban Bagaimana mungkin rakyat bisa menang. n

Kukusan, Pasca Pemilu 1997
Si Unyil dan kawan-kawan dari New Zealand.
(Nama asli diketahui redaksi).


Kembali ke Daftar Isi