DEMOKRASI, PEMILU DAN KEYAKINAN KITA: SEBUAH PERTANYAAN LAIN

Oleh:  Robert B. Baowollo

University of Hamburg, Germany.

Keluar dari Rimba Teori

Demokrasi itu sesuatu yang berwajah majemuk. Karena itu terminologi demokrasi versi buku teks akan sangat mengambang, tidak mendarat, tidak akur dengan demokrsi sebagai sebuah praksis yang terkait dengan ruang dan waktu, sebagai karakteristika, watak sekaligus jiwa yang determinan dalam ritual tata-bermasyarakat. Kita bisa mengabaikan mimpi Plato tentang konsep negara republic dan demokrasinya, karena negara seperti itu cukup menyengsarakan para praktisi ekonomi, konglomerat, tentara, pengatur irigasi, pemungut pajak dan tentu saja peternak ayam bekisar karena para pemimpin dalam konsep Plato adalah seniman, filsuf dan sejenisnya - yang dunia dan rumahnya berada di atas awan, bukan di Jalan Sudirman atau Thamrin atau Kali Malang. Tetapi ada suatu pertanyaan yangmengusik: kalau konsep demokrasi itu sendiri "bermetamorphose" dari jaman ke jaman, dari sistem ke sistem, dari regim ke rejim - perobahan mana tidak saja menjelaskan suatu evolusi konsep tetapi juga realitas sosial yang dihasilkannya, -- mengapa kita tidak mempertanyakan hal yang sama pada konteks Indnesia?

Ketika menelusuri genesis demokrasi dan praksis pemerintahan, orang mula-mula menemukan tokoh Pericles yang menyebut orang-orang Athena sebagai suatu demokrasi karena "its administration favours the many instead of the few", maka debat tentang "the many" dan "the few" menjadi substansi debat demokrasi yang terwaris, yang oleh J. S. Mill diterjemahkan menjadi "the government of the whole people by the whole people" - suatu ide yang menjadi biangkeladi paham mayoritas atau mayoritas tunggal dewasa ini. Paham mayoritas ini kini menggiring diskusi lanjutan pada pertanyaan makna kuantitatif dari "banyak", "terbanyak", mayoritas: apakah banyak atau terbanyak itu berarti lebih dari sedikit atau semuanya, atau mendekati semuanya - kejelasan mana kelak akan menunjukkan, apakah suatu pemerintahan bersifat oligarsi, aristokrasi, atau demokrasi.

Pemikir-pemikir demokrasi dan tatanegara sering mengemukakan pendapat yang bertentangan satu sama lain. Plato sendiri, misalnya, dalam Stateman, mengklaim bahwa demokrasi itu mempunyai makna ganda: "ruling with law or without law". Karena Plato melihat bahwa demokrasi itu "in every respect weak and unable to do either any great good or any great devil" maka ia berkesimpulan, bahwa demokrasi itu adalah "the worst of all lawfull governments, and the best of all lawless ones". Artinya pemerintahan oleh mayoritas sama sekali tidak efisien baik bagi kebaikan maupun kejahatan. Sebaliknya, Plato sendiri juga dalam The Republic, menempatkan demokrasi berhadapan dengan tyrani. Dasar pemikirannya, adalah bahwa "the excessive increase of anything often causes a reaction in the opposite direction", dan tirani itu "arise naturally out of democracy, and the most aggravated form of tyranny and slavery out of the most extreme form of liberty". Sementara itu Aristoteles, di dalam The Politics, menyebut demokrasi sebagai salah satu bentuk pemerintahan yang the most tolerable di samping oligarsi yang menurutnya hanya sedikit lebih baik dari tyrani. Aristoteles lebih memusatkan diri pada demokrasi dan oligarsi. Dalam pandangannya, "they are equal and opposite in their injustice, dan bagi dia, both seem capable of degenerating into despotism and tyranny". Perbedaan dan pertentangan ini terbawa-bawa kemudian pada generasi Hobbes, Locke, Rousseau, Machieavelli, Montesquieu dan Kant - sekalipun mereka pada dasarnya mengklasifikasi pemerintahan dalam model yang hampir sama.

Bagi Hobbes, "when the representative is one man, then is the commonwealth a monarchy; when an assembly of all that will come together, then it is a democracy, or popular commonwealth; when an assembly of a part only, then it is called an aristocracy." Sekalipun Hobbes lebih cenderung kepada monarki sementara Montesquieu kepada aristokrasi atau demokrasi, keduanya tidak memilih salah satu dari ketiga bentuk pemerintahan itu sebagai teori politik mereka. Bagi mereka, jauh lebih penting adalah alternativ dalam memilih: Hobbes memilih di antara pemerintahan yang absolut dan yang terbatas; bagi Montesquieu dan Locke, antara negara hukum dan negara despotisme, semantara bagi Kant dan Rousseau antara suatu republik dan monarki.

Jika Mill kemudian menyatakan, bahwa "the iddeally best form of government ist that in which the sovereignty, or suppreme controling power in the last resort, is vested in the entire aggregate of the community, every citizen not only having a voice in the exercise of that ultimate sovereignty, but being, at least occasionally, called on to take an actual part in the government, by the personal discharge of some public function, local or general", ternyata pernyataannya itu dipengaruhi oleh Tocquevilles (Democracy in America), yang lebih menekankan equality dari pada liberty - berdasarkan pengalaman pribadi hidup di Amerka. (Suatu kajian lebih lanjut mengenai paham kebebasan dan persamaan hak bagi semua, semua orang - kajian mana akan membawa kita kepada pertanyaan "siapa mewakili siapa" dalam diskursus pemilihan umum "siapa memilih siapa" - akan dibahas di tempat lain. Penulis membatasi diri pada diskusi dasar sebagai titik tolak membahas judul di atas).

Demokrasi Timur dan Barat = Salah Kaprah

Studi petualangan paham demokrasi dalam berbagai bentuk pemerintahan dan jaman tidak hanya menjawab kepuasan petualangan ilmu pengetahuan, tetapi terutama menolong memeriksa, atau setidak-tidaknya membangun kesadaran sejarah kita, bahwa atas masalah yang sama, dalam hal ini konsep dan praksis demokrasi, terdapat perbedaan dan perkembangan makna yang berimpliksi pada praksis dengan subyek, ruang waktu, tempat dan pengalaman sejarah sebagai determinannya. Secara konkrit, pertanyaan kita dapat berbunyi: masih samakah paham demokrasi dan negara republik di kepala Sukarno, Hatta, Syahrir, Leimena, dan lain-lain tokoh peletak dasar republik Indonesia, ketika mereka menggeluti buku teks tata negara dan keadaran global akan makna menjadi orang merdeka dan orang terjajah - dengan definisi demokrasi dan praksis negara demokrasi kita hari ini? Kalau tidak sama lagi, maka apa saja yang berobah? Faktor-faktor determinan mana yang menjadi "perintis" reformasi makna beserta deviasinya?

Konsep demokrasi modern di Barat, terutama sejak akhir Perang Dunia Pertama, walaupun menolak mimpi Plato ternyata mencuri suatu hal yang sangat hakiki, yang sangat fundamental dari "kegilaan” Plato itu, yaitu petualangan rasionalitas untuk menguji setiap keputusan untuk menjadi kebenaran dan menguji kebenaran itu menjadi norma dan aturan main yang diberlakukan di dalam masyarakat. Tentu saja Plato mempunyai anggapan bahwa para seniman dan filsuf itu tidak mempunyai interese politik, ekonomi dan sosial selain memikirkan jalannya sebuah republik yang pada intinya adalah mengatur res publica. Plato menawarkan sebuah seni memimpin.

Demokrasi sebagai sebuah praksis penataan sosial tidak bisa dan tak boleh dipisahkn dari karakteristika, watak dan tradisi-tradisi teruji yang dianut oleh suatu demos (rakyat, kelompok masyarakat) tertentu, dengan norma dan batas-batas toleransi bias yang diterima dalam menjalankan kratos (kekuasaan) itu. Jika pernyataan ini diterima maka secara epistemologis harus diterima pula bahwa praksis sebuah demokrasi akan menggambarkan siapa, seperti apa, karakter macam apa masyarakat, kelompok manusia, bahkan individu pemegang kekuasaan yang menjalankan praksis demokrasi itu.

Demokrasi di Barat (di Indonesia selalu disebut demokrasi Barat, seolah-olah ada "Demokrasi Barat" dan "Demokrasi Timur") terlanjur kita beri label demorkasi liberal sekaligus memberikan muatan (baca: konotasi) negatip dengan memasang rambu-rambu tata krama untuk memberi watak humanis , watak budaya, watak teposeliro, watak toleransi, watak sosial - atau singkatnya jiwa Pancasila pada demokrasi kita - sehingga sempurnalah penolakan kita terhadap "demokrasi Barat" yang, sialnya, sudah melekat dengan label dikotomis Timur-Barat tadi. Jargon politik yang kemudian karena latah menjadi jargon budaya, yang mengatakan bahwa semua yang dari Barat itu jelek, sesat, tidak berbudaya, tidak bermoral, tidak teposeliro, dll. dan hanya budaya kita sajalah yang paling baik bukan saja sebagai sifat parochialism yang eksklusif dan tidak menolong proses belajar dalam mendewasakan bangsa, tetapi juga mempersempit wawasan hidup bermasyarakat dalam pergaulan antar bangsa.

"Demokrasi Barat" yang dalam ukuran budaya sopan-santun kita dianggap vulgar itu ternyata menawarkan setidak-tidaknya dua hal yang patut disimak: pertama, sikap dan iklim egalitarian dalam bermasyarakat memberi ruang dan kesempatan kepada siapa saja untuk menyatakan sikap dan pendapatnya sejauh masalah yang hendak digugatnya itu benar-benar menyangkut eksistensinya dalam komunitas masyarakat, dan masyarakat itu sendiri, di mana ia masuk, ia berada, dan menjadi miliknya. Kedua, adanya penghargaan atas perbedaan pendapat yang didasarkan pada keyakinan bahwa setiap perbedaan pendapat dalam masyarakat akan melahirkan proses uji kritis atas masalah itu sendiri karena dianggap sebagai res publica, dan orang akan keluar dari debat dan konflik res publica itu dengan membawa hasil yang terbaik, yang teruji, demi kepentingan semua pihak. Kedua alasan di atas, sama juga seperti pada demokrasi Pancasila, demokrasi terpimpin, bahkan monarchi sekalipun -- sama-sama bermuara pada upaya mencapai dan menjamin kepentingan semua warga (bonum communae). Sampai di sini mungkin orang akan mengatakan: "kan semuanya bermaksud sama. Jadi pada prinsipnya semuanya benar, dll. Cuma ………..” Nah, cuma-nya inilah yang menunjukkan bahwa ternyata persoalannya tidak sama!! Karena itu perlu dicermati dengan kacamata yang tidak harus sama. Untuk itu John Dewey dalam pemikirannya tentang Pendidikan Demokrasi selalu menekankan bahwa setiap pernyataan kebenaran selalu mempunyai konsekuensi praktis untuk diuji kembali, sampai dimana klaim kebenaran itu valid.

Demokrasi Pancasila yang berpegang pada azas musyawarah dan mufakat mengalami metamorphose dalam paham demokrasi konsensus. Demokrasi konsensus mengandaikan bahwa para pelaku sistem kemasyarakatan percaya, bahwa pernyataan kebenaran itu hanya mempunyai makna legitimasi kalau itu bisa menjamin keutuhan komunitas. Dalam praksis, azas legalitas bisa dikalahkan demi bonum communae tadi. Idealnya azas legal dan legitim harus ada dalam sebuah produk konsensus demokrasi - tetapi, sekali lagi, konsensus rational seperti itu hanya mungkin ada pada gugus pelaku demokrasi yang bebas interese pribadi dan kelompok. Orang mau mengatakan, apa artinya suatu konsep kebenaran yang brilliant tetapi karena kondisi objektiv komunitas belum siap menerima filosofi itu lalu mereka jadi berantakan (misalnya bukan mempersoalkan apa isi dan tujuan konsep tetapi siapa pemilik konsep itu!). Karena itu suatu kebenaran objektiv tidak mempunyai makna apa-apa dan bukanlah segala-galanya. Mahasiswa yang pintar bisa dianggap ancaman oleh dosennya. Mahasiswa kritis dinilai berbahaya bagi status quo. Masyarakat kritis cepat kena cap oposisi bahkan dianggap (baca: didaftarkan sebagai) anti pemerintah. Dalam diskursus ambiguit seperti ini Demokrasi Pancasila sebagai Demokrasi Konsensus harus mampu dan tetap mampu merujuk pada konsensus yang takut akan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya konsensus yang biasanya sarat konsesi harus pula mencerminkan moral orang beriman. Demokrasi Pancasila sebagai Demokrasi Konsensus harus memampu dan tetap mampu menjaga azas kesamaan derajat lebih dari sekedar sebuah sikap hormat tetapi panggilan nurani berperikemanusiaan yang berkeadilan dan keberadaban. Demokrasi Konsensus yang selalu takut akan Tuhan Yang Maha Esa, yang tak berani menyakiti sesama, bukan karena rasa belas kasihan tetapi karena sikap hormat atas otonomi Allah terhadap makhluk ciptaanNya dan sikap menghormati suara hati nurani yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan - keduanya akan sangat mampu menjadi Daya Ikat konsensus itu sendiri: artinya di sana persatuan nasional itu memperoleh basis, tiang, tembok dan atap yang paling tahan uji. "Hanya” dengan demikian, kewajiban memajukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mempunyai legitimasi kodrati.

Sampai di sini mungkin kita perlu sejenak mencoba membangun hipotesis, apakah ada kaitan antara paham demokrasi kita di atas dengan realitas dikalahkannya kebenaran-kebenaran obyektiv yang telanjang? Katakanlah, untuk menghindari preseden hukum yang lebih gila dengan konsekuensi bukan saja finansial yang jumlahnya milyaran, tetapi juga "wibawa” sebuah peradilan (baca: kekuasaan) yang tidak boleh dan tidak bisa bersalah, maka petani Kedungombo atau pasangan Ohe dari Irian, TEMPO, atau siapapun yang berhadapan dengan kekuasaan - akan dikalahkan, sebab negara (jangan dicampur-adukkan dengan paham pemerintah atau penguasa!) itu sesuatu yang sakral, yang tidak boleh cacat, sesuatu yang metafisis. Kalau memang demikian maka kesalahan pertama justru terletak pada anggapan bahwa pemerintah itu sama dengan negara, sebab yang sakral, yang metafisis itu adalah negara, bukan rejim yang berkuasa. Rejim dalam mengatur roda pemerintahan harus selalu bercermin pada bangsa sebagai jiwa. Bangsa itu lebih tua dari negara, bangsa dan negara itu lebih tua dari rejim pemerintahan. Dan bangsa itu tidak dibentuk oleh negara atau oleh pemerintahan, tetapi justru sebaliknya! Karena itu kedaulatan hukum, kedaulatan ekonomi, kedaulatan sosial, kedaulatan budaya, kedaulatan politik, dan singkatnya kedaulatan menjadi manusia tidak membutuhkan legitimasi dan legalisasi kekuasaan negara, karena kedaulatan bangsa dan negara itu sesuatu yang adikodrati, sesuatu yang diterima oleh masing-masing manusia mulai dari individu, kemudian membentuk suatu komunitas yang bernama bangsa. Pemegang kekuasaan-lah yang seharusnya selalu bertanya kepada pemberi legitimasi dan legalisasi kekuasaan, untuk apa dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan - dan tentu saja bukan sebaliknya. Dalam paham seperti inilah kita lalu mengatakan bahwa penguasa tidak mempunyai wewenang apa pun untuk mengekslusifkan seseorang dari tatanan sosial hidup berbangsa dan bernegara, karena sahnya seseorang berada dan menjadi anggota masyarakat bangsa itu bukan dihadiahkan oleh negara atau pemerintah tetapi sudah melekat pada dirinya sendiri sejak ia bernama bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain dalam arus berpikir yang sama, suara yang menghendaki demokrasi, yang menghendaki perbaikan tata kehidupan bermasyarakat dalam bentuk penghentian praktek kekuasaan yang sewenang-wenang, sama legal dan legitimnya seperti suara imam terhadap jemaatnya, baik di masjid maupun digereja atau pura, karena mereka semua merasa bertanggungjawab kepada Yang Memberi Kehidupan.

Mengharapkan mekanisme uji kritis rasional dalam proses demokrasi dengan memberi kesempatan uji objektivitas tentu bukanlah alamat yang tepat jika kita berbicara dalam kerangka demokrasi Pancasila, karena demokrasi Pancasila mempunyai aturan main lain. Lalu apa yang kita harapkan dari demokrasi Pancasila kalau konsensus kita sarat konsesi yang berjalan di luar alur demokrasi resmi? Dalam situasi seperti itu humor politik mengenai demokrasi kita sebagai kemufakatan yang dimusyawarahkan tidak lagi sekedar lucu tetapi terasa getir, sebab, pertama, setiap konsesi - secara alamiah - akan melahirkan konsesi-konsesi baru untuk paling tidak menjamin konsesi yang lama, dan akibatnya, karena berjalan di luar jalur demokrasi resmi, akan membuka peluang bagi bias-bias idealisme. Ingat paham konfusianism yang mengatakan: orang kecil menutup utang-utang kecilnya di bawah tikar karena ia menganggap utang (baca: kesalahan) kecil itu tidak apa-apa - sampai pada suatu ketika utang-utang kecilnnya itu menjadi sebegitu banyaknya sehingga ia sendiri tidak mampu membayarnya. Dalam paham seperti ini, tujuan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur tidak lagi merupakan sebuah titik acu tetapi lebih merupakan sebuah horizon dengan jarak rentang kedua titik garis yang tidak berhingga, bisa sangat luas, bisa sangat sempit - tergantung besarnya indeks bias yang selalu ditolerir. Orientasi kita selalu titik terdekat. Makin semakin besar sudut biasnya semakin besar pula social and political cost yang harus dibayar. Kedua, tidak ada jaminan bahwa konsesi-konsesi yang terjadi di luar jalur resmi itu tidak dilanggar, terutama karena pragmatisme dan sistem politik itu sendiri, dan jika ada pelanggaran tak ada jaminan dapat digiring masuk ke dalam forum resmi untuk dibuktikan. Ketiga, kita lalu bertanya, apa artinya menang pemilihan umum formal jika sistem yang terjadi itu lebih banyak di luar sistem yang formal? Apalagi, bukankah kemenangan PPP di DKI dan DI Aceh tidak punya makna politik apa-apa karena toh kekuasaan tetap diborong Golkar yang minoritas di wilayah-wilayah tersebut?

Sarat minimal musyawarah untuk mufakat

Jadi apa yang kita yakini mengenai demokrasi dan pemilihan umum yang kita jalankan? Apakah keduanya mempunyai hubungan, misalnya, karena kita yakin bahwa dalam kerangka kultur politik kita, kita berpegang pada azas musyawarah untuk mufakat, maka wakil rakyat juga harus punya kualifikasi bernegosiasi khas musyawarah dan mufakat dan mengakar di masyarakat? Tetapi bukankah musyawarah dan mufakat itu punya obyek, punya materi, punya substansi? Artinya musyawarah dan mufakat itu bukanlah suatu ritual basa-basi karena apapun yang dimusyawarahkan dan disepakati mempunyai tuntutan minimal pengetahuan, jika mungkin tingkat penguasaan materi yang dimusyawarahkan. Bukankah orang yang tidak menguasai masalah mudah dikooptasi dalam debat yang paling sederhana sekalipun, misalnya dengan menyodorkan angka-angka statistik sebagai dasar argumentasi, -- angka-angka mana hanya dimengerti oleh yang menyodorkannya? Mujizat memang bisa terjadi, misalnya, ketika para ulama yang sehari-hari menekuni masalah hubungan manusia dengan Tuhan (dalam pengertian yang sangat luas) atau memikirkan isi khutbah jumat di sebuah mesjid di kampung dengan jemaat yang sangat sederhana dan polos, tiba-tiba harus memberi fatwa bahwa nuklir itu tidak bertentangan dengan akidah. Atau para rohaniwan yang sehari-hari "bertugas” menjaga moral umatnya tiba-tiba dipanggil untuk ditatar menjadi jurkam sadar wisata karena pemerintah tiba-tiba melihat celah terobosan memanfaatkan wibawa pimpinan agama untuk sosialisasi gagasan politik dan ide pembangunan.

Jadi dimana letak permasalahnnya? Elemen dasar dari setiap diskursus demokrasi adalah suara. Di samping kenyataan bahwa banyak orang tidak punya suara lagi, hal mempunyai suara itu sendiri jika memang eksis, belum berarti dijamin suara itu mempunyai arti, sebab suara telah dianggap sebagai atribut demokrasi: "yang penting sudah ikut memilih; apakah suara itu mempunyai nilai tanggung jawab - itu adalah persoalan lain lagi!”. Padahal, dalam komunitas paling kecil sekalipun, orang bersedia menerima sebuah keputusan pertama-tama karena ia telah ikut bersuara dalam pengambilan keputusan itu (terlepas dari apakah ia setuju atau tidak). Hal didengarkan ini menjadi begitu penting, karena setiap individu dalam komunitas merasa pernah ditanyai pendapatnya, dan karena itu tahu apa yang diputuskan. Dalam terminologi yang lebih populis, setiap individu merasa diorangkan dalam proses pengambilan keputusan publik. Rasa tidak puas dan berakhir dengan penolakan justru berasal dari rasa tidak diorangkan itu. Di sinilah letak kekuatan sekaligus kelemahan demokrasi konsensus: ia kuat karena menyentuh azas legitim, tetapi di sisi lain ia rawan peluang manipulasi, kooptasi, penjinakan, kolusi dan sejenisnya yang membuat keputusan itu hanya mampu menyentuh azas legalitas formal yang berarti menjauhi azas legitim yang diinginkan. Boleh orang ber-adagio bahwa suara rakyat itu adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei) tetapi mungkinkah dalam praksis demokrasi konsensus suara rakyat bisa menjadi hukum tertinggi (vox populi suprema lex)? Jawabannya adalah TIDAK ketika para penguasa mulai membenarkan diri dengan berargumentasi bahwa rakyat sudah terwakili oleh wakil-wakilnya di lembaga legislatif, karena persoalan wakil dan perwakilan adalah soal mekanisme, soal teknis, sementara suara rakyat sebagai vox Dei dan suprema lex tidak dapat diredusir menjadi sebuah urusan teknis! Tetapi kalau ada seseorang yang berani menepuk dada sebagai wakil rakyat yang sekaligus pemegang mandat amanat rakyat yang adalah suara Tuhan (pemegang basis legitimasi) - kemudian berkolusi dengan penguasa (juga pengusaha, seperti dalam kasus upaya meloloskan produk undang-undang tertentu) demi kelanggengan kursinya - berani membelakangi rakyat, itu bukan suatu kemungkinan yang tidak mungkin, karena ia naik berdasarkan angka kursi, bukan karena ia memiliki sebuah hati sebagai wadah menampung dan meneruskan suara mereka yang mempunyai suara tetapi tidak bisa bersuara.

Kita lalu merasa sedih melihat mekanisme menuju pemilihan umum menjadi mekanisme dagang sapi: organisasi-organisasi dan anak organisasi mereka sibuk (termasuk memakai calo-calo kursi) memasukkan kader-kader mereka menjadi calon legislatif. Masyarakat yang memilih tidak tahu sama sekali siapa orang yang mau merek jadikan wakil mereka. Dewan Perwakilan Rakyat tidak lebih dari dewan perwakilan ormas. Kenyataan ini menjadi lebih menjauhkan rakyat dari kedaulatannya ketika di parlamen suara perorangan sudah tak ada: yang ada adalah suara fraksi - sehingga dewan perwakilan organisasi tadi menjadi dewan perwakilan fraksi. Haruskah rakyat datang ke Senayan meminta suaranya didengar oleh wakilnya? Jadi wakil rakyat telah menjadi perantara rakyat dengan kedaulatannya (bukan saja dengan pemerintah!).

Dewasa ini, diam-diam masuklah sebuah elemen baru, "makhluk” baru yang namanya knowledge ke dalam diskursus demokrasi kita: knowledge is power. Knowledge itu bisa ramah, bisa marah, bisa lagak, bisa galak. Sifat dan nalurinya jelas. Sebagai ilmu pengetahuan, di belahan bumi manapun dan di jenjang pendidikan apapun sifat dasar ilmu pengetahuan itu sama: siap diuji kembali validitas kebenarannya. Jadi diam-diam kita sedang menempuh jalan lingkar dari bentuk penolakan mutlak terhadap demokrasi liberal yang bernuansa ideologis, menuju pemanfaatan kekuatan rasionalisme untuk mencapai tujuan. Bagus kalau para pengambil keputusan di bidang eksekutip, yudikatip dan legislatif sama-sama memiliki bargaining power yang berimbang dalam hal pengambilan keputusan. Celaka kalau posisi itu tidak berimbang atau sangat tidak berimbang: yang satu akan mudah memanipulasi yang lain!

Sampai di sini kita masih berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan masa kini yang sangat biasa. Ritual mengkambing-hitamkan demokrasi barat juga sudah lumrah. Yang jarang, atau tidak pernah dipertanyakan adalah apakah konsep demokrasi yang kita terima, kita pahami, kita anut dan kita bahas di sini dengan merujuk kepada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan praksis pemerintahan serta kehidupan hari ini masih sama dengan konsep demokrasi dan format politik dulu yang ada dan bergema di kepala para founding fathers bangsa ini? Bagaimana konsep demokrasi di kepala seorang Soekarno, Hatta, Sjahrir dulu? Tantangan apa yang mendorong mereka untuk menuntut demokrasi dan sebuah negara berdaulat? Pengalaman sejarah apa yang membuka wawasan dan kesadaran global mereka untuk mengambil kesimpulan bahwa ternyata rakyat itu mempunyai bargaining position yang teramat-sangat penting dan menentukan dalam proses pengakuan legitimasi suatu kekuasaan. Jatuh-bangunnya perjalanan demokrasi di Barat akhirnya sampai pada suatu kesadaran baru untuk mempertanyakan untuk apa menganut sistem demokrasi. Soekarno, Hatta, Sjahrir dll. dulu juga belajar dari jatuh-bangunnya manusia Indonesia yang merasa terhina hanya menjadi manusia jajahan dan ingin tampil sebagai manusia merdeka, egaliter dengan siapapun juga dalam situasi apapun juga, mempunyai harga diri dan berdaulat. Setelah lima puluh tahun merdeka, setelah Soekarno, Hatta, Syahrir dll "jatuh” dan pergi satu persatu, setelah kita mendalami pesan dari isi kandungan filosofi bangsa Pancasila, setelah melaksanakan penataran P4, setelah semuanya itu ………….. apakah rakyat kita sudah lebih berdaulat (daulat ekonomi, daulat sosial, daulat politik)? Sebuah studi genesis demokrasi di Indonesia bisa menjadi sangat menarik, setidak-tidaknya untuk menempatkan kembali kepedulian para penggagas republik ini pada posisi yang terhormat. Mereka boleh pergi dan mati satu persatu, tetapi kepedulian mereka masih tetap relevan. Siapa tahu kita semakin jauh dari cita-cita demokrasi dulu agar semua manusia Indonesia berdaulat di negerinya sendiri. Atau ada pertanyaan lain, misalnya, apakah kita sekedar berganti tuan, dari penjajahan oleh bangsa lain ke penjajahan oleh bangsa sendiri? Jawabannya bukanlah walahu alam!


Kembali ke Daftar Isi