MEMBANGUN ORGANISASI RAKYAT SEBAGAI ALAT PERJUANGAN RAKYAT MERUBAH NASIBNYA SENDIRI
Pergilah ke rakyat, tinggallah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dengan yang mereka tahu, bangunlah dengan yang mereka miliki.
Namun pemimpin yang baik, ketika kerja telah terselesaikan dan tugas telah dilaksanakan rakyat akan berkata: "kamilah yang mengerjakannya" (LAO TSE)
Realitas kondisi obyektif dalam negeri yang kita hadapi secara makro menggambarkan:
1. Sektor negara yang sangat dominan; yang ditandai praktek serba negara (estatisme), korporatis negara berhasil mengalienasi rakyat dari masalah dan proses politik, dan terjadi pemusatan kekuatan politik pada personalisasi kekuasaan (personalization of power).
2. Sektor bisnis yang kuat (powerful); yang ditandai dengan pemusatan kapital di lingkaran kekuasaan, dan distorsi perekonomian oleh kolusi pemodal dengan birokrasi (economic-birocratic rent)
3. Sektor rakyat yang lemah (powerless); diakibatkan oleh kebijakan politik represif yang menghilangkan hak dan partisipasi rakyat dalam masalah dan proses politik (depolitisasi) dengan hukum dipergunakan sebagai alat rekayasa mempertahankan kekuasaan sebagaimana terlihat dari tetap dipergunakannya undang-undang anti subversif, dipertahankannya "paket lima undang-undang politik", diterapkannya lembaga ijin,dan dikebirinya hak berserikat semakin memperlemah kontrol rakyat terhadap jalannya mekanisme pemerintahan. Akibat langsung kesadaran kritis rakyat semakin menipis dan cenderung mengembangkansikap apolitis.
Kondisi obyektif diatas mendudukkan rakyat dalam posisi yang berhadapan secara diametral dengan pusat-pusat kekuasaan ekonomi dan politik lokal,regional, nasional, bahkan transnasional yang jauh lebih kuat, lebih terorganisir , sistematis, dan dengan sumber daya dan sumber dana jauh lebih besar serta teknologi lebih canggih. Kontradiksi yang menyertai 2 polar tersebut menimbulkan situasi terjadinya penindasan dan ketertindasan di sisi-sisinya. Realitas yang menindas mengakibatkan adanya kontradiksi dalam manusia sebagai penindas dan yang tertindas. Penindasan tidak saja berlangsung dalam hubungan perilaku antar manusia namun ia mengkooptasi, menghegemoni kesadaran alam pikiran kaum tertindas. Dan, realitas penindasan itu dapat memukau mereka yang didalamnya. Situasi penindasan itu membawa implikasi dehumanisasi; suatu tatanan yang tidak adil, melahirkan kekejaman pada kaum penindas yang menegasikan aspek-aspek etika, estetika, dan religius. Kondisi ini, pada akhirnya hanya memberikan satu peluang kepada rakyat yang tertindas untuk memperkuat diri (empowerment) dan mengembangkan penyadaran (conscientization) dari situasi subyek menjadi obyek, yang mampu menyadarkan manusia akan keberadaan dirinya dalam realitasnya untuk mengubah dunia. Perjuangan untuk membebaskan dimulai dari kesadaran naif menuju kesadaran transitif-kritis bahwa kekuasaan penindas yang membentuk rakyat menjadi apatis. Rakyak telah dihancurkan dengan propaganda, manajemen, manipulasi, dan segala alat dominasi sehingga tercipta gambaran yang sebenarnya ditiupkan oleh elit penguasa, yang karena manipulasi tersebut rakyat benar-benar percaya bahwa mereka memang demikian. Mayoritas rakyat dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam situasi kebudayaan bisu (silence culture). Powerless rakyat memang dibuat untuk mempertahankan status quo, agar hegemoni kekuasaan tetap berlangsung.
Obyektif tersebut memperlihatkan peta kekuatan politik di Indonesia secara dikotomis pergulatan antara kekuatan kemapanan (status quo) anti demokrasi dan kekuatan pro demokrasi yang menginginkan perubahan, dimana kekuatan yang mempertahankan status quo masih terlalu kuat dan kekuatan-kekuatan yang menghendaki perubahan masih lemah meskipun terus berkembang.
Empowerment membuka peluang untuk menjadi sebuah kekuatan yang pejal, solid, centrifugal apabila berakar pada situasi struktural masyarakat yang ada dan sebagai sebuah interest group yang mempunyai visi (cita-cita) bersama sebagai landasan (platform) untuk ikatan pemersatu, tujuan yang jelas sebagai alat merespon reaksi-reaksi yang terjadi, pilihan dan pengembangan taktik dan strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Yang terutama adalah keharusan menjadi sebuah pertubuhan (organisasi) sebagai kerangka mewadahi dari interest kepedulian yang diperjuangkan. Keharusan untuk memakai (lebih tepatnya: mengadopsi !) sebentuk tata nilai etik, estetik, moral; ideologi dan strategi kegiatan bagi suatu organisasi movement merupakan kewajiban dam juga hak. Pemilihan itu menjadi motor penggerak gerakan sekaligus sebagai matra concern dan comitted perjuangan dan keberpihakan. Bagaimanapun pilihan-pilihan penerapan tata nilai, ideologi dan strategi kegiatan membawa konsekwensi pada perilaku (personal maupun lembaga) dan metode yang akan dilakukan.
Pilihan-pilihan yang bersifat ideologis dan etis, yaitu:
a. Pilihan ideologi pembangunan/ekonomi/politik
- kapitalistik >< sosialistik
- mekanisme pasar >< kontrol pembangunan dan masyarakat lokal
- top down, trickle down >< bottom up atau people centre perspective
- homogen >< pluralistik
- negara kesatuan >< negara federalis, negara serikat
- memilih tanda gambar partai >< pemilu sistim distrik atau memilih person >< golput
- kemakmuran rakyat tanpa demokrasi >< demokrasi ekonomi dan politik
- good and clean government tanpa demokrasi >< demokrasi
b. Pilihan strategi advokasi
- diluar struktur >< didalam struktur
- kooptasi (bekerja sama) >< isolasi (pemurnian diri)
- struktural >< kultural
- konservatif >< reformis >< radikal
- menggalang opini internasional >< penyadaran dalam negeri
Dari titik inilah, terwujud kekuatan rakyat didalam organisasi yang dibentuk sendiri secara bebas memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat. Organisasi harus mengartikulasikan kepentingan rakyat dan mengambil posisi untuk mengefektifkan kontrol rakyat. Sebuah gerakan (movement) dapat dimulai, bertumpu pada kekuatan rakyat yang memang merupakan sumber kekuatan, utamanya bertujuan pengembangan demokratisasi. Gerakan tidak hanya bertujuan untuk menonjolkan fungsi advokasi atau mempengaruhi kebijakan politik pengambil keputusan (counter policy) dalam kegiatan empowering rakyat. Yang lebih strategis, gerakan harus menjadi alternatif dari sebuah sistem dan struktur yang ada dan berani melakukan counter hegemoni terhadap ideologi dominan, counter culture pada struktur sosial yang dipenetrasikan oleh kekuasaan yang menindas, counter discourse terhadap paradigma developmentalisme, dan berani mendekonstruksikan paradigma modernisme dengan mengembangkan paradigma alternatif yang membebaskan; paradigma emancipatoris, pembebasan manusia dari struktur yang membelenggu dan menindas.
Suatu upaya yang hanya menempatkan kegiatan advokasi untuk tujuan mempengaruhi kebijakan sebagai ujung tombak aksinya (action), dalam prakteknya tidak cukup efektif. Kegiatan model ini cenderung memunculkan disparitas rakyat yang tertindas support sistemnya (pendukung aksi), dan mengeliminir posisi kasus dengan strategi yang hendak dijalankan. Agar tidak terjebak pada kegiatan insidental belaka atau retorik- verbalisme dan aktivisme, fungsi advokasi sekaligus melakukan transformasi sosial dengan melakukan penyadaran ke rakyat yang tertindas dan penyebaran penyadaran ke masyarakat lainnya. Tujuannya untuk menggalang opini publik, membentuk pendapat umum, penggalangan basis gerakan pada kelompok-kelompok strategis sampai ke lapisan rakyat grassroot, perluasan jaringan kerja dan informasi dengan organisasi-organisasi sevisi lainnya dengan jalan aliansi atau koalisi (membentuk networking dan linkage).
Definisi advokasi sendiri secara textbook adalah pembelaan dan dukungan terhadap rakyat dalam sebuah kapasitas suatu sistem. Dalam perkembangannya definisi advokasi mengalami perluasan arti sejalan dengan perkembangan ideologi terutama sebagai anti-thesa terhadap impact penerapan modernisme. Advokasi dapat juga berarti upaya pembelaan atau dukungan terhadap rakyat tertindas terutama berkaitan dengan sistem ekonomi dan politik. Dapat juga diartikan pembelaan terhadap rakyat dari penindasan hak-haknya untuk lebih memberdayakan rakyat. Orientasi advokasi adalah perubahan keadaan kearah yang lebih baik, menguntungkan dan memperkuat peran dan posisi rakyat. Upaya advokasi harus diarahkan pada hal-hal:
1. Pada tingkat kebijakan; upaya advokasi yang diperlukan adalah dengan melakukan sosialisasi visi yang kemudian dipaparkan melalui pendekatan-pendekatan strategis.
2. Pada kerangka strategis; dengan menjalin jaringan kerja yang bersifat pluralistik pada tingkatan multi-level (menjalin linkage dan membentuk networking). Dengan demikian semua kemungkinan dapat diatasi secara tepat dan cepat. Kemunglkinan keberhasilan dalam berbagai upaya advokasi terbukti lewat suatu jaringan. Simpul-simpul kekuatan dalam masyarakat lebih mudah tergalang dan sangat efektif.
3. Pada kerangka taktis; dengan melakukan kampanye pendapat umum sebagai bagian dari upaya penggalang-an kekuatan massa (community organisation). Intensifikasi informasi dan tekanan publik adalah alat ampuh untuk mendorong pihak-pihak lawan untuk tidak saja mendengarkan tapi juga melakukan perubahan.
Dapat disimpulkan, metode-metode dalam melakukan advokasi dengan jalan:
a. menyebar luaskan informasi dan menerbitkan tulisan- tulisan,
b. menggalang dukungan yang luas,
c. mempengaruhi yang ber-kuasa.
Ketika metode itu sifatnya saling melengkapi dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Rangkaian urutannya merupakan langkah-langkah kegiatan yang runtut dan terarah. Penerapan sebagian saja yang dijalankan, maka upaya advokasi akan berjalan ditempat.
Peran advokasi yang terpenting adalah melakukan penyadaran dalam kerangka untuk transformasi sosial bertujuan pembebasan menyeluruh, dan mengupayakan perubahan atas ketidakadilan yang ada pada skala transformasi lokal, regional, dan nasional. Bentuk-bentuk kegiatan untuk menuju kearah transformasi menyeluruh terhadap semua sistem sosial, politik, ekonomi dengan pendidikan penyadaran; pengorganisasian/pengorganisiran rakyat ataupun melakukan peran pendampingan, yang tugasnya membantu membangun organisasi rakyat yang terbuka, demokratis, egalitarian, kritis. Organisasi rakyat ini harus diarahkan kepada independensitas sehingga rakyat sendirilah yang menentukan kebijakan-kebijakan didalamnya. Pendampingan sifatnya pasiv dan sebagai fasilitator. Untuk menuju kearah yang diharapkan, pendampingan dapat memakai metode-metode pendekatan a) pendekatan tidak langsung, b) pendekatan langsung, c) membangun gerakan transformasi sosial. Pendekatan tidak langsung dimaksudkan sebagai usaha-usaha bersifat fasilitatif terjadinya pengembangan wawasan dan skill individu, sedangkan pendekatan langsung dimaksudkan sebagai usaha -usaha terbentuknya sikap kritis dan mengerti permasalahan konkrit yang sedang dihadapi dengan cara membantu memecahkan permasalahan (problem solving) dan pendidikan hadap masalah (problem posing education).
Menggalang massa untuk melakukan suatu aksi merupakan pengalaman sesungguhnya dari rakyat dalam menghadapi struktur yang menindas. Aksi itu, seperti mobilisasi, delegasi, demonstrasi, penolakan diam, aksi alegoris (simbol-simbol), istighosah, melibatkan tingkatan dari konflik yang sesungguhnya dalam tahapan tertentu antar rakyat dengan penguasa-penindas. Dan, konflik itu merupakan metodelogi inti dari pengorganisiran rakyat.
Untuk melakukan aksi, keterkaitan issue (tuntutan) dengan massa aksi adalah prasyarat mutlak. Kriteria issue tak lain adalah masalah umum yang muncul dari rakyat, bisa ditangani, bisa ditampilkan secara sederhana. Tanpa itu, pendidikan politis rakyat lewat pendekatan hadap masalah adalah nihil. Kaidah dasarnya, aksi harus sesuai dengan kondisi realitas yang dialami rakyat dan pengalaman rakyat. Dengan itu, rakyat dapat meresapi realitas struktur tidak adil yang menimpa mereka.
Hambatan struktural dalam melakukan aksi mobilisasi massa ditengah masyarakat yang heterogen kepentingan tidaklah mudah untuk menyatukan mereka dalam suatu aksi bersama. Kunci yang utama dan terpenting untuk membuka kebekuan itu dengan melakukan penyebaran informasi kepada lapisan masyarakat yang berbeda-beda agar dapat bekerja sama. Dalam menggalang kekuatan massa, pertama-tama untuk diketahui adalah pemahaman akan peta-peta kekuatan yang berada ditengah-tengah masyarakat dan secara langsung berhadapan dengan rakyat. Pemahaman peta kekautan yang ada merupakan modal awal dalam mengenali kekuatan diri sendiri dan kekuatan yang dimiliki oleh lawan yang dihadapi. Pusat-pusat kekuatan yang ada ditengah masyarakat seperti:
1. Industri besar; kekuatannya bertumbuh pada pemilikan atau pengendalian sumber daya. Karena keputusan-keputusan busines hanya profit oriented, maka hasilnyapun selalu menguntungkan sekelompok kecil orang.
2. Pemerintah; teoritis, kekuatanya haruslah yang memihak pada kepentingan rakyat banyak. Namun, kolusi penguasa dengan pengusaha merugikan kepentingan rakyat.
3. Rakyat; kekuatannya berpijak pada aksi mobilisasi massa. Tapi rendahnya solidaritas dan rasa kebersamaan sering melemahkan kekuatan mereka.
4. Media masa; merupakan alat ampuh untuk menyebar luaskan gagasan, tapi kooptasi negara lewat lembaga SIUUP mampu mengendalikan mereka dan menjadikan alat propaganda terselubung penguasa dan pengusaha.
5. Agama; kekuatan agama terletak pada tuntunan kebaikan masyarakat. Sejak penguasa berhasil memisahkan agama dan politik lewat ideologi tunggalnya, timbul akomodasi antara agama dan negara.
6. Gerakan massa; kekutannya belum digunakan semestinya karena belum terorganisir dan tertutup.
Setelah aksi, haruslah dilakukan refleksi yang sifatnya evaluatif bersama oleh rakyat untuk mengerti sepenuhnya makna dari apa yang terjadi. Metode praxis ini; aksi-refleksi, refleksi-aksi akan terus memperkaya pemahaman rakyat terhadap situasi yang dihadapi. Bagi kelompok-kelompok lain diluar rakyat yang tertindas, seperti mahasiswa, pers, NGO, intelektual, akademisi, dan profesional, metodologi aksi dapat dipakai bersama-sama rakyat dengan menempatkan diri sebagai support system atau pressure system. Supprt system dimana mereka membantu dengan pada beberapa bagian aksi menfasilitasi aksi yang dilakukan oleh rakyat. Sedangkan pressure system merupakan gabungan kekuatan rakyat dalam melakukan aksi bersama-sama pada tuntutan issue yang sama. n