Asal Mula kata Kelenteng
Pada masa Dinasti Tang (618-907) China berhasil mengirim ekspedisi
militernya ke daerah China Selatan. Sejak itu orang China mulai menyebar ke Asia Tenggara
dan banyak yang terus menetap. Diantara mereka banyak sekali orang-orang Hoakio/Hokkian
yang berasal dari daerah-daerah yang terletak di sekitar Amoy di propinsi Fukien (Fujian)
dan orang-orang Kwang Fu (Kanton) yang berasal dari Kanton dan Makao di propinsi Kwangtung
(Guangdong). Pada masa Dinasti Sung (907- 1127) mulai banyak pedagang-pedagang China yang
datang ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Mereka berdagang dengan orang
Indonesia dengan membawa barang dagangan berupa teh, barang porselin China yang indah,
kain sutra yang halus serta obat-obatan. Sedangkan mereka membeli dan membawa pulang hasil
bumi Indonesia.
Dalam sejarah China Kuno, dikatakan bahwa orang-orang China mulai
merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah pertama yang
didatangi adalah Palembang yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan kerajaan
Sriwijaya. Kemudian mereka datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Banyak dari
mereka yang kemudian menetap di daerah pelabuhan pantai utara Jawa seperti daerah Tuban,
Surabaya, Gresik, Banten dan Jakarta.
Orang China datang ke Indonesia dengan membawa serta
kebudayaannya, termasuk pula unsur agamannya. Dengan demikian, kebudayaan China menjadi
bagian dari kebudayaan Indonesia.
Didalam masyarakat China dikenal adanya tiga agama yaitu Khong Hu
Cu, Tao dan Buddha. Akan tetapi dalam prakteknya tidak pernah ada fanatisme terhadap salah
satu dari tiga agama tersebut. Dengan kata lain dalam prakteknya ketiga agama tersebut
dilakukan bersamaan. Gabungan ketiga agama tersebut dikenal dengan nama Tridharma.
Campuran ketiga agama tersebut dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan latar belakang
orang China di Asia Tenggara. Para leluhur mereka datang dari Cina Selatan dimana ketiga
agama itu diterima sebagai satu kepercayaan.
Kepercayaan terhadap ajaran agamanya dieksistansikan pula dalam
suatu upacara suci dimana upacara tersebut melibatkan masyarakat. Oleh karena itu
diperlukan suatu tempat atau bangunan suci untuk melakukan upacara. Setiap masyarakat
beragama didunia ini memiliki suatu tempat ibadah untuk melakukan upacara keagamaan.
Demikian pula halnya dengan orang China. Mereka juga memiliki tempat ibadah yang dinamakan
Kelenteng.
Seorang sarjana arsitektur yaitu Evelin Lip menyatakan bahwa
masyarakat China yang ingin mendirikan sebuah bangunan suci biasanya akan mengikuti
aturan-aturan yang berlaku di China. Aturan-aturan tersebut adalah bahwa suatu bangunan
suci biasanya didirikan diatas podium, dikelilingi oleh pagar keliling, mempunyai
keletakan simetris, mempunyai atap dengan arsitektur China, sistim strukturnya terdiri
dari tiang dan balok serta motif dekoratif untuk memperindah bangunan. Satu hal lagi yang
tidak dapat dilupakan masyarakat China dalam pencarian lokasi adalah berpedoman pada Hong
Sui (Feng Sui). Dengan berpedoman pada Feng Sui ini diharapkan akan memberikan
keberuntungan pada penghuninya. Selain itu juga Lip mengatakan bahwa Kelenteng-kelenteng
di China Utara berukuran lebih besar dan hiasannya sangat sedikit dibandingkan dengan yang
ada di China Selatan dimana kelentengnya mempunyai banyak hiasan. Bumbungan atapnya
dihiasi dengan motif naga, burung phoenix, ikan, mutiara atau pagoda dan ujung
bumbungannya melengkung ke atas. Ciri arsitektural seperti inilah yang dibawa ke Singapore
dan Malaysia oleh para perantau dan Pedagang China.
Dari mana asal mula kata Kelenteng. Ada dua versi tentang asal
mula kata Kelenteng.
Banyak dari kita yang mengira kata Kelenteng adalah istilah
luar. Tetapi sebenarnya kata Kelenteng hanya dapat ditemui di Indonesia. Kalau ditilik
kebiasaan orang Indonesia yang sering memberi nama kepada suatu benda atau mahluk hidup
berdasarkan bunyi-bunyian yang ditimbulkan - seperti Kodok Ngorek, Burung Pipit, Tokek -
demikian pula halnya dengan Kelenteng. Ketika di Kelenteng diadakan upacara keagamaan,
sering digunakan genta yang apabila dipukul akan berbunyi 'klinting' sedang genta besar
berbunyi 'klenteng'. Maka bunyi-bunyian seperti itu yang keluar dari tempat ibadat orang
China dijadikan dasar acuan untuk merujuk tempat tersebut. (Moertiko hal.97)
Versi lain menurut 'Kronik Tionghoa di Batavia', disebutkan
bahwa sekitar tahun 1650, Letnan Tionghoa, Guo Xun-guan mendirikan sebuah tempat ibadah
untuk menghormati Guan yin di Glodok. Guan yin adalah Dewi welas asih Buddha yang lazim
dikenal sebagai Kwan Im. Pada abad ke-17 waktu umat kristen Jepang dianiaya, patung Dewi
Kwan Im menggantikan patung Bunda Maria untuk menyesatkan mata-mata polisi Jepang. Tempat
ibadah di Glodok itu disebut Guan yin Ting atau tempat ibadah Dewi Guan yin (Kwan Im).
Kata Tionghoa Yin-Ting ini disebut dalam kata Indonesia menjadi Klen-Teng, yang kini
menjadi lazim bagi semua tempat ibadah Tionghoa di Indonesia. (Heuken hal.181).
|