Kelenteng Boen Tek Bio,
Tangerang
Berbicara tentang Kelenteng Boen Tek Bio (Padumuttara) tidak
terlepas dari sejarah Kota Tangerang dan keberadaan orang Tionghoa di Tangerang.
Mengenai kedatangan orang Tionghoa pertama kali ke Tangerang belum diketahui secara
pasti. Dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari
Parahyangan) disebut tentang kedatangan orang Tionghoa ke daerah Tangerang. Kitab tersebut
menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara sungai
Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga pada tahun 1407. pada waktu itu pusat
pemerintahan ada di sekitar pusat kota sekarang, yang diperintah oleh Sanghyang
Anggalarang selaku wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan Parahyangan. Perahu
rombongan Halung terdampat dan mengalami kerusakan juga keha bisan perbekalan. Daerah
tujuan yang semula ingin dikunjungi adalah Jayakarta.
Rombongan Halung ini membawa tujuh kepala keluarga dan diantaranya terdapat sembilan
orang gadis dan anak-anak kecil. Mereka kemudian menghadap Sanghyang Anggalarang untuk
minta pertolongan. karena gadis-gadis yang ikut dalam rombongan itu cantik-cantik, para
pegawai Anggalarang jatuh cinta dan akhirnya kesembilan gadis itu dipersuntingnya. Sebagai
kompensasinya, rombongan Halung diberi sebidang tanah pantai utara Jawa di sebelah timur
sungai Cisadane, yang sekarang disebut Kampung Teluk Naga.
Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah
peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. VOC yang berhasil memadamkan
pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani.
Belanda mendirikan pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang
masih dikenal dengan nama: Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren dsb. Disekitar Tegal
Pasir (Kali Pasir) Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak
Sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi
bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur sungai Cisadane, daerah
Pasar Lama sekarang.
Berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio diperkirakan sekitar tahun 1750. Para penghuni
perkampungan Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah
kelenteng yang diberi nama Boen Tek Bio. (Boen=Sastra Tek=Kebajikan Bio=Tempat Ibadah).
Bio yang pertama berdiri diperkirakan masih sederhana sekali yaitu berupa tiang bambu dan
beratap rumbia. Awal abad ke-19 setelah perdagangan di Tangerang meningkat, dan umat Boen
Tek Bio semakin banyak, kelenteng ini lalu mengalami perubahan bentuk seperti yang bisa
dilihat sekarang.
Sebagai tuan rumah kelenteng ini adalah Dewi Kwan Im. Selain Dewi Kwan Im di sebelah
kiri dan kanan kelenteng ini juga dibangun tempat untuk dewa-dewa lain.
berbeda dengan kebanyakan kelenteng yang ada di Indonesia maupun yang ada di negri
Tiongkok, Kelenteng Boen Tek Bio mempunyai satu tradisi yang sudah berlangsung selama
ratusan tahun yaitu apa yang dikenal dengan nama Gotong Toapekong. Setiap 12 tahun sekali
yaitu saat tahun Naga menurut kalendar China, didalam Kota Tangerang berlangsung
arak-arakan joli Ka Lam Ya, Kwan Tek Kun dan terakhir Joli Ema Kwan Im. Pesta tahun Naga
ini dimeriahkan oleh pertunjukan Barongsai dan Wayang Potehi yang berhasi menyedot ribuan
pengunjung. Pesta ini terakhir kali diadakan tahun 1976.
Disamping acara gotong Toapekong, sejak tahun 1911 para umat Boen Tek Bio
menyelenggarakan pesta Petjun yang diadakan di Kali Cisadane, yaitu perlombaan balap
perahu naga. Perlombaan ini berlangsung sekitar bulan Mei-Juni saat musim kemarau dimana
air sungai jernih dan tenang. Setelah peristiwa G-30 S/PKI, acara Petjun dilarang
pemerintah.
|