Sungguh sangat membesarkan hati melihat perkembangan Bahtera selama dua tahun ini. Pada awal peluncurannya, Bahtera masih terseok-seok, awaknya masih sangat sedikit sehingga pertukaran informasi hanya berkutat di antara segelintir anggota yang jumlahnya tidak sampai sepuluh orang itu. Jika Anda sempat membuka-buka arsip Bahtera yang masih sangat minim, yang belum mencerminkan seluruh kegiatan Bahtera selama dua tahun pelayarannya, akan Anda jumpai bahwa banyak topik yang berasal dari alamat saya. Bukan apa-apa. Bukan karena saya penerjemah ulung yang tak henti-hentinya menemukan masalah dalam penerjemahan. Sebagaimana Anda ketahui, saya bekerja sebagai penyunting di Penerbit ITB yang memang sehari-hari bergumul dengan naskah, baik itu naskah asli berbahasa Indonesia maupun naskah terjemahan. Tentu saja banyak masalah yang saya hadapi, dan saya merasa sangat terbantu oleh kehadiran Bahtera dengan awaknya yang ternyata sangat luas pengetahuannya dan murah hati dalam berbagi pengetahuan dan pengalaman. Pasti jugalah apa yang saya rasakan ini dirasakan pula oleh Bahterawan lain yang telah memetik manfaat dari keanggotaannya sebagai awak Bahtera.
Saya amati bahwa pertanyaan yang menyangkut padanan dalam bahasa Indonesia memang menjadi porsi utama perbincangan di Bahtera. Cukup banyak istilah yang lahir dari perjalanan pelayaran kita. Yang masih tertatah kuat dalam ingatan saya adalah bagaimana kita bersama-sama mencurahkan pendapat mengenai istilah untuk website, e-mail, home page, sitting by Nellie, keyboard, tea-and-toilet-paper approach, gender, dan masih banyak lagi. Kita juga bertukar pikiran perihal penggunaan kata ingin, di mana, masing-masing, one way or the other, in the first place, in terms of, dan baru-baru ini kata menyusul. Saya sadari bahwa saat bertukar pikiran, suasana bisa menghangat ke arah panas, namun saya yakin bahwa kedewasaan para awak Bahtera pada akhirnya memungkinkan kita untuk saling menghargai pendapat sesama, sekalipun pendapat itu berbeda dengan pendapat kita.
Dalam pelayarannya, Bahtera ternyata tidak hanya membincangkan masalah istilah, pola kalimat, dan berbagai pernik bahasa Indonesia. Lebih dari itu, Bahtera ternyata mengupas juga berbagai hal yang sangat sarat bernuansa Indonesia. Katakanlah saja obrolan kita saat menjelang runtuhnya Orde Baru pada semester pertama 1998 (bahkan ada Bahterawan yang berulang tahun tepat pada tanggal 21 Mei, Achmad Rivai dari Newmont). Suasana di Jakarta yang mencekam, suasana di Kampus ITB yang sama mencekam dengan maraknya demonstrasi mahasiswa sebandung, mewarnai diskusi Bahtera. Krisis moneter yang melanda Indonesia juga tidak luput menjadi obrolan awak Bahtera. Saya masih ingat tertawa terpingkal-pingkal ketika Wiwit menceritakan obrolannya dengan si tukang sayur yang mengeluhkan krisis monitor, alih-alih krisis moneter! Dan sekarang, suasana pemilihan umum turut memeriahkan Bahtera dengan bermunculannya diskusi tentang berbagai istilah khas pemilu. Ingat diskusi tentang stembus akkoord dan komunike Paso?
Keakraban di antara awak Bahtera pun telah terbukti berkali-kali. Bahterawan angkatan 1997 tentu masih ingat bagaimana kita berunding di udara saat akan menghadiri pernikahan pertama di Bahtera, antara Ross asal Italia dan Ya Ling asal Jakarta. Bagaimana kita urun rembug menentukan hadiah perkawinan yang pas bagi sepasang mempelai dan – yang tak kalah uniknya – mengumpulkan ucapan selamat gaya Bahtera, yaitu ucapan yang berasal dari berbagai bahasa, yang mencerminkan keragaman awak Bahtera. Saya masih ingat ada ucapan selamat dari berbagai bahasa daerah di Indonesia (Jawa, Bali, Sunda, dan tentu saja bahasa Indonesia), bahasa Malaysia, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda. Sayang, waktu itu Bang Uli Kozok belum hadir sehingga tidak menyumbangkan bahasa Batak-nya. Juga belum hadir Abas dengan bahasa Perancis-nya, Ingo atau Waruno dengan bahasa Jerman-nya, Ueno-San dengan bahasa Jepang-nya, atau Arja dengan bahasa Suomi-nya. Tentu saja kita tidak bisa minta sumbangan bahasa Italia karena Ross, sang mempelai, adalah yang menjadi raja sehari! Sayang juga waktu itu Luci belum menjadi Bahterawan sehingga tak bisa menyumbang dalam bahasa Italia. Duuuh, betapa manisnya bernostalgia! Dan baru saya sadari betapa banyaknya bahasa asing yang menyemarakkan Bahtera!
Bukti lain keakraban di antara sesama anggota Bahtera adalah munculnya ucapan selamat ulang tahun, selamat atas pernikahan, dan yang terakhir ini selamat atas kelahiran Bahterawan cilik. Saya amati tidak semua milis menganut gaya akrab begini. Tentu ada anggota yang tidak setuju dengan keakraban macam begini, namun saya yakin lebih banyak anggota yang menikmatinya, bahkan merindukannya kalau kehangatan itu lama tak muncul. Keakraban ini saya amati tidak mengurangi keseriusan kita saat membicarakan masalah yang mengharuskan kita memutar otak. Menurut Minar tempo hari – ibarat ngobrol serius di warung kopi (atau di kafe gaul?), serius tapi santai.
Keakraban ini saya rasakan semakin meriah ketika muncul Ki Punster Bahtera – julukan yang begitu pas, hadiah dari Wiwit bagi Tim Behrend – yang belakangan ini sudah kita ketahui tampangnya yang ‘aduhai’ di Kompas. Kehadirannya tak pelak telah membuat para Bahterawan tersenyum simpul dan, tak jarang, mengerutkan kening. Bahkan, ketika Tim ingin mengurangi kepiawaiannya berolah-kata, Wiwit serta-merta berteriak mengajukan protes. Saya rasa teriakan Wiwit telah mewakili protes kita semua sekiranya Tim benar-benar mewujudkan niatnya untuk mengerem banjir kata anehnya itu.
Banyak, masih banyak sekali kenangan manis yang terukir dari pelayaran dua tahun bersama Bahtera. ‘Pasukan’ Newmont di bawah komando Luci tampaknya merupakan pasukan terbesar di Bahtera. Pertanyaan dari kubu Newmont sering sangat menggelitik karena begitu teknis, namun saya lihat cukup banyak Bahterawan yang bisa menyodorkan bantuan. Bahterawan Ueno-san dari Negeri Sakura yang sering menanyakan berbagai hal mengenai Indonesia juga turut menyemarakkan geladak Bahtera. Yang agak mengganggu pikiran saya sekarang adalah keberadaan Bahterawan Yan Ilsen yang di awal pelayaran Bahtera sangat rajin melontarkan komentarnya yang memikat. Di manakah Anda, Oom Yan?
Sulit rasanya menyebutkan satu per satu Bahterawan yang telah menggoreskan bekasnya di Bahtera kita – Mbak Trees yang ‘judes’, Rochie yang ‘cerewet’, Sasis yang ‘sableng’, ABSaleh yang begitu menguasai masalah kemiliteran dan politik, Mas Sty yang ‘ceplas-ceplos’, Kang Yewe yang postingnya sangat jarang namun selalu berbobot sekaligus kocak, Wiwit yang luar biasa ‘ceriwis’, Mas Uno yang postingnya begitu mengagumkan tapi sering membuat kening saya berkerut-merut, Eyang Bob yang selalu siap membantu menjelaskan ungkapan bahasa Inggris… tak cukup kata untuk menuangkan semua yang mencuat di Bahtera kita. Kalau saya tak menyebut Bahterawan lain, bukan karena mereka tidak penting, tetapi karena otak saya sudah tak sanggup lagi mencari kata yang pas untuk mengungkapkan betapa berharganya mereka bagi Bahtera. Seperti kata nakhoda kita, tak ada priviledged members di Bahtera, semua sama. Kiprah kita masing-masinglah yang akan turut mewarnai Bahtera, membawanya berlayar mengarungi samudera bahasa Indonesia yang masih belum terarungi seluruhnya.
Satu hal yang masih menjadi impian dan dambaan kita bersama – berkumpul bersama di darat, membicarakan berbagai masalah penerjemahan. Rencana yang pernah saya susun sekitar setahun lalu tampaknya harus dibongkar kembali dari peti di lantai dasar Bahtera. Nantilah, jika suasana di Indonesia sudah lebih memungkinkan, kita bicarakan lagi rencana tersebut. Saya yakin pertemuan Bahtera di darat akan sangat menyenangkan. Saya sudah mengalaminya dengan bertemu muka langsung dengan beberapa Bahterawan yang sebelumnya hanya saya kenal di milis ini – Ross, Ya Ling, Wiwit, Ron... Pembicaraan jarak jauh lewat telepon juga cukup menyenangkan – Mbak Trees, Ratri, Theresa… Dan, dalam waktu dekat akan muncul juga Rochie dan Bang Uli di Bandung.
Akhirul kata, sebagai salah seorang perintis Bahtera, saya ingin mengucapkan:
***********************************