Date: Sun, 12 Oct 1997 11:09:05
+0700
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
From: "Cipaku, Bandung" <sofia@melsa.net.id>
Subject: kata aneh (Re: First-person
singular)
Perhatian: tulisan berikut ini mungkin "membosankan" bagi sebagian Bahterawan
Halo SS Steve,
>Setuju, seperti tertulis di
buku "Pengantar Penerbitan" toh? (atau,
>versi aktif: seperti yang Anda
tulis di buku "Pengantar Penerbitan"?)
== Oh, Steve baca juga buku
itu? Wah, mestinya sudah saya pinda (revisi) karena sudah banyak kemajuan
di bidang penerbitan. Tapiiii, rupanya penyakit para penulis menulari saya
juga, yaitu malas. Sudah dikerjakan beberapa bab, lalu terseling lagi oleh
kerjaan lain. So ...
>
>Ada kata "jelah" di sana.
== Ya, saya gunakan itu sebagai
padanan typographical readability, sebab di penerbit/percetakan, kami membedakan
keterbacaan (hal dapat dibaca) yang diakibatkan oleh tipografi (tata huruf)
dan oleh bahasa. Nah, untuk tipografi inilah dipakai kata "jelah" yang
dalam KBBI artinya "pandangan yang jelas tanpa terhalangi apa pun". Tulisan
yang "tidak jelah" misalnya yang hurufnya terlalu kecil atau terlalu bermacam-macam,
yang jarak antarbarisnya terlalu dekat atau terlalu jauh, yang marginnya
terlalu kecil, dsb, dsb.
Sementara itu, untuk keterbacaan dari sudut bahasa, saya gunakan "tedas" yang juga artinya sama dengan jelas, tapi "jelas dari sudut bahasa" alias mudah dipahami. Misalnya, yang struktur kalimatnya sederhana, yang pilihan katanya bijaksana, yang panjanga kalimatnya optimum, yang gaya kupasannya enak dibaca, dsb, dsb. Yaa, memang kalau mau sih, saya bisa saja menggunakan kata biasa "jelas", tapi kalau BI punya begitu banyak kata yang membawakan arti yang sangat pas dengan makna yang kita maksudkan, why not use it?
Tahu ngga Steve, menurut Anton Moeliono, pakar BI kita, orang Indonesia hanya menggunakan sekitar 5000 kata dari sekian ratus/puluh ribu kata BI yang ada dalam kamus. So, no wonder kalau begitu banyak kata dalam KBBI yang tidak kita kenal dan kita abaikan. Padahal, anak SMA penutur BIng kalau ngga salah, menggunakan kata sekitar 8000 atau 10.000-an. So, karena kita (orang dewasa terpelajar) cuma kenal 5000-an kata, pantesan ya kita ngga kenal kata cahi (little brother), randah (portable), lasak (mobil), bena (significant), sembir (margin), santir (mirror image), dan tentu masih banyak lagi.
Penerjemah pada umumnya kesulitan kalau sudah bertemu dengan kata Inggris (baca: kata asing) yang dianggapnya sulit diindonesiakan. Akibatnya, kata Inggris saja yang dipinjam, atau disesuaikan ejaannya (diserap). Repotnya dengan cara yang terakhir ini adalah karena kita pada umumnya menyerap satu-satu kata, bukan kata dasar untuk selanjutnya diberi imbuhan BI.
Misalnya, kita menyerap kata aktif (ada yang bingung dan menuliskan aktip atau aktiv), aktivitas, dan aktivasi. Contoh lain: sistem, sistematis (atau -ik), sistematika, sistemis ... dan masih seabreg-abreg. Padahal, cara bahasa lain (setahu saya) tidak begitu menyerapnya. Yang diserap cukup kata dasar, lalu dibentuk menjadi kata turunan dengan menggunakan imbuhan mereka sendiri. Misalnya kata "batik". Ngga pernah ada bahasa lain yang menyerap kata "membatik", "pembatikan", atau "pembatik". Mereka (BIng) menggunakan "to make a batik", "batik processing", dan "batik maker" (betul ngga, Ron dan Bahterawan penutur BIng?) atau "batiker" (betul ngga, Yan?).
Jadi, mungkin kalau kita "meniru"
cara bahasa lain menyerap kata asing, mestinya begini: kita hanya menyerap
kata dasarnya saja, misalnya "aktif" dan memberinya imbuhan BI, kata bentukannya
menjadi "keaktifan", "pengaktifan" .... Kita serap kata "sistem", lalu
dibentuk kata turunannya:
"bersistem", "tatasistem", "menyistem"
... Juga ngga akan ada kebingungan mengapa ada kata "standar" (tanpa huruf
akhir "d", dari kata "standard"), dan "standardisasi" (pakai huruf akhir
"d", dari kata "standardization").
Juga, kalau kita hanya menyerap kata dasar, kita tidak akan dipusingkan oleh apakah suatu kata bentukan itu harus diakhiri dengan -is, -ik (fisis, fisik; mekanis, mekanik; biologis, biologik), atau apakah suatu kata harus ditulis dengan "v", "p", atau "f" (positiv, aktipitas, kreatifitas yang ketiganya salah karena menurut Pedoman Pembentukan Istilah seharusnya positif, aktivitas, kreativitas).
Masalah lain adalah kalau kita berhadapan dengan kata Ing yang bersinonim atau hampir semakna artinya. Femmy pernah kebingungan waktu harus menerjemahkan moist, moisture, humid, humidity, wet, wetness, hygroscopic ... yang hampir selalu dipadankan dengan kata "lembap" (bukan lembab).
Padahal dalam BI ada kata lengas, basah, ... dan entah apa lagi yang tidak kita ketahui padahal mungkin ada dalam khazanah BI. Jadi, kalau orang mengatakan BI itu miskin, apa bukan penggunanya yang miskin?
>OO, siapa sih biasanya yang
menentukan>pilihan kata-kata seperti itu?
(Kata-kata yang "aneh" dan belum
pernah>saya dengar).
== Yang menentukan adalah orang
yang super-rajin. Mereka membuka-buka kamus dan menandai kamusnya itu,
lalu menggunakan kata yang ada di situ kalau kebetulan dianggap pas. Contohnya
adalah kata "tedas" dan "jelah" tadi, atau yang dicontohkan oleh Steve
di sini: farik = nyata bedanya (yang cocok kan dengan makna kata discrete?).
Saya, karena sehari-hari bergaul dengan para ilmuwan penerjemah, sudah
ngga merasa aneh lagi berkenalan dengan kata-kata "aneh" itu. Contohnya
kata sifar/sifer (zero), mintakat (zone), galat (error, untuk membedakannya
dengan "kesalahan" yang padanan mistake), terok (sample), darab (multiple),
kukus (steam), sigi (survey), serap (absorb), jerap (adsorb), atau tunak
(steady state) ... ha, ha, SS Steve jadinya "Steve Tunak" ... ahoy, jelek
amat. :-(
> jelly-like = liragar
== Nah, yang ini sengaja diciptakan,
jelly = agar, sedangkan "lir" adalah imbuhan yang artinya "mirip", sama
seperti imbuhan "bak". Contoh di kelompok ini adalah lirintan (diamonoid),
awawarna/tanwarna (colorless), laik-santap (edible), nirbiji (seedless),
nirsambungan (seamless), nirkarat (stainless) ...
> ceiling temperature = suhu
pagu (jadi, floor temperature = ...)
== Wah, ngga tahu tuh; soalnya,
terus terang aja deh, saya lebih banyak berperan sebagai pemerhati dan
pengguna berbagai istilah baru ini, bukan pencipta. Saya sendiri sangat
selektif (pemilih) dengan mempertimbangkan apakah pembaca saya bisa diajak
menerima kata-kata baru itu. Dan saya coba untuk selalu menjelaskan makna
kata baru tersebut dalam tulisan saya. Dan pada akhirnya memang kita (saya
sebagai penerbit) akan selalu berkompromi dengan pengarang (pencipta kata
baru) mengenai pilihan kata ini.
Kalau kemudian kita marah-marah dan menggerutu karena menemukan begitu banyak kata baru, yaaaa kita bisa ketinggalan kereta api dong. Jadi, kalau boleh saya mengusulkan, kita bersikap terbuka saja. Ngga apa-apa kan kalau kosakata kita semakin kaya? Kalau ngga suka, jangan pakai. Tapi, kalau orang lain pakai, kita ngerti. Ngga ada paksaan kok dalam berbahasa, sama dengan ngga ada paksaan dalam beragama. 'Tul ngga?
Sudah dulu ah. Eyang kalau bicara
masalah yang sehari-hari digeluti memang suka kebablasan sampai Bahterawan
ngantuk di hari Minggu santai begini.
Sori, sori ...
salam,
Sofia
From: "Steven Haryanto" <stevenh@bdg.centrin.net.id>
To: <bahtera@lists.singnet.com.sg>
Subject: Re: kata aneh (Re:
First-person singular)
Date: Sun, 12 Oct 1997 12:49:05
+0700
Buat Tante Sofia:
Trims lagi buat penjelasan delapan-ribu-byte-nya.
:)
> >Ada kata "jelah" di sana.
> == Ya, saya gunakan itu sebagai
padanan typographical readability, sebab di
> ...
Ngerti. Jelah = typographically
clear; tedas = grammatically clear.
Keduanya diucapkan dengan 'e'
pepet, kan?
> Tahu ngga Steve, menurut Anton
Moeliono, pakar BI kita, orang Indonesia
> hanya menggunakan sekitar
5000 kata dari sekian ratus/puluh ribu kata BI
> yang ada dalam kamus. So,
no wonder kalau begitu banyak kata dalam KBBI
> yang tidak kita kenal dan
kita abaikan. Padahal, anak SMA penutur BIng
> kalau ngga salah, menggunakan
kata sekitar 8000 atau 10.000-an. So, karena
> kita (orang dewasa terpelajar)
cuma kenal 5000-an kata, pantesan ya kita
> ngga kenal kata cahi (little
brother), randah (portable), lasak (mobil),
> bena (significant), sembir
(margin), santir (mirror image), dan tentu masih
> banyak lagi.
Saya pernah membaca, jumlah
kosakata efektif (yang sering digunakan) oleh seseorang itu berhubungan
dengan tingkat kecerdasannya. Ini bukan berarti orang Indonesia lebih rendah
IQ-nya, sebab selain kosakata bahasa sendiri, otak kita juga harus menyimpan
kosakata Inggris dan bahasa daerah masing-masing. Walhasil, kalau ditotal
mungkin sekitar 8000-10000 juga?
> Jadi, mungkin kalau kita "meniru"
cara bahasa lain menyerap kata asing,
> mestinya begini: kita hanya
menyerap kata dasarnya saja, misalnya "aktif"
> ...
Pernah juga terlintas di benak
saya. Tapi ini kayaknya sulit terwujud:
1. Sudah kepalang tanggung.
2. Sebagian kata asing lebih
terkenal bentuk berimbuhannya daripada kata dasarnya sendiri. Contoh: effective,
organization, reaction, rational, dll.
Mungkin yang perlu diserap adalah
kata yang "cukup dasar" yang paling banyak digunakan.
Soal penggunaan kata-kata "aneh":
Ini pasti bergantung pada bidang
tekniknya juga. Istilah tunak, kukus, dan galat cukup sering digunakan
di kuliah teknik kimia menggantikan istilah inggrisnya. Sifar, mintakat,
tedas/jelah, farik, sigi, atau darab lebih jarang. Mungkin di bidang matematika,
fisika, atau bidang lain kata-kata tersebut lebih "beredar."
--SS Steve
Date: Mon, 13 Oct 1997 00:45:44
+0700
From: Akhmad Bukhari Saleh <absaleh@ibm.net>
X-Mailer: Mozilla 3.01Gold (Win95;
I)
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
Subject: Re: kata aneh (Re:
First-person singular)
Steven Haryanto among others
wrote:
> Saya pernah membaca, jumlah
kosakata efektif (yang sering digunakan)
> oleh seseorang itu berhubungan
dengan tingkat kecerdasannya. Ini bukan
> berarti orang Indonesia lebih
rendah IQ-nya, sebab selain kosakata
> bahasa sendiri, otak kita
juga harus menyimpan kosakata Inggris dan
> bahasa daerah masing-masing.
Walhasil, kalau ditotal mungkin sekitar
> 8.000-10.000 juga?
Saya rasa betul juga bahwa soal
pengaruh kebisaaan berbahasa daerah seseorang memang mempengaruhi penerapan
kosakata bahasa Indonesia oleh si orang tersebut. Bukan hanya karena otaknya
saturated, tetapi juga karena perbedaan arti kata. Mungkin orang suku Jawa,
misalnya, akan ragu-ragu, atau bahkan tidak mau, pakai "tedas" dalam arti
"grammatically clear" karena dalam bahasa Jawa "tedas" itu, kalau nggak
salah, artinya "mampu memakan/menggigit". Begitu pula orang Minang akan
ragu-ragu menggunakan "lasak" dalam arti "mobil" ("mobil" di sini saya
rasa maksudnya "mobile" dan bukannya "automobile") karena "lasak" dalam
bahasa mereka, walaupun memang mengandung pengertian "bergerak terus",
tetapi kata itu lebih lazim dipakai untuk sifat anak kecil yang sedang
senang-senangnya bergerak, tetapi tidak lazim untuk, misalnya, menunjukkan
sifat pasukan mobile brigade (yang sekarang disebut Brimob; brigade mobil)
yang selalu siap mengejar musuh ke mana saja.
Bertitik-tolak dari kenyataan
ini, mungkin juga penutur bahasa Indonesia, yang at the same time juga
penutur bahasa daerah, enggan menggunakan kata-kata "baru tapi lama" ini
("baru" karena jarang kelihatan dipakai tetapi "lama" karena sudah lama
ada di kamus), karena tidak adanya sense of belonging sebab dikiranya kata
itu tokh bukan kata bahasa Indonesia tetapi "milik" suatu bahasa daerah
lain. Perasaan ini mungkin diperkuat oleh kenyataan bahwa KBBI memang memuat
banyak kata bahasa daerah, yang ditandainya pula dengan keterangan dari
daerah mana kata itu berasal.
> Soal penggunaan kata-kata "aneh":
> Ini pasti bergantung pada
bidang tekniknya juga. Istilah tunak, kukus,
> dan galat cukup sering digunakan
di kuliah teknik kimia menggantikan
> istilah inggrisnya.
Di sini saya tertarik pada istilah
"teknik kimia", yang merupakan terjemahan "chemical engineering". Waktu
saya kuliah dulu, istilah yang dipakai masih "kimia teknik", untuk membedakannya
dengan "kimia murni", karena kedua-dua jurusan itu ada apad beberapa perguruan
tinggi. Lalu belakangan dirubah menjadi "teknik kimia" agar lebih tepat
menerjemahkan "chemical engineering" tadi itu (Padahal bahasa Perancisnya,
"genie chimique", ya "kimia teknik" itu, tetapi waktu itu belum zamannya
kirim dosen ambil S2 dan S3 ke Perancis sih). Tapi kemudian lagi, dirubah
pula menjadi "teknologi kimia", barangkali kalau hanya "teknik" kesannya
bukan insinyur tetapi tukang saja.
Kenapa belum berubah lagi jadi
"rekayasa kimia" ya? Atau, karena "rekayasa" sekarang sudah mulai berkonotasi
negatif (seperti kata "diamankan" yang sekarang artinya samasekali tidak
aman), mungkin bisa dipakai "keinsinyuran kimia".
Wassalam.
Date: Mon, 13 Oct 1997 01:31:38
+0700
From: Akhmad Bukhari Saleh <absaleh@ibm.net>
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
Subject: Re: kata aneh (Re:
First-person singular)
Cipaku, Bandung among others wrote:
> So, karena kita (orang dewasa
terpelajar) cuma kenal 5000-an kata,
> pantesan ya kita ngga kenal
kata cahi (little brother), randah
> (portable), lasak (mobil),
bena (significant), sembir (margin), santir
> (mirror image), dan tentu
masih banyak lagi.
Numpang tanya apakah "santir"
itu menerjemahkan "mirror image" dalam arti kesimetrian yang terbalik (bentuknya
persis sama tapi yang kanan ada di kiri dan yang kiri ada di kanan, menurut
saya inilah pengertian "mirror image" secara teknis) ataukah hanya dalam
arti "citra cermin"?
> Juga, kalau kita hanya menyerap
kata dasar, kita tidak akan
> dipusingkan oleh apakah suatu
kata bentukan itu harus diakhiri dengan
> -is, -ik (fisis, fisik; mekanis,
mekanik; biologis, biologik), atau
> apakah suatu kata harus ditulis
dengan "v", "p", atau "f" (positiv,
> aktipitas, kreatifitas yang
ketiganya salah karena menurut Pedoman
> Pembentukan Istilah seharusnya
positif, aktivitas, kreativitas).
Setuju sekali. Dan rasanya sudah
banyak juga orang menganut tatacara ini. Tapi kadang-kadang (atau seringkali?)
memang rumit, misalnya kalau yang satu ini bagaimana: mana yang tepat,
apakah "merealiseer", ataukah "merealisasikan", ataukah "merealizekan"
atau yang lainnya lagi?
> >OO, siapa sih biasanya yang
menentukan pilihan kata-kata seperti itu?
> (Kata-kata yang "aneh" dan
belum pernah saya dengar).
> == Yang menentukan adalah
orang yang super-rajin. Mereka membuka-buka
> kamus dan menandai kamusnya
itu, lalu menggunakan kata yang ada di
> situ kalau kebetulan dianggap
pas.
Juga orang-orang yang tidak
mau terombang-ambingkan antara menyerap kata dari bahasa Belanda atau bahasa
Inggris, atau sering juga bahasa Perancis, dan kadang-kadang juga bahasa
lainnya lagi, untuk suatu kata asing yang sama artinya tetapi berbeda bunyi
atau dan/atau ejaannya (Dan juga untuk kata asing yang sama bunyi dan/atau
ejaannya di bahasa Belanda dan Inggris, tetapi berbeda arti atau aplikasinya).
> > jelly-like = liragar
> == Nah, yang ini sengaja diciptakan,
jelly = agar, sedangkan "lir"
> adalah imbuhan yang artinya
"mirip", sama seperti imbuhan "bak".
> Contoh di kelompok ini adalah
lirintan (diamonoid), wawarna/tanwarna
> (colorless), laik-santap (edible),
nirbiji (seedless), nirsambungan
> (seamless), nirkarat (stainless)
...
Untuk terjemahan "less" ini,
bagaimana aturannya, kapan dipakai "awa-", kapan "tan-", kapan "nir-",
dan kapan lainnya lagi yang semacam (misalnya "tuna-")?
> Kalau kemudian kita marah-marah
dan menggerutu karena menemukan begitu
> banyak kata baru, yaaaa kita
bisa ketinggalan kereta api dong. Jadi,
> kalau boleh saya mengusulkan,
kita bersikap terbuka saja. Ngga apa-apa
> kan kalau kosakata kita semakin
kaya? Kalau ngga suka, jangan pakai.
> Tapi, kalau orang lain pakai,
kita ngerti. Ngga ada paksaan kok dalam
> berbahasa, sama dengan ngga
ada paksaan dalam beragama. 'Tul ngga?
'Tul! Tapi yang mungkin yang
perlu "diatur", kalau ada yang berwenang ngatur, adalah sistemnya, agar
penerjemahan ini konsisten, sehingga orang dapat lebih mudah memperkirakan
artinya karena bisa mengacu pada penerjemahan kata lainnya yang dilakukan
secara sama.
Wasalam.
Date: Mon, 13 Oct 1997 06:31:18
+0700
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
From: "Cipaku, Bandung" <sofia@melsa.net.id>
Subject: Re: kata aneh (Re:
First-person singular)
Halo Bahterawan,
At 01:31 13/10/97 +0700, AB Saleh
wrote:
>Numpang tanya apakah "santir"
itu menerjemahkan "mirror image" dalam
>arti kesimetrian yang terbalik
(bentuknya persis sama tapi yang kanan
>ada di kiri dan yang kiri ada
di kanan, menurut saya inilah pengertian
>"mirror image" secara teknis)
ataukah hanya dalam arti "citra cermin"?
== Sebetulnya bisa dicek di
KBBI (eh, punya ngga? soalnya, banyak juga guru BI yang ngga punya karena
ngga mampu beli. Habiiisss, gajinya kena potongan melulu :-( )
OK, yang betul yang terakhir
itu, bayangan cermin. Mungkin juga bisa untuk bayangan di permukaan air,
kolam, dsb.
>
>Setuju sekali. Dan rasanya
sudah banyak juga orang menganut tatacara
>ini. Tapi kadang-kadang (atau
seringkali?) memang rumit, misalnya kalau
>yang satu ini bagaimana: mana
yang tepat, apakah "merealiseer", ataukah
>"merealisasikan", ataukah "merealizekan"
atau yang lainnya lagi?
== Kalau berhadapan dengan kata
seperti ini, sebagai penyunting, saya mencoba mencari kata Indonesianya
dulu. Untuk kata ini biasanya saya pakai "mewujudkan" kalau konteks kalimatnya
cocok. Jadinya ngga pusing lagi kan?
>
>Untuk terjemahan "less" ini,
bagaimana aturannya, kapan dipakai "awa-",
>kapan "tan-", kapan "nir-",
dan kapan lainnya lagi yang semacam
>(misalnya "tuna-")?
== Memang banyak bubuhan untuk
menyatakan kenegatifan:
tan/tak/awa/nir/tuna/mala/kahat
Sementara ini tampaknya orang memilih mana yang disukainya saja. (bisa
juga dilihat KBBI untuk memastikannya. Dan mungkin juga saya salah, soalnya
kan yang harus menjawab ini para linguis yang sampai sekarang belum bereaksi).
Sedikit yang saya tahu adalah bahwa "tuna" digunakan untuk arti "tak memiliki",
misalnya "tunawisma (tak punya rumah), tunadaksa (tak punya anggota tubuh),
tunawicara (tak punya kemampuan bicara), tunaksara (tak punya kemampuan
membaca) ..."kahat" untuk menyatakan kekurangan, misalnya kahat vitamin,
kahat gizi ... tetapi entah mengapa "kahat" ini tidak dianggap bubuhan
sehingga dituliskan terpisah dari kata yang mengikutinya.
>
>'Tul! Tapi yang mungkin yang
perlu "diatur", kalau ada yang berwenang
>ngatur, adalah sistemnya, agar
penerjemahan ini konsisten, sehingga
>orang dapat lebih mudah memperkirakan
artinya karena bisa mengacu pada
>penerjemahan kata lainnya yang
dilakukan secara sama.
== Justru di situlah letak masalahnya
kan? Sebetulnya, yang berwenang kan Pusat Bahasa? Tapi, setahu saya, para
pakar di sana pun banyak yang bertentangan pendapat. Akhirnya, yang saya
lihat, para ilmuwan "berjalan" sendiri karena seperti yang ditulis AB Saleh
(eh yang nanya sekarang kan?), para pengguna tidak bisa menunggu terlalu
lama, khususnya di bidang yang kemajuannya sangat pesat, misalnya komputer.
Salam,
Sofia
Date: Mon, 13 Oct 1997 06:48:07
+0700
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
From: "Cipaku, Bandung" <sofia@melsa.net.id>
Subject: Re: kata aneh (Re:
First-person singular)
Untuk Steven dan AB Saleh
>> Saya pernah membaca, jumlah
kosakata efektif (yang sering digunakan)
>> oleh seseorang itu berhubungan
dengan tingkat kecerdasannya. Ini bukan
>> berarti orang Indonesia lebih
rendah IQ-nya, sebab selain kosakata
>> bahasa sendiri, otak kita
juga harus menyimpan kosakata Inggris dan
>> bahasa daerah masing-masing.
Walhasil, kalau ditotal mungkin sekitar
>> 8.000-10.000 juga?
== Kalau ada yang menyebut-nyebut
kapasitas otak seperti ini, kok rasanya seperti menganalogikannya dengan
kapasitas memori komputer ya? Padahal, masa sih Tuhan membuat otak kita
memiliki kapasitas begitu? Sama seperti kalau orang mengatakan bahwa jangan
terlalu banyak punya anak supaya kita bisa mencurahkan cukup rasa cinta
kita pada anak-anak kita. Masa sih? Apakah kalau anak kita dua, masing-masing
dapat setengah (setelah dikurangi untuk spouse kita), dan kalau punya anak
empat, masing-masing dapat seperempat? ... Anyway, kabarnya Einstein ngga
mau mengingat nomor telepon kenalannya karena mengatakan "sayang kalau
otak dipakai mengingat hal-hal yang bisa dicatat".
("mobil" di sini saya
>rasa maksudnya "mobile" dan
bukannya "automobile")
== Ya, maksudnya mobile. Waktu
nulis, saya ngga cek kamus lagi, sebab memang kadang-kadang suka lupa apakah
BIng-nya mobil atau mobile, method atau methode, period atau periode ...
Habiiisss, otaknya kebanyakan dijejali macam-macam kata sih. :-)
>Bertitik-tolak dari kenyataan
ini, mungkin juga penutur bahasa
>Indonesia, yang at the same
time juga penutur bahasa daerah, enggan
>menggunakan kata-kata "baru
tapi lama" ini ("baru" karena jarang
>kelihatan dipakai tetapi "lama"
karena sudah lama ada di kamus), karena
>tidak adanya sense of belonging
sebab dikiranya kata itu tokh bukan kata
>bahasa Indonesia tetapi "milik"
suatu bahasa daerah lain. Perasaan ini
>mungkin diperkuat oleh kenyataan
bahwa KBBI memang memuat banyak kata
>bahasa daerah, yang ditandainya
pula dengan keterangan dari daerah mana
>kata itu berasal.
== Ya, memang perasaan begini
ada. Dalam penataran penerjemahan buku ajar yang pesertanya dosen PTN dari
seluruh Indonesia, kekacauan begini sering muncul. Jadinya saya banyak
belajar juga. Coba deh tebak, apa artinya "tempat rumput" di Manado?
Anyway, saya sendiri ngga peduli
dari daerah mana suatu kata berasal, kalau saya suka, saya pakai saja.
>
>Di sini saya tertarik pada
istilah "teknik kimia", yang merupakan
>terjemahan "chemical engineering".
== He, he, Teknik Kimia kan
disingkat jadi TK? Jadi, setelah lulus SMA, anak saya, dan juga SS Steve,
balik lagi ke TK alias Taman Kanak-Kanak. :-)
Salam,
Sofia
Date: Sun, 12 Oct 1997 16:31:48
+1000 (EST)
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
From: rwitton@uow.edu.au (Ron
Witton)
Subject: Re: kata aneh (Re:
First-person singular)
Dari Ron (Seruan - yaitu pakai huruf besar didalamnya di bahwa):
>-ik), sistematika, sistemis
... dan masih seabreg-abreg. Padahal, cara
>bahasa lain (setahu saya) tidak
begitu menyerapnya. Yang diserap cukup kata
>dasar, lalu dibentuk menjadi
kata turunan dengan menggunakan imbuhan mereka
>sendiri. Misalnya kata "batik".
Ngga pernah ada bahasa lain yang menyerap
>kata "membatik", "pembatikan",
atau "pembatik". Mereka (BIng) menggunakan
>"to make a batik", "batik processing",
dan "batik maker" (betul ngga, Ron
>dan Bahterawan penutur BIng?)
atau "batiker" (betul ngga, Yan?).
SETUJU!
>Sudah dulu ah. Eyang kalau bicara
masalah yang sehari-hari digeluti memang
>suka kebablasan sampai Bahterawan
ngantuk di hari Minggu santai begini.
>Sori, sori ...
Tidak perlu bersori....
Juga perlu ingat bahaw daripada passive BIndonesia selalu ada object construction (buku dibacanya). Ini hanya, setahu saya, menolong menekankan obyeknya dan menghindarkan perhatian dari pelaku (subject). Tapi ini mungkin juga dianggap kurang bersifat ilmuan oleh mereka yang minta semua dipassivekan karena masih diketahui pelakunya...
Ron