The Cross
Under the Cross

Listen to the News
English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2001 -
1364283024
& 1367286044


Ambon - Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

TRAUMA KEKERASAN PADA ANAK-ANAK KORBAN KONFLIK

Pengantar Redaksi:
Konflik sosial yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia telah menyebabkan penderitaan bagi rakyat, tak terkecuali anak-anak. Anak-anak korban konflik seringkali harus melihat bahkan mengalami secara langsung segala macam bentuk kekerasan akibat perang. Kejadian itu akan tersimpan selamanya dalam benak mereka. Yang lebih menyedihkan, mereka harus berpisah dengan orang tua mereka untuk mengungsi ke daerah yang lebih aman bagi mereka. Bagaimana nasib mereka saat ini dan bagaimana cara memulihkan mereka serta apa tindakan negara selama ini ? “Jentera” kali ini menurunkan tiga tulisan. Yang pertama adalah trauma kekerasan yang dialami oleh 2 anak korban konflik, tulisan kedua, pemulihan secara kristiani terhadap mereka dan yang ketiga adalah tanggung jawab negara untuk melindungi anak-anak korban kekerasan dan konflik. Ikutilah sajian BAHANA berikut ini.

Megi Watimena (14 tahun): Aku melihat mereka dibunuh

Megi merupakan salah satu saksi hidup kekerasan dan kekejaman perang yang terjadi di Ambon. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kelompok yang bertikai saling membunuh dengan cara yang sangat sadis. Suara tembakan dan dentuman bom sangat akrab di telinga anak yang baru berusia 14 tahun ini. Perasaan takut akan diserang oleh “musuh” juga sering dialaminya. Dia sama sekali tidak mendapatkan rasa aman di tanah kelahirannya. Konflik yang terjadi tanah kelahirannya itu telah membuat gadis manis yang pendiam ini mengalami trauma. Meski pendiam, Megi dapat menceritakan pengalamannya dengan rinci kepada BAHANA di sela-sela waktu sekolahnya.

Kekerasan dan kekejaman perang di Ambon masih terekam jelas di benak Megi. Bahkan, Megi masih ingat kapan pertama kali perang terjadi di daerahnya. Pada tanggal 19 Desember 1998, ketika Megi hendak pergi bersama keluarganya tiba-tiba saja terdengar suara tembakan. Kekacauan pun terjadi di Karpan, tempat tinggal Megi. Akhirnya Megi beserta keluarganya mengungsi menuju daerah yang lebih aman. Ketika mengungsi itulah, rumah keluarga Megi dibakar oleh kelompok yang bermusuhan. Bukan hanya itu, Megi juga melihat bagaimana kelompok yang bermusuhan itu saling membunuh dengan cara yang sangat keji. Selain rasa takut, kejadian itu menimbulkan rasa ma­rah dan dendam terha­dap kelompok tertentu. Situasi tidak aman terse­but men­do­rong Megi untuk me­ninggalkan Am­bon.

Megi tidak pernah membayangkan sebe­lumnya, dia akan terpi­sah dari keluarganya di usia yang masih sangat muda. Dia dengan sa­ngat terpaksa mening­galkan kota Ambon yang dicintainya itu untuk melanjutkan sekolah. Kekacauan yang terjadi di Ambon menyebabkan anak-anak seusia Megi tidak dapat belajar de­ngan baik. Perasaan ta­kut akan diserang mu­suh selalu menghantui. “Sekolah di sana tidak aman, masuk jam 08.00 pulang jam 09.00 selalu begitu. Aku tidak dapat menerima pelajaran dengan baik,” ujarnya dengan aksen Ambon yang sangat kental. Meski hidup dalam ketakutan, Megi tetap mempunyai obsesi ingin menjadi anak pintar. Keinginan tersebut kemudian membawa Megi ke kota pelajar ini. “Saya mau datang ke sini (di Yogya, red.) karena saya tidak mau jadi anak bodoh. Karena di Ambon itu saya terima pelajarannya tidak baik. Di sini aman dan saya dapat menerima pelajaran dengan baik,” katanya tegas.

Perjalanan menuju Yogyakarta bukannya tanpa hambatan. Ketika Megi dan beberapa temannya menuju ke kapal diringi dengan suara tembakan. Sambil menunduk supaya tidak terkena tembakan dan disertai rasa takut yang luar biasa akhirnya Megi dapat selamat sampai di kapal. Dia merasa sangat bersyukur karena dapat sampai di Yogyakarta dengan selamat.

Sudah tujuh bulan Megi tinggal di Yogyakarta, di sebuah Panti Asuhan yang dikelola oleh salah satu gereja di Yogyakarta. Pada awalnya, Megi sering merasa rindu dengan orang tua dan keluarganya. Jika ingat mereka Megi merasa sangat sedih. Dia sering bangun di malam hari dan menangis. Namun saat ini frekuensinya berkurang karena dia sudah mempunyai keluarga baru yang sangat mendukungnya. Meskipun rindu, Megi tidak ingin kembali ke Ambon untuk saat ini. Alasannya, di Yogyakarta ini dia merasa bisa belajar dengan baik dan aman. Megi ingin melanjutkan sekolahnya setinggi mungkin sehingga dapat meraih cita-citanya sebagai pen­deta. “Saya ingin jadi pendeta. Orang-orang di Ambon pada nggak percaya sama Tuhan. Saya ingin menuntun mereka ke jalan yang benar,” ujarnya penuh harap.

Yosef Kolo: Saya tidak ingin kembali

Seperti Megi, Yosef juga merasakan penderitaan akibat konflik yang terjadi di daerahnya, Timor-Timur. Setelah Timor Timur menyatakan kemerdekaannya, keluarga Yosef yang pro integrasi dengan sangat terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya. Seperti anak korban konflik lainnya, Yosef juga harus me­nyaksikan dan mengalami secara lang­sung kekejaman perang. Kejadian tragis itu sepertinya masih tersimpan di kepala Yosef. Dia dapat menceritakan kembali kepada BAHANA tentang apa yang dialaminya di bumi Timor Lorosae itu dengan jelas.

Yosef harus menempuh perjalanan panjang dan menyedihkan sebelum bisa menapakkan kakinya di Yogyakarta. Pada suatu hari, ketika Yosef sedang bermain dengan teman-teman di sekolah tiba-tiba saja datang segerombolan orang berambut panjang menyerang mereka. Semuanya panik dan berusaha menyelamatkan diri. Saat itu Yosef melihat salah satu temannya ditangkap kemudian dibanting ke tanah. Dia juga melihat 5 orang temannya mati karena tertembak. Dengan perasaan yang sangat takut Yosef berlari dan menyelamatkan diri ke hutan. Bersama dengan Martinus, adik kembarnya, Yosef bersembunyi di gua yang terletak di sebuah hutan selama 4 hari. Siang hari, mereka bersembunyi di dalam gua sedangkan malam hari mereka keluar untuk mencari makan. Mereka hanya makan umbi-umbian mentah dan tidak minum. Selama di persem­bunyian, Yosef tidak dapat tidur karena teringat teman-temannya yang mati terbunuh dengan cara yang kejam. “Teman-temanku mati semua. Mereka ditembak musuh, aku takut sekali dan beberapa hari aku tidak dapat tidur,” ujarnya dengan nada sedih. Dia hanya bisa menangis dan berdoa.

Akhirnya, teman-teman Yosef yang lain dapat menemukan persembunyian Yosef dan Martinus. Merekalah yang membantu Yosef keluar dari hutan menuju tempat pengungsian. Perjalanan keluar dari hutan ke pengungsian memakan waktu selama 3 hari dengan jalan kaki. Selama perjalanan, mereka harus waspada sebab musuh selalu mengintai “Keluar dari hutan harus hati-hati. Kalau tidak, nanti bisa mati kena tembak musuh,” ujarnya dengan suara gemetar. Dengan penuh perjuangan, akhirnya Yosef, Martinus dan beberapa temannya dapat keluar dari hutan dengan selamat. Mereka tinggal di tempat pengungsian dan seringkali harus berpindah-pindah tenda. Yosef merasa hidupnya tidak aman, selalu dipenuhi dengan rasa takut. Dia juga tidak dapat melanjutkan sekolahnya padahal dia punya cita-cita jadi tentara. Keadaan inilah yang mendorong Yosef untuk datang ke Yogyakarta.

Yosef merasa senang, akhirnya dia dapat sampai di kota pelajar dengan selamat. Sama seperti Megi, Yosef juga tinggal di sebuah Panti Asuhan yang dikelola oleh GKKD Yogyakarta. Pada awalnya, Yosef merasa tidak betah tinggal di Yogya dan ingin kembali ke Timor Timur. Hal ini dibenarkan oleh Bu Atun, guru yang membimbing Yosef . Di kelas, Yosef dikenal sebagai anak yang pendiam. Menurut Bu Atun, Yosef terlihat sangat frustrasi, dia sering kali menangis dan menyatakan keinginannya untuk pulang Untunglah, Yosef mendapat dukungan dari guru, teman-teman dan orang tua asuhnya saat ini. Saat ini Yosef terlihat lebih ceria dibandingkan saat pertama kedatangannya. Meskipun tidak akan bisa melupakan kejadian tragis yang pernah dialaminya itu, Yosef mengaku bahwa sekarang sudah tidak ada rasa dendam dan marah kepada kelompok tertentu.

Puspitasari


Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to alifuru67@egroups.com