|
|
Membangun Kembali Unpatti (Oleh: dirahasiakan pengelola) Universitas Pattimura (Unpatti) saat ini sedang membangun delapan gedung baru, yaitu: empat gedung laboratorium, perpustakaan dan gedung perkuliahan di Kota Ambon (Lokasi Kampus Alternatif) dengan dana APBN senilai Rp 13 milyar dan direncanakan akan selesai pertengahan tahun 2002 (Kompas, 23 Oktober 2001, hal. 9). Pembangunan gedung-gedung tersebut patut disambut gembira untuk menjawab berbagai kekurangan infrastruktur yang terasa selama ini. Namum disisi lain, perlu kiranya dikritisi adalah mengapa pembangunan "gedung-gedung" tersebut pada kampus alternatif di Kota Ambon, bukannya pada habitat"-nya yang lama? Akankah pembangungan "gedung-gedung" tersebut efektif ? Paling tidak diduga ada tiga motif yang nampak dibalik pembangunan gedung tersebut, yaitu: Pertama, adanya sikap akomodatif pimpinan Unpatti terhadap berbagai kepentingan. Sadar ataupun tidak; masuk akal (logis) ataupun tidak; realistis ataupun tidak, indikator keberadaan kampus Unpatti terletak pada kampus alternatif di Kota Ambon, karena melalui kampus inilah proses pembelajaran berlangsung bagi kedua golongan seiring dengan kondisi keamanan yang semakin kondusif. Kampus alternatif inilah merupakan satu-satunya "kartu as" Unpatti dalam melakukan negosiasi dengan berbagai stakeholder yang berkaitan dengan masalah pendidikan di daerah maupun di pusat. Untuk jangka pendek pembangunan gedung-gedung tersebut bisa dikatakan efektif karena dapat segera menjawab berbagai kebutuhan pembelajaran yang bersifat emergensi, tetapi dalam jangka panjang tidak akan efektif karena akan memperlemah posisi tawar-menawar (bargainning position) Unpatti terhadap berbagai asetnya dikampus Poka (Kampus Lama). Kelemahan lain, yaitu tidak semua dosen (mungkin juga staf administrasi), baik yang sekarang berada di Ambon memiliki kondisi psikologis yang mantap untuk melakukan tugas tridharma-nya secara "aman" dan optimal, apalagi dosen yang sedang studi S2 dan S3 di luar daerah atau luar negeri merasa kurang "save" untuk "segera" kembali setelah selesai masa studinya. Dengan demikian pembangunan kampus alternatif di Ambon perlu dicermati secara komprehensif sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara aman dan optimal, jika tidak maka mutu jasa pendidikan yang ditawarkan diduga akan rendah sehingga akan kalah dalam persaingan di tingkat regional (Kawasan Timur Indonesia), apalagi di tingkat nasional. Hal ini akan mengkhawatirkan pemakai jasa pendidikan Unpatti (pelanggan sekunder) untuk direkrut pada perusahan mereka. Sebagai konsekuensi logisnya, yaitu akan terjadi mobilitas tenaga kerja terdidik (S1, S2, maupun S3) yang memiliki mutu atau keunggulan kompetetif yang relatif lebih tinggi dibandingkan output Unpatti. Kedua, adanya sikap apatis pimpinan Unpatti terhadap revitalisasi kampus Unpatti yang lama. Sudah setahun lebih, upaya Unpatti untuk kembali ke habitatnya yang lama nampaknya kurang terdengar, bahkan terkesan apatis, masa bodoh, acuh-tak-acuh (indeferen), dan kalaupun ada hal tersebut diduga hanya pada sekedar membangun wacana. Hanya sekedar kamuflase atau kosmetika politik belaka agar tidak dianggap orang sebagai menara gading. Disadari bahwa upaya "repatriasi" Unpatti ke habitatnya lama merupakan upaya strategis, tetapi sangat sensitif dan beresiko tinggi bagi kedudukan pimpinan Unpatti dalam konteks perpolitikan lokal. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa pilihan pada sikap apatis tersebut merupakan suatu sikap ilmiah yang "skeptis" atau sikap "amoral"-nya pimpinan Unpatti karena hanya mau mencuci tangan dari tanggung jawab yang seyogianya dipikulnya. Dimanakah akuntabilitas moral seorang pimpinan universitas terhadap kampus yang dipimpinnya? Beranikah pimpinan Unpatti mengundurkan diri atas ketidakmampuannya mengembalikan Unpatti ke kampusnya yang lama? Entahlah, semoga nuraninya yang bisa menggugah dan menggugatnya. Ketiga, diduga adanya moral luck dari pimpinan Unpatti. Pembangunan kampus di Ambon dengan biaya negara (mungkin berasal dari hutang luar negeri) didasari pada pertimbangan praktis, instantly dan pengambilan keputusan yang didasarkan atas keuntungan yang akan diperoleh (moral luck). Sudah menjadi rahasia publik bahwa dibalik pembangunan delapan gedung tersebut, so pasti ada persenan. Sekitar sepuluh persen dari tiga belas milyar sudah sangat signifikan untuk mengakhiri sebuah jabatan struktural. In-group yang lain, juga kebagian atau bagi-bagi rejeki, falsafah "mumpung"-isme yang digunakan, sementara disisi lain, sikap empati dan upaya kepedulian terhadap civitas akademika yang mengalami kerusuhan "emangnya gue mikirin?" Disadari bahwa banyak hal yang bisa dilakukan untuk membangun Maluku, khususnya membangun kembali Kampus Unpatti, tetapi apakah pembangunan tersebut bersifat fundamental, realistis, "sustainable", dan menjawab kebutuhan (felt-needs) strategis Unpatti? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka saya mengajak kita semua untuk kembali belajar dan merenungkan kembali pembangunan Jepang setelah dibombardir oleh Amerika. Setelah Jepang menyerah kalah pada sekutu pada bulan Agustus 1945, Kaisar Jepang Hirohito mengundang pakar-pakar dari berbagai disiplin ilmu yang masih hidup. Pada kesempatan tersebut Sang Kaisar bertanya :"berapa banyak guru yang masih hidup dinegeri ini?" Pertanyaan tersebut mengundang reaksi dari seorang jenderal yang hadir pada waktu itu, dan balik bertanya: "Yang Mulia, saya sebagai anggota tentara keberatan atas pertanyaan Yang Mulia. Mengapa justeru guru Yang Mulia tanyakan dan bukan tentara? Sebab banyak sekali tentara kita yang meninggal untuk membela tanah air dan Kaisar". Sebagai orang bijaksana Sang Kaisar menjawab: "Tuan-tuan, apabila profesi-profesi yang lain tidak saya tanyakan, harap Tuan-tuan tidak tersinggung. Saya tahu banyak tentara kita yang gugur, dan untuk itu kita semua merasa sedih. Mengapa justeru yang saya tanyakan itu berapa guru yang masih hidup di Jepang, ini tak lain karena melalui guru inilah Jepang akan cepat bangkit kembali. Seperti yang pernah kita ketahui, hampir semua pabrik kita hancur dibom. Banyak pakar kita mati dan sekarang negeri ini hancur dan lumpuh. Kita harus mulai membangun negeri ini dari nol dan hanya melalui gurulah kita dapat membangun kembali negeri ini. Mari kita benahi pendidikan melalui guru-guru kita yang ada. Melalui kerja keras kita, terutama guru-guru, saya yakin Jepang akan bangkit kembali, bahkan akan lebih hebat dari kemampuan kita sebelum perang terjadi" (Kompas, tanggal 16 oktober 2001, hal. 9) Apa yang dikatakan oleh Kaisar Hirohito tersebut memang menjadi kenyataan (the dream comes true). Kita tidak pernah berpikir bahwa pada tahun 1960-an Jepang sudah memproduksi mobil dan sekarang industri mobil Jepang telah menguasai dunia. Menurut Asia Week (Juli 2000) Universitas Kyoto menduduki peringkat pertama pendidikan tinggi di Asia, Universitas Indonesia (peringkat 70), Universitas Gadjah Mada (67), Universitas Diponegoro (77), dan Universitas Airlangga (79). Sedangkan kualitas pendidikan tingkat sekolah dasar yang dilaksanakan oleh International Educational Achievement (IEA) menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi; tingkat SLTP berada pada urutan ke-34 dari 38 negara, untuk kemampuan IPA berada pada urutan ke-32 dari 38 negara (Fasli Jalal, 2001). Terkait dengan pendidikan tinggi, rektor Swiss German University (Prof. Pscheid) mengatakan bahwa Pendidikan memegang peranan yang amat penting dalam pembangunan dan pengembangan sebuah bangsa. Faktor yang terpenting dari pendidikan adalah dosen. Dosen yang menguasai teknologi, yang menguasai masalah, dan mampu berbahasa asing (Kompas tanggal 16 Oktober 2001 hal. 41). Apakah pertanyaan yang dikemukakan oleh Kaisar Hirohito, yaitu: "berapa banyak guru yang masih hidup dinegeri ini?" dan pernyataan Prof Pscheid tentang pentingnya dosen dalam pendidikan tinggi masih relevan sebagai rujukan untuk membangun Maluku, dan membangun Unpatti pada khususnya? Mengapa Hirohito tidak membangun "gedung"-nya Jepang pada waktu itu, tetapi justeru membangun "manusia"-nya, membangun Guru-nya dan membangun Dosen-nya?" Semoga pimpinan Unpatti dan pimpinan Daerah Tingkat I dan II dan semua stakeholder pendidikan di maluku dapat menjawabnya secara jujur! Viva Unpatti, Viva Maluku. Bogor, 30 Oktober 2001 Identitas dirahasiakan pengelola Received via email from: Masariku@yahoogroups.com |