|
|
From: "Joshua Latupatti" joshualatupatti@hotmail.com KEPADA TIM PENELITI LIPI Salam Sejahtera! Saudara-saudara sebangsa, Saya ingin menyampaikan sedikit pesan kepada "Tim Peneliti LIPPI", yang menulis sebuah buku, dengan memasukkan Maluku sebagai salah satu kasus bahasan. Saya tertarik untuk memberikan komentar sehubungan dengan digunakannya istilah "akar masalah" di dalam tulisan/buku tersebut! TIM PENELITI LIPI: Buku ini menunjukkan sejumlah bukti; ancaman disintegrasi merupakan kekecewaan rakyat terhadap pemerintahnya. Runtuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah Presiden Soeharto pada Mei 1998 menandai berakhirnya era kepengapan dalam dunia sosial politik serta manipulasi kekuasaan hukum, ekonomi, dan politik di Indonesia JOSHUA: Di sini, kalian sebagai Penulis (Tim Peneliti LIPI) telah memberikan "gambaran umum" yang sangat jelas, tentang upaya pengungkapan "akar permasalahan" dari apa yang kalian sebutkan sebagai "Konflik-Konflik Lokal", yang menjadi ancaman disintegrasi bagi NKRI. Artinya, sedikit banyaknya, "akar permasalahan umum" di atas, akan terlihat juga pada semua daerah yang disoroti, selain dari "akar permasalahan khusus" dari masing-masing daerah tersebut. Sebagai contoh! TIM PENELITI LIPI: JOSHUA: Yang saya coba katakan dengan mengklasifikasi alasan-alasan di atas adalah bahwa tidak selamanya, konflik/pergolakan di daerah itu disebabkan oleh masalah "ketimpangan sosial ekonomi", tetapi dapat disebabkan oleh masalah lain, seperti "intervensi pemerintah pusat" terhadap tradisi atau budaya lokal, atau "intimidasi melalui aksi unjuk kekuatan oleh pendatang terhadap penduduk asli", atau "persoalan sosial yang berkaitan dengan masalah agama" (yang juga sering melibatkan intervensi pemerintah pusat)! Jadi, kalian bisa saja mengatakan bahwa klasifikasi saya terhadadap "alasan-alasan konflik di Aceh" di atas tidak benar, tetapi kalian pasti tahu apa yang ingin saya sampaikan dengan membuat klasifikasi tersebut. Sekarang kita ke Maluku! TIM PENELITI LIPI: JOSHUA: Jika "runtuhnya tradisi Pela-Gandong" memang dipicu oleh "kesenjangan sosial ekonomi", berarti salah satu pihak yang ber-Pela-Gandong, Islam atau Kristen, tampil sebagai pihak yang lebih superior sosial ekonominya, dari pihak lain! Kenyataannya, pihak Kristen lebih banyak menekuni bidang Pendidikan dan formal lainnya, sementara pihak Islam lebih cenderung untuk menekuni bidang informal. Hal ini harus diterima, dengan beberapa pengecualian, misalnya bahwa bidang informal-perdagangan juga dikuasai oleh warga keturunan Tionghoa yang mayoritas beragama Kristen, sedangkan beberapa tokoh di bidang formal juga berasal dari pihak Muslim. Jika itu saja akar masalahnya, maka Konflik Maluku sudah lama reda, karena belum mampu mengha pus kekuatan Pela-Gandong secara total dari Maluku! Jika "runtuhnya tradisi Pela-Gandong" dipicu oleh "kesenjangan sosial ekonomi yang melibatkan "pihak pendatang", maka sebagai penliti LIPI, kalian seharusnya sudah tahu tentang motto war ga Maluku, terutama Maluku Tengah, yaitu "biar miskin asal senang", sehingga istilah "senang" itu hanya sedikit kaitannya dengan masalah sosial-ekonomi yang katanya menimbulkan rasa cemburu. Jika kecemburuan sosial-ekonomi itu terarah kepada warga pendatang yang lebih hidupnya mapan (seperti kata si sosiolego), maka pertikaian seharusnya terjadi antara warga asli dengan warga pendatang. Sementara itu, para gelandangan dan peminta-minta yang tidur di emper-emper toko dan di los-los pasar, adalah warga pendatang. Siapa sebenarnya yang harus cemburu pada siapa? Masalahnya adalah jika "identitas" Maluku/ Ambonnya hendak dihilangkan, dimana Pemerintah NKRI turut mengambil bagian di dalamnya! Labih runyam lagi, jika kalian yang berkubang pada badan yang bernama besar seperti LIPI, lalu mengklaim Konflik Maluku sebagai "cetusan kekecewaan daerah terhadap Pemerintah Pusat", sehingga menimbulkan "pergolakan disintegrasi" terhadap NKRI! Kalian akan terlihat "sama dungu"-nya atau "sama bobrok akhlak"-nya dengan "laskar jahad"! Yang merusak tradisi Pela-Gandong kami adalah "Pemerintah NKRI" sendiri melalui perubahan "Negeri Adat" menjadi "Kelurahan"! Dengan mengacaukan "keseimbangan" di Maluku melalui trasmigrasi dan banjir pendatang Muslim, terutama dari Sulsel dan Sultra! Dengan meniup-niupkan bara "perbedaan agama" dan mengungkit-ungkit masalah RMS, yang sebenarnya adalah "gambaran kebusukan RI sendiri", tetapi yang ditutup-tutupi dan diputar-balikkan!! Tanyakan sendiri kepada begundal-begundal seperti si "kopral dungu-Rustam Kastor", dan si "munafik-Hendropriyono"! Jika kalian benar-benar bertaraf peneliti dan layak duduk di dalam lembaga yang berorientasi Ilmiah, seharusnya kalian sudah tahu, bahwa "Konflik Maluku adalah Konflik Politik rekayasa Jakarta, dengan menunggangi Agama! Sayangnya, kalian hanya setara dengan si "kopral dungu-Rustam Kastor", si "sosisolego-Imam Prasodjo", "laskar jahad", MUI dll.! Alangkah malangnya suatu Negara yang memiliki "Lembaga Ilmu Pengetahuan" bermutu rendah seperti kalian, yang di dalamnya intimidasi dan tekanan serta KKN berbau agama merajalela! Orang-orang seperti kalian inilah yang memberikan andil ke dalam "akumulasi kejahatan Pemerintah RI dan NKRI atas Maluku", yang menjadi "akar permasalahan bagi Konflik Maluku"! Apa solusinya? Pikirkan sendiri jika kejujuran masih mau mendukung inteligen sia kalian! Yang jelas dan factual adalah bahwa "Konflik Maluku TIDAK disebabkan oleh kekecewaan Daerah terhadap Negara, sehingga menimbulkan gejolak yang berbau sepratisme"! Yang mengingatkkan Maluku tentang RMS adalah "slogan munafik laskar jahad, untuk menghalalkan kebiadaban mereka", dan "kebusukan Pemerintah NKRI-rezim Orba, malah yang terutama, Pemerintah NKRI-rezim Reformasi! Jika masih bisa memfungsikan akal kalian secara benar, pikirkanlah mengapa saya menggunakan istilah "rezim" bagi kedua orde Pemerintahan. Jika terasa terlalu sukar, analisa saja kasus "pengadilan dr. Alex Manuputty di sini (Ambon)", sekarang ini! Salam Sejahtera!!! JL. Received via email from: Alifuru67@egroups.com |