The Cross
Under the Cross

Listen to the News
English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2001 -
1364283024
& 1367286044


Ambon - Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

Sabtu, 8 September 2001

Konflik Maluku
"Ini Bukan Perang Agama"

TIDAK seorang pun dapat mengatakan kapan konflik Maluku akan selesai. Di Ambon dan sekitarnya saja, jumlah korban tewas sejak konflik pecah secara terbuka sejak 19 Januari 1999 sampai Desember 2000 tercatat 8.000 sampai 9.000 orang dan 700.000 orang lainnya hingga kini masih hidup terlunta-lunta menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Meski konflik terbuka cenderung reda, hampir tiap hari terjadi insiden-insiden yang meminta korban. Masyarakat hidup terbelah dalam kelompok masyarakat Muslim dan Kristen yang hanya bisa berinteraksi di kantor gubernur, sejumlah kecil kantung wilayah netral, atau di luar wilayah Maluku.

"Masyarakat sudah jenuh karena begitu banyak korban. Keadaan sekarang agak membaik. Sekarang, bila ada sedikit bunyi-bunyian, masyarakat tidak lagi terpancing," kata Raja Passo Ny Theresye Maitimu yang memimpin wilayah yang dihuni sekitar 13.000 warga Kristen, pekan lalu.

Kerinduan untuk kembali hidup rukun juga dikemukakan oleh Raja Seith Mahfud Nukulele, tokoh berpengaruh di kalangan raja-raja di jazirah Leihitu yang didominasi masyarakat Muslim. Wilayah yang dikuasai Nukulele tidak pernah diserang karena agak berjauhan dari Kota Ambon. Pada saat konflik meletus dan Masjid Al Fatah di Ambon dikabarkan terbakar, pemuda-pemuda di desa yang dikenal dengan tokoh-tokoh perlawanan pemberani pada masa kolonial itu justru masuk ke Ambon. Jazirah Leihitu dan Baguala-Passo tidak terlibat saling serang karena ada jaminan dari masing-masing pihak untuk tidak saling menyerang.

"Tiga desa di Leihitu yang merupakan wilayah Kristen tetap kami lindungi. Mereka terikat dalam hubungan pela dan gandong secara turun-menurun," kata Nukulele.

Nukulele dan Maitimu merupakan dua tokoh adat yang aktif terlibat dalam kegiatan Baku Bae, gerakan yang diprakarsai dari bawah untuk menghentikan kekerasan dan berupaya mencari penyelesaian konflik Maluku sampai ke sumber masalah. Gerakan yang diprakarsai para aktivis organisasi nonpemerintah dari Jakarta dan Maluku itu, setelah berlangsung selama hampir 17 bulan, berhasil membuka dialog dan merajut kembali berbagai segmen masyarakat dari para korban, pemimpin adat, raja-raja, pemimpin perang, intelektual, dan pemuka agama yang terlibat da-lam konflik.

Tim Baku Bae Maluku baru-baru ini memperoleh anugerah Suadi Tasrif atas komitmen dan integritas moralnya dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi dan ikut mendorong pendekatan jurnalisme kemanusiaan, jurnalisme yang tidak melibatkan diri memperpanjang konflik. Anu-gerah Suadi Tasrif diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk mengenang jasa almarhum sebagai jurnalis dan pengacara yang gigih memperjuangkan hak-hak publik atas informasi.

"Anugerah ini merupakan kebanggaan bagi kami dan akan menjadi motivasi untuk bergerak lebih lanjut. Kami merencanakan menitipkan anugerah ini kepada penguasa darurat sipil sebab puncak kegiatan kami nanti adalah musyawarah besar rakyat Maluku," kata Nukulele.

***

JALAN untuk menyelesaikan konflik Maluku masih panjang, apalagi bicara soal rekonsiliasi atau damai. "Sampai sekarang kami belum sampai bicara damai atau saling memaafkan. Pembicaraan kami baru pada tingkat bagaimana mencari solusi untuk menghentikan kekerasan, menghentikan pertikaian dan permusuhan," kata Nukulele.

Di kalangan Muslim, kata Nukulele, ada tuntutan untuk membongkar siapa perencana peristiwa Idul Fitri berdarah Januari 1999. Menurut dia, apabila terungkap dalang di balik peristiwa itu dan pelakunya diadili, konflik yang terjadi sekarang akan menurun.

"Kami hanya bicara tentang penghentian kekerasan dan meminta kepada warga untuk menahan diri, jangan saling menyerang. Serangan-serangan yang terjadi selama ini banyak karena isu perang agama. Namun, belakangan, setelah kami mencermati hari demi hari dan terus mengikuti perkembangan, masalah sebenarnya ternyata bukan perang agama," ujar Nukulele.

Agama, kata Ny Maitimu, hanya dipakai sebagai kendaraan. "Kalau perang agama, mana mungkin saya bertemu dengan Bapak Mahfud. Itu terjadi ketika konflik masih hangat-hangatnya," ujarnya.

Akibat konflik meletus, sekitar 4.000 warga Muslim di Passo mengungsi mencari tempat yang dirasa lebih aman di Halong, kompleks milik TNI AL. "Di sana komunitas Kristen dan Muslim bisa berbelanja bersama-sama. Saling ngobrol seperti biasa. Tidak ada permusuhan agama. Kami bertemu dan saling menyesal mengapa semua ini mesti terjadi. Kalau ini perang agama, mestinya kami membenci satu sama lain," kata Ny Maitimu.

Mengubah opini masyarakat bahwa konflik Maluku bukan konflik agama, kata Nukulele, bukan hal yang mudah dan perlu waktu lama. Nukulele mendiskusikan masalah ini dengan raja-raja lain di kawasan Lei-hitu dan mencermati setiap perkembangan.

"Kami bertanya-tanya apakah benar ini konflik agama atau hanya akibat kepentingan-kepentingan politik. Kami melihat bahwa yang jadi korban adalah rakyat kami sendiri, bukan orang lain. Isu agama telah dipakai untuk menjerumuskan dua komunitas Muslim dan Kristen dalam bentrok," ucapnya.

Pemahaman itu disampaikan kepada masyarakat dan tokoh-tokoh pemuda, baik melalui rapat-rapat maupun khotbah di masjid-masjid. "Kami juga memberikan kesibukan kepada para pengungsi dengan mengikutkan mereka dalam kegiatan pertanian. Begitu banyak pengungsi membuat mereka frustrasi," ujar Nukulele.

Tanpa Baku Bae pun, kata tokoh masyarakat Kristen di Saparua Piet Manoppo, masyarakat mencari jalan alternatif untuk keluar dari konflik. Di tengah distorsi informasi bahwa konflik Maluku adalah konflik agama, masyarakat Kristen dan Muslim mencari jalan untuk berkomunikasi dan melakukan transaksi. "Mereka bahkan melakukan transaksi di tengah
laut," kata Manoppo.

Isu agama dan separatisme, tutur Manoppo, dalam konflik Maluku merupakan bentuk pembodohan bagi masyarakat karena di lapangan terbukti bahwa masalah yang ada berakar pada persoalan-persoalan negara dengan subyek masyarakat Maluku. Potensi-potensi destruktif, kata Manoppo, memang ada di Maluku, namun konflik Maluku tidak seratus persen dilakukan oleh orang Maluku.

"Masyarakat Maluku ibarat rumput kering. Ada bunga api sedikit saja bisa terbakar. Karena itu, penyelesaian konflik Maluku sangat tergantung pada nurani semua pihak bahwa konflik Maluku bukan komoditas politik dan ekonomi," ujarnya.

Dalam pertemuan para pemuka agama dari Maluku di Bogor, Juli lalu, sejumlah tokoh agama Islam, Kristen, dan Katolik mengambil kesimpulan, konflik Maluku bukan konflik antaragama, tetapi konflik yang melibatkan umat beragama. Simbol agama dieksploitasi dan dipolitisasi oleh para elite kekerasan sehingga menimbulkan suasana eksplosif dan tidak aman pada masyarakat Maluku.

"Simbol-simbol agama dipergunakan untuk menghancurkan rakyat Maluku," kata Ichsan Malik, fasilitator Baku Bae Maluku. (Bambang Wisudo)

© C o p y r i g h t   1 9 9 8   Harian Kompas


Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to alifuru67@egroups.com