|
|
Gerakan Baku Bae Maluku ABUBAKAR Riry, 35 tahun, pernah bermandi lumpur dan darah dalam konflik Maluku. Kapitan perang asal Desa Luhu, Ambon, itu kini justru berbalik menjadi tokoh pemuda yang bergiat dalam upaya menghentikan kekerasan dan mencari penyelesaian konflik Maluku. Ia sekarang memilih melawan para penganjur perang yang mengakibakan konflik Maluku berlarut-larut.Ketika kabar umat Islam makin terdesak dan masjid Al Fatah terbakar sampai di telinganya sehari setelah insiden Idul Fitri berdarah 19 Januari 1999, Abubakar bergerak memimpin pasukan yang terdiri dari 165 pemuda masuk Kota Ambon. Empat di antaranya saudara sekandungnya sendiri. Dalam petualangan perang sampai ke Jailolo dan Tobelo di Maluku, 10 anggota pasukannya tewas, 23 luka berat, dan tiga di antaranya cacat seumur hidup. Enam dari 10 anggota pasukannya yang tewas telah beranak-istri. Demikian pula seorang dari korban yang cacat. "Apa yang kami dapatkan dari perang? Semua ini hanya menyengsarakan rakyat Maluku. Siapa pula yang harus menghidupi anak dan istri kawan-kawan saya yang tewas dan cacat?" kata Abubakar, mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Maluku. Ia kemudian bergabung dalam gerakan Baku Bae, sebuah inisiatif dari masyarakat yang bergulat mencari penyelesaian konflik Maluku, dalam pertemuan sejumlah tokoh pemuda, mahasiswa, pemimpin adat, dan pemuka agama di Bali, Oktober 2000. Sejak itu ia terlibat aktif dalam kepanitian bersama (joint committee) untuk baku bae di Maluku. Baku Bae merupakan istilah yang dipakai dalam permainan tradisional anak-anak di Ambon untuk menandai rujuk saat pertengkaran berakhir. Keterlibatannya dalam Baku Bae bukan berarti ia terbebas dari risiko kehilangan nyawa. Ia justru dihujani dengan tuduhan berkhianat, menerima uang sogok, dan di kalangan kaum militan dalam kelompoknya ia dibenarkan untuk dibunuh. Teror tidak menyurutkan nyalinya untuk berkampanye menghentikan kekerasan di Maluku dan ikut merajut benang-benang antar kelompok masyarakat yang terputus karena pembelokan isu konflik Maluku menjadi perang agama. "Hidup mati bukan punya siapa-siapa, tetapi punya Allah. Saya lari atau sembunyi sekalipun, Allah tetap dapat mengambil saya," kata Abdurrahman. Risiko-risiko yang sama dihadapi tokoh-tokoh dari kelompok masyarakat Kristen yang bergabung dalam tim tersebut. Namun, menurut Pendeta Piet Manoppo, perlahan-lahan umat Kristen bisa diyakinkan bahwa ada simpul-simpul alternatif yang dapat dilakukan untuk bergerak menuju rekonsiliasi. Manoppo bergabung sejak awal dalam gerakan Baku Bae dan berhasil meyakinkan banyak tokoh-tokoh Kristen untuk menghentikan kekerasan dan terlibat dalam gerakan itu. Tim Baku Bae Maluku bergerak secara diam-diam hampir 17 bulan tanpa banyak publikasi, apalagi dukungan dari negara. Bukan dukungan atau pujian yang mereka dapatkan, tetapi justru berbagai teror, hujatan, dan kecurigaan, dan ancaman pembunuhan. Hasyim Sanaky (19), salah satu anggota Tim Baku Bae, tewas saat perahu cepatnya diserang berondongan peluru dalam perjalanan melakukan jajak pendapat menuju Saparua. HM Jusuf Ely, salah seorang pemimpin umat Islam di Maluku, tidak lepas dari aksi-aksi kekerasan akibat keterlibatannya dalam gerakan Baku Bae. Sebagian rumahnya hancur karena dibom, meski ia selamat dari aksi penyerangan itu. Kekerasan dan teror itu pula yang mengakibatkan tiga anggota Tim Baku Bae mengundurkan diri. *** GERAKAN Baku Bae Maluku berawal dari pertemuan-pertemuan informal yang diprakarsai aktivis organisasi nonpemerintah Ichsan Malik. Pertemuan-pertemuan itu itu dilakukan di kalangan aktivis NGO di kelompok Kristen yang diwadahi dalam Yayasan Hualopu dan kelompok Muslim yang tergabung dalam Inovasi Group. Ichsan juga melakukan pertemuan informal dengan sejumlah aktivis Komando Jihad di Kaliurang, Yogyakarta, dengan aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan berbagai kelompok masyarakat lainnya. Para aktivis NGO itu kemudian membentuk panitia bersama untuk Baku Bae Maluku. Kegiatan tersebut berlanjut dengan pertemuan formal 12 tokoh dari kelompok masyarakat Muslim dan masyarakat Kristen Maluku di Jakarta. Pertemuan pertama berlangsung sengit, terjadi saling tuding dan saling menyalahkan antarkedua kelompok. Namun, kebebasan untuk mengungkapkan apa adanya itu justru membuka pemahaman dan pendirian masing-masing kelompok sehingga menghasilkan naskah "Suara Hati Korban Kerusuhan Maluku". Kegiatan itu berlanjut dengan pertemuan kedua di Bali yang diikuti 40 tokoh dari kelompok Muslim maupun Kristen. Pertemuan ketiga melibatkan semakin banyak orang dan segmen masyarakat yang terlibat. Pertemuan ketiga di Yogyakarta melibatkan 80 orang dari kedua kelompok dengan melibatkan para korban, pemuka agama, tokoh adat, para kapitan perang, dan tokoh-tokoh intelektual. Pertemuan ketiga menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan zona-zona netral untuk kegiatan ekonomi, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Baku Bae menetapkan dua zona netral di Nania dengan melibatkan komunitas Baguala-Passo (Kristen) dan komunitas jazirah Leihitu (Muslim) dan di Pule dengan melibatkan masyarakat kota di sekitar kawasan Pohon Puleh, Ambon. Setelah itu mereka akan melakukan kegiatan persiapan penegakan hukum, antara lain dengan membentuk tim investigasi independen untuk mencari dan membongkar akar masalah konflik Maluku. Sejak pertemuan ketiga itu, Baku Bae mulai membuka diri kepada publik dan media massa. Mereka kemudian menyebarluaskan hasil pertemuan Baku Bae ke sejumlah kota besar di Tanah Air dan ke sejumlah negara. "Selama sembilan bulan kami bekerja diam-diam dan menghindari semua publikasi. Ketertutupan ini sengaja dilakukan untuk menjaga keamanan peserta dan untuk menghindari provokasi dari luar yang selalu terjadi pada setiap inisiatif ke arah rekonsiliasi Maluku," kata Ichsan. Pertemuan-pertemuan dalam segmen masyarakat tertentu juga dilakukan, antara lain pertemuan di kalangan para pendidik, pemuda, dan para pemuka agama. Dalam waktu dekat akan diselenggarakan pertemuan antara dosen dan tokoh intelektual Maluku serta pertemuan raja-raja Ambon, khususnya di jazirah Leihitu dan Baguala Passo. Per-temuan itu diharapkan akan mendorong pembaruan kembali pela setelah sekian lama mereka tidak saling bertemu. Target selanjutnya mereka akan melibatkan pemerintah darurat sipil dan unsur-unsur masyarakat lain untuk berga-bung dalam panitia bersama mempersiapkan penyelengga-raan Musyawarah Baku Bae Maluku. *** JALAN menuju rekonsiliasi masyarakat Maluku masih panjang. Mengandalkan penyelesaian konflik Maluku semata-mata kepada kehadiran pasukan militer dalam darurat sipil tidak mungkin dilakukan. Penyelesaian konflik Maluku secara tuntas, transformasi konflik dengan menyelesaikan akar masalah, hanya bisa dilakukan dengan pendekatan sipil, bukan represi. Kehadiran aparat keamanan diperlukan untuk menghentikan perluasan kekerasan, setelah itu adalah tugas birokrasi dan kelompok-kelompok masyarakat madani untuk menyelesaikannya. Pada mulanya, kata Mahfud, masyarakat di wilayahnya agak ragu dengan keterlibatannya dalam gerakan Bak Bae. Di tengah keraguan itu ia selalu menyampaikan perkembangan kegiatan Baku Bae kepada raja-raja lain dan masyarakat di jazirah Leihitu. Mereka juga terus mencermati perkembangan-perkembangan yang ada, yang makin meyakinkan bahwa konflik yang terjadi bukan karena agama, tetapi lebih karena persoalan politik. Pendeta Piet Manoppo dari Saparua mengemukakan, di pihak Kristen pada mulanya ada keraguan terhadap gerakan Ba-ku Bae. Apalagi ketika upaya-upaya itu dilakukan, kekerasan dan teror masih terus terjadi. "Mereka mempertanyakan apa-kah Baku Bae dapat jadi simpul alternatif menyelesaikan konflik Maluku," kata Manoppo. Namun, melalui sosialisasi yang dilakukan secara intensif warga Kristen pada umumnya mendukung gerakan tersebut. Raja Passo Ny Theresye Maitimu juga menyatakan hal yang sama. Dengan pendekatan dan penjelasan intensif masyarakat mulai bisa mengerti bahwa konflik Maluku bukan perang agama. *** MUSYAWARAH Baku Bae yang diharapkan bisa berlangsung April 2002 merupakan puncak semua upaya menuju penghentian kekerasan. Musyawarah ini diharapakan menghasilkan protokol seruan penghentian kekerasan terhadap kemanusiaan secara total. Seluruh komponen yang telah dirajut dalam proses Bakubae akan disertakan. Demikian pula kelompok-kelompok masyarakat lainnya, intelektual organisasi-organisasi nonpemerintah, DPRD, dan pemerintah daerah. Pendekatan dari bawah dengan metode-metode sipil ini membedakan gerakan rekonsiliasi yang dari atas yang cenderung bersifat instruktif, hanya melibatkan tokoh-tokoh puncak secara politis, dan bersifat ritual. Beberapa kali pemerintah Jakarta maupun pemerintah daerah melakukan kegiatan seperti ini, juga di daerah-daerah lain di luar Maluku yang menghadapi konflik sosial, namun kemudian kandas di tengah jalan. Gerakan dari bawah di Maluku Tenggara yang dimotori oleh Keluarga Besar Masyarakat Maluku Tenggara (KBBMT) juga membuktikan bahwa hanya melalui cara-cara sipil konflik secara bertahap dapat diselesaikan tidak hanya di tingkat permukaan saja. Musyawarah Baku Bae bu-kannya tanpa ancaman. Kelompok-kelompok militan, para penganjur perang, dan mereka yang memperoleh manfaat dari konflik yang berkelanjutan merupakan ancaman nyata bagi kegiatan semacam ini. Namun, para peserta Baku Bae tidak mundur, tetapi terus membuka komunikasi dengan unsur-unsur masyarakat lain yang memiliki keprihatinan terhadap Maluku dan tokoh-tokoh politik, birokrasi, dan militer yang masih berhatinurani. "Kami tidak peduli pada ancaman-ancaman karena rakyat telah mengerti. Mereka yang akan menjaga kegiatan ini. Kami siap menghadapinya," kata Ichsan Malik. (Bambang Wisudo)
|