KOMPAS, Selasa, 13 November 2001
Kabupaten Maluku Tenggara
MUNGKIN karena letaknya lebih jauh dan terpencil dari Kota Ambon, Maluku
Tenggara kurang populer. Sejak abad ke-15, nama Maluku sudah dikenal lewat
berbagai literatur lama, namun biasanya yang sering disebut adalah Ternate, Tidore,
Halmahera, Seram, atau Ambon sendiri. Nama-nama daerah di Maluku Tenggara
seperti Aru, Kei, atau Tanimbar seolah kalah populer.Aru umpamanya. Kepulauan ini
pernah menjadi mimpi banyak petualang di mana-mana. Dulu, penduduk Aru sering
menjual burung cendrawasih tanpa kaki kepada pelaut-pelaut asing yang singgah di
sana. Sebegitu mempesonanya unggas itu -biarpun cuma berupa bulu dan tubuh-
sampai-sampai orang di Eropa yakin bahwa ! burung itu memang kawin dan bertelur
di 'awan', lalu menyimpulkan bahwa cendrawasih berasal dari surga! Ahli botani dan
taksonomi Carolus Linnaeus (1707-1778) bahkan menamainya Paradisaea apoda,
burung surga tak berkaki.
Dalam buku "Ring of Fire" (1988), catatan Linnaeus juga mengilhami petualang kakak
beradik Blair dari Inggris yang berlayar sembilan bulan di Indonesia pada tahun 1973.
Rupanya salah satu misi utama petualangan mereka adalah membuktikan pesona
cendrawasih.
Maluku Tenggara kenyataannya memang jauh dan terpencil. Keadaaan ini sudah
coba diatasi sejak dulu. Bersama Maluku Tengah dan Kota Ambon, bekas wilayah
Residentie de Zuid Molukken ini resmi menjadi bagian dari Maluku Selatan dengan
status kabupaten pada 17 Agustus 1945.
Lokasinya yang jauh, terutama dari Ambon, ternyata dirasakan sering menghambat
komunikasi, baik dalam perhubungan maupun pelayanan. Melalui Sidang Dewan
Maluku Selatan (1950-1951), Maluku Selatan dibagi menjadi Maluku Tengah dan
Maluku Tenggara. Pada tahun 1957 Maluku Tenggara menjadi Daerah Swatantra
Tingkat II dengan ibu kota Tual, dan baru di tahun 1974 resmi menjadi kabupaten
dengan delapan kecamatan, Pulau-pulau Terselatan, Letti Moa Lakor, Pulau-pulau
Babar, Tanimbar Selatan, Tanimbar Utara, Kei Kecil, Kei Besar, dan Pulau-pulau Aru.
Agar pelayanan pemerintahan dan kemasyarakatan lebih baik lagi, di tahun 1999
pemerintah menetapkan pembentukan Ka-bupaten Maluku Tenggara Barat melalui
Undang-Undang (UU) Nomor 46 Tahun 1999 dan UU No 6/2000. Maluku Tenggara kini
meliputi tiga kecamatan-Kei Besar, Kei Kecil, dan Pulau-pulau Aru-dengan luas
keseluruhan 10.374 kilometer persegi.
Setelah pemekaran, tetap saja Maluku Tenggara terpencil. Mengapa?
Apalagi setelah terjadi keru-suhan di Maluku sekitar tahun 1998, penerbangan dari
Ambon ke Tual kini terhenti. Sekarang, pergi ke Tual berarti harus ke Kota Sorong (di
Irian Jaya) dulu lalu disambung dengan pelayaran dengan kapal Pelni. Ini memakan
waktu sekitar 26 jam, itu pun dengan catatan, jadwal pelayaran tidak rutin dan tidak
tentu.
Biarpun terpencil, Maluku Tenggara ibarat kerang kusam yang sebetulnya menyimpan
mutiara indah. Laut berikut flora dan fauna berpotensi sebagai 'mutiara' itu.
Sektor yang paling berperan dalam kegiatan ekonomi kurun waktu 1996-1999 adalah
pertanian, khususnya perikanan. Pada tahun 1996, sumbangan perikanan besarnya
16,81 persen. Tiga tahun kemudian sumbangan perikanan meningkat hingga 21,15
persen. Tahun 1995 kabupaten ini bisa dibilang unggul dalam produksi dan nilai hasil
perikanan. Untuk produksi ikan, jenis andalannya adalah cucut, lencan, kuwe, dan
tenggiri. Sedangkan non-ikan, teripang lola dan siput mutiara.
Sayangnya, 'mutiara' itu harus berhadapan dengan banyak masalah. Sumber daya
laut di Maluku Tenggara kini dalam keadaan mengkhawatirkan, terutama oleh polusi
akibat perusakan terumbu karang dan kegiatan penangkapan ikan hidup dengan
bahan-bahan kimia dan bom. Selain itu, eksploitasi ikan -terutama di perairan Aru dan
Kei Kecil-lebih banyak dilakukan oleh kapal-kapal asing yang bebas beroperasi
dengan pola tangkap jaring. Bukan hal baru lagi kalau eksploitasi itu membuat
masyarakat sekitar tidak bisa berbuat banyak. Kalaupun ada limbah berupa
jenis-jenis ikan yang tidak diolah kapal-kapal asing itu, semuanya berakhir dengan
dibuang ke laut.
Selain perikanan, pariwisata bukan tidak mungkin dimanfaatkan untuk mendukung
kegiatan ekonomi Maluku Tenggara. Keindahan alam seperti pantai, maupun fauna
khas-seperti cendrawasih, nuri, dugong, penyu hijau, serta kanguru kecil, dan adat
istiadat masyarakat sering disebut sebagai faktor yang semestinya bisa
dikembangkan. Termasuk untuk memperbaiki tingkat kehidupan masyarakatnya.
Hanya saja, banyak hal lain yang kelihatannya harus serius dibenahi pemerintah.
Selain pencemaran laut dan eksploitasi kapal asing, batas wilayah Maluku Tenggara
yang berdekatan dengan negara-negara lain bisa membuat pihak asing lebih cepat
masuk ke Maluku Tenggara untuk berbisnis. Akankah nasib Maluku Tenggara harus
terus-menerus seperti cendrawasih tak berkaki? (Krishna P Panolih/Litbang
Kompas)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|