|
|
KOMPAS, Senin, 29 Oktober 2001 Mereka Coba Merajut Maluku DUA tahun lebih sudah Siti Sangaji bergulat dengan masalah pengungsi. Seluruh keluarganya telah pindah ke Semarang sejak kerusuhan meletus di Ambon Januari 1999. Ia memilih tetap bertahan, ikut bertahan dengan penderitaan para pengungsi, tinggal di barak sempit yang hanya dipisahkan dengan dinding-dinding tripleks. Sebagian besar hari-harinya dilewatkan di lokasi pengungsian yang menempati kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) di Waihong, Ambon.Saya suka saja tinggal di sini. Saya pernah ke Jakarta, ke Jawa, kemana-mana, tetapi tetap lebih senang kembali ke sini. Panggilan hati saya memang di sini. Sulit bila semua orang hanya mau cari enaknya," kata Siti Sangaji, koordinator pengungsi di THR Ambon. Kompleks taman hiburan itu kini dihuni sekitar 314 kepala keluarga dengan sekitar 1.300 jiwa. Mereka semula tinggal di gedung THR tanpa penyekat. Baru sekitar empat bulan belakangan barak-barak dibuat dan ruangan disekat-sekat dengan menggunakan papan tripleks. Sebuah masjid telah dibangun di tengah-tengah kompleks. Tidak ada taman bermain dan tempat belajar. Di luar kegiatan sekolah, anak-anak dan remaja menghabiskan waktunya dengan bermain sepak bola dengan gawang mini di depan pintu gerbang. "Anak-anak remaja Ambon paling tidak kreatif. Kalau bikin bom bisa tetapi keterampilan lainnya tidak. Emosi sangat tinggi. Berantem dengan kawannya saja bom bisa meledak," kata Siti. Hidup begitu lama di pengungsian, tutur Siti, membuat orang stres. Rahasia keluarga menjadi pengetahuan umum. Mau tak mau kuping akan mendengar pembicaraan dan pertengkaran tetangga karena dinding pembatas antara keluarga satu dengan yang lain sangat tipis. Banyak keluarga yang kehilangan mata pencahariannya dan terpaksa menjadi buruh liar di pelabuhan dengan penghasilan yang tidak menentu. Beberapa pengungsi tidak hanya kehilangan harta bendanya tetapi juga mengalami cacat tubuh. "Di sini ada sekitar 20 bapak yang cacat. Tangan atau kakinya putus. Kalau suaminya cacat, mau tidak mau ibu-ibu harus mengambil alih posisi pencari nafkah. Mereka berjualan di pasar atau jadi pedagang asongan," tutur Siti. Konflik mendorong kaum perempuan tampil di depan. Mereka bergerak di tempat-tempat pengungsian, terjun di organisasi-organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, maupun terlibat langsung dalam gerakan resolusi konflik. Sejumlah tokoh perempuan di Maluku membentuk Gerakan Perempuan Peduli (GPP) yang aktif dalam kegiatan kemanusiaan maupun resolusi konflik. Sebagian besar perempuan lainnya secara tidak langsung berada dalam barisan oposisi terhadap kekerasan dengan mencegah suami terlibat dalam aksi-aksi penyerangan. ***DUET Sr Brigitta Renyaan, PBHK dan Sr Fransisco Moons, PBHK dari Yayasan Rinamakana merupakan dua tokoh perempuan dari gereja Katolik yang sangat giat dalam gerakan sosial kemanusiaan dalam menangani konflik. Kedua-duanya terlibat aktif dalam kepengurusan GPP. "Saya sebenarnya telah dipindahtugaskan ke Jakarta tetapi saya memutuskan tetap tinggal di sini. Ini tugas kemanusiaan yang tidak bisa saya tinggalkan," kata Renyaan. Peristiwa-peristiwa antara Agustus hingga November 1999 tidak bisa dilupakan oleh Renyaan. Rumah-rumah dan seluruh bangunan di Ahuru terbakar dalam penyerangan yang bertubi-tubi. "Yang paling menyedihkan saya ketika melihat rumah orang-orang kecil dalam sekejap musnah dilalap api. Padahal mereka telah berjuang keras tahun demi tahun. Kalau gedung gereja dihancurkan, itu hanya simbol. Tetapi ini manusia-manusia dihancurkan. Perempuan dan anak-anak menjadi korban kekerasan," tutur Renyaan. Sampai bulan November 1999 Renyaan dan sekitar 55 penduduk masih bertahan di Ahuru. Namun pada suatu pagi sebuah mortir jatuh di depan novisiat. Mereka dikepung dari segala penjuru sehingga tidak bisa bertahan. Pasukan dari Armed mengevakuasi mereka. "Sedih sekali saat saya harus meninggalkan daerah itu," kata Renyaan. Kesedihan tidak membuat Renyaan berhenti. Atas permintaan aparat Armed, 26 Desember 1999 ia mengadakan acara Natal dan buka puasa bersama antara anak-anak yatim-piatu dari komunitas Muslim dan Kristen. Namun ketika acara itu akan dilaksanakan situasi sekitar Ambon mulai memanas. Hari itu Gereja Silo dan Masjid An Nur habis terbakar. "Sore itu anak-anak dari panti asuhan, memakai jilbab, sudah siap di asrama Yon 733. Orang-orang berkerumun di mana-mana sehingga mereka dijemput dengan kendaraan Armed. "Anak-anak diturunkan dari mobil persis di depan pintu biara," kata Renyaan. Acara itu ternyata mengundang kemarahan warga Kristen di sekitar biara. Ribuan orang mengepung gedung biara, berteriak-teriak, minta acara itu dibubarkan. Dalam situasi genting Renyaan keluar menemui orang-orang yang marah. Seorang bapak berteriak menuduh Renyaan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. "Saya ini korban. Saya pengungsi. Saya tidak bersenang-senang di atas penderitaan Bapak," jawab Renyaan. Di depan pintu gerbang biara ia menemui demonstran lainnya dan menantang mereka untuk mengebom biara itu. "Kalau mau mengebom silakan saja. Biar semua mati, habis," kata Renyaan. Pertemuan itu berlangsung tanpa insiden meski sesudah itu hujan caci maki baik dari umat Protestan maupun Katolik menimpa dirinya. Keprihatinan kaum perempuan terhadap konflik yang berkepanjangan mendorong sejumlah tokoh perempuan dari kalangan Katolik, Protestan, dan Muslim membentuk GPP. Gerakan ini didukung pula oleh Wakil Gubernur Ny Paula Renyaan dan Ny Saleh Latuconsina, istri gubernur. Para perempuan itu pertama-tama mengadakan doa rutin di komunitas masing-masing, sejam tiap hari, untuk pertobatan bagi siapa saja yang merancang kejahatan bagi masyarakat Maluku. Kaum perempuan itu melangkah lebih jauh dengan menyebarkan pita dan selebaran serta berdemonstrasi menyerukan penghentian kekerasan dan pertikaian. Aksi itu mendapatkan ancaman dari berbagai pihak yang tidak suka peperangan segera dihentikan. Namun para perempuan itu tidak mundur. Mereka terus mengadakan pertemuan ibu-ibu dari berbagai komunitas. Muncullah inisiatif untuk membuat kegiatan pasar murah di Pasar Mardika. "Yang sangat menyakitkan pasar murah itu itu dihancurkan ketika kegiatan baru berjalan dua jam. Kami hanya ingin mengumpulkan perempuan yang kesulitan berbelanja. Namun orang-orang muda itu tidak menghargai kaum perempuan, ibu yang melahirkan mereka. Kaum perempuan dilecehkan oleh hawa nafsu orang-orang itu," kata Renyaan. GPP kemudian bergabung dalam gerakan Baku Bae yang mencoba merajut kembali masyarakat Maluku dengan menyuarakan para korban. Namun Renyaan tetap memberikan perhatian pada anak-anak muda dengan menyelenggarakan konseling terhadap anak-anak yang mengalami trauma konflik, membina anak-anak perang yang tergabung dalam kelompok AGAS, membantu anak-anak pengungsi, dan lain-lainnya. (wis)
|