The Cross
Under the Cross

Listen to the News
English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2001 -
1364283024
& 1367286044


Ambon - Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

KOMPAS, Senin, 29 Oktober 2001

Konflik Sosial di Maluku
Rekonsiliasi dari Pasar Transaksi

PERISTIWA peledakan bom untuk ketigakalinya di lokasi transaksi di Jalan Dr Tamela, Pohon Puleh - Ambon, tidak menggoyahkan niat Jamal, 38 tahun, dan kawan-kawannya untuk tetap berjualan di kawasan itu. Bom ketiga yang meledak di sebuah kios, meminta dua korban jiwa dan belasan lainnya luka-luka. Teror demi teror itu tidak menyurutkan nyali Jamal, pedagang sepatu dan pakaian, tetap berjualan. Namun, tak lama kemudian Wali Kota Ambon MJ Papilaja mengeluarkan larangan bagi pedagang berjualan di situ. Larangan itulah yang mencegah Jamal dan kawan-kawannya terus berjualan di lokasi tersebut.

Penghidupan yang baru saja dimulai, kini direnggut sudah. Omzet dagangannya bisa mencapai Rp 300.000 sehari. Sekarang nol besar. Di antara bangku-bangku kosong yang masih berjajar di atas trotoar mereka hanya duduk-duduk menunggu nasib. Hanya segelintir pedagang saja yang masih nekad menggelar dagangannya.

"Soal bom bagi kita biasa saja. Kita tidak berbuat. Kita datang hanya untuk cari hidup. Tempat ini juga bukan hanya transaksi tapi di sini kita bisa bertemu saudara dan teman-teman, baik Muslim maupun Kristen. Mertua saya Nasrani. Saya baru-baru ini saja bisa bertemu mertua saya, di sini, setelah hampir tiga tahun tidak bisa bertemu," tutur Jamal.

John Edward, 60 tahun, penjual cermin dan alat-alat rumah tangga lainnya, melontarkan pendapat yang sama. "Kami berjualan di sini tidak mencari musuh. Cari hidup. Cari makan. Kalau soal bom, lapor saja pada aparat," ujarnya.

Papilaja mengemukakan, larangan berjualan di lokasi transaksi itu terpaksa dikeluarkan karena situasi keamanan tidak memungkinkan. Di situ anak-anak sekolah, mahasiswa, angkutan kota, dan penjual berbaur sehingga aparat susah mendeteksi kemungkinan terjadinya gangguan. Menurut Papilaja, para pedagang sudah sepakat untuk pindah di ruas Jalan Latuhmahina yang diapit dua pos keamanan. "Mereka sudah membuat komitmen untuk pindah," ujarnya.

***

KONFLIK sosial di wilayah kepulauan Maluku hampir berlangsung selama tiga tahun tanpa ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Di tengah ketidakpastian dan tarik-menarik kepentingan para pemuka agama dan tokoh-tokoh politik dalam konflik Maluku, digerakkan oleh kebutuhan hidup sehari-hari dan tanpa dikomando, masyarakat Muslim dan Kristen Maluku mulai berinteraksi.

Pasar-pasar kaget tempat transaksi antar-pedagang ataupun antara pedangang dan penjual dari komunitas Muslim dan Kristen muncul di sejumlah tempat. Sebutlah di ruas jalan Pantai Mardika di depan Hotel Amans, ruas jalan di Nania, atau di kompleks TNI AL di Halong. Di tempat-tempat itulah kepercayaan antara kedua komunitas mulai tumbuh dan rekonsiliasi berjalan secara alamiah. Tanpa pemrakarsa, tanpa proyek.

Di lokasi pekuburan negeri di Nania, tiap hari sekitar 30 pengemudi truk dari komunitas Muslim dan Kristen membaur tanpa ada masalah. Mereka tiap hari menanti truk dan angkutan barang di daerah perbatasan antara wilayah permukiman Muslim dan Kristen, mengganti posisi pengemudi ketika memasuki wilayah komunitas lain. Sopir yang diganti boleh saja tetap ikut dalam truk asal pengemudi diganti. Lokasi transaksi antara pengemudi angkutan dan minyak itu terletak di ujung desa Nania yang porak-poranda dan ditinggalkan sebagian besar penduduknya.

"Sendirian sing bisa. Mungkin kalau nekad tidak apa-apa tapi ada risiko," kata Agus Patti, pengemudi truk asal Saparua.

"Beta sudah empat kali bolak-balik," kata Iskandar, 23 tahun, bujang asal Wayami. Tarif sekali jalan sekitar Rp 50.000.

Lokasi transaksi Nania juga dipergunakan untuk jual-beli minyak.

Di depan Hotel Amans tiap pagi puluhan pedagang sayuran menggelar barang dagangannya sampai tengah hari. Bahkan kadang-kadang mereka beroperasi sampai sore hari. Sebagian besar sayur-mayur dipasok dari wilayah Muslim. Di lokasi itu para pedagang sayur dari wilayah Kristen mengambil barang dagangannya untuk dijual kembali di wilayah Kristen. "Di sini harganya jauh lebih murah. Satu kilo chili di sini Rp 23.000. Di tempat kami satu kilo bisa mencapai Rp 45.000. Seikat sayur di sini Rp 4.000, di tempat kami Rp 5.000," kata Ny Oliva saat menemui seorang rekannya dari komunitas Muslim.

Tumbuhnya tempat-tempat transaksi membuka harapan baru bagi masyarakat Ambon yang sampai saat ini masih menjadi titik panas dalam konflik di kepulauan Maluku. Tempat-tempat transaksi itu hanya menempati sepotong ruas jalan, dengan radius sekitar 300 sampai 500 meter, tetapi sangat berarti untuk menghubungkan komunitas Ambon yang terbelah. Lokasi-lokasi netral yang bisa diakses oleh Muslim dan Kristen di Ambon amat terbatas.

Sebutlah kompleks kantor gubernur, wali kota Ambon, perpustakaan wilayah, kompleks PGSD di Pohon Puleh, kompleks TNI AL di Halong, dan Wayame. Selebihnya adalah wilayah yang tertutup untuk komunitas lain.

"Kami tidak akan melarang. Sebaliknya kami juga tidak akan menyuruh. Kami serahkan sepenuhnya kepada kemauan masing-masing supaya terjadi hubungan antara kedua komunitas menyangkut kepentingan hidup mereka," kata Uztad Ali Fauzi, Ketua Umum Badan Immarat Muslim Maluku (BIMM).

***

PASAR transaksi muncul bersamaan dengan peredaan ketegangan yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir. Insiden demi insiden masih saja berlangsung dan tidak jarang membawa korban jiwa. Akan tetapi, masyarakat Ambon mulai jenuh dengan kekerasan yang terjadi terus-menerus sehingga pancingan-pancingan itu tidak mampu menggerakkan masyarakat untuk turun di arena pertempuran.

Sabtu, 13 Agustus lalu terjadi tembakan dan ledakan bom beruntun di Gonzalo, Batu Merah, dan sejumlah tempat di Kota Ambon sejak jam 10.00 sampai jam 03.00. Beberapa hari sebelumnya ada orang melempar bom di halaman Gereja Maranatha. Provokasi demi provokasi itu tidak direspons oleh masyarakat.

"Masyarakat tidak tertarik lagi untuk perang. Mereka sudah tahu dan sadar. Tetapi, ada orang yang tidak mau konflik ini berakhir dan mereka memperoleh keuntungan dari situ," kata Ny Leila, pengusaha dan aktivis perempuan di Ambon.

Sepanjang tahun ini pertikaian dalam skala besar tidak terjadi lagi dan makin membaik dalam dua bulan terakhir. Sejak saat itulah ekonomi Ambon mulai berdenyut kembali. Pasar-pasar kaget bermunculan. Sepanjang Jalan Pattimura bermunculan warung-warang makan dan kios-kios yang menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari. Di depan pasar swalayan Citra berubah menjadi pasar kaget yang menyediakan bahan sayur-mayur dan bahan kebutuhan pokok. Bermunculan pula kafe-kafe karaoke dan rumah kopi di kaki lima yang beroperasi dari sore hingga lewat tengah malam.

Aliando Warsito, 31 tahun, memulai usahanya berjualan sejumlah buku teka-teki silang, beberapa lembar koran dan tiga eksemplar tabloid Bola, di atas sebuah bangku di Jalan Pattimura. Ia kemudian menyewa kios yang dibangun oleh Yayasan Rinamakana dan mulai menjual berbagai kebutuhan sehari-hari. Semula ia bekerja di sebuah toko sepeda yang habis terbakar pada saat kerusuhan. Kini kiosnya penuh dengan berbagai barang, dari sandal jepit, susu kaleng, obat nyamuk, telur, dan barang-barang kelontong lainnya.

"Kalau ramai bisa dapat Rp 200.000," kata Aliando.

"Dulu aman hanya suam-suam kuku. Sebentar aman, sebentar rusuh. Sekarang sudah cukup aman. Mudah-mudahan aman terus," tuturnya.

Kegairahan yang sama terjadi di wilayah masyarakat Muslim. Pasar kaget muncul di belakang Ambon Plaza, sejumlah pedagang mulai menjajakan barangnya dengan menempati ruko-ruko yang masih berdiri di antara bangunan yang rusak dan hangus terbakar di sepanjang Jalan AY Patti dan Sam Ratulangi.

Di sela-sela bangunan Pasar Mardika dan Batumerah, berjajar para penjual di sepanjang lorong jalan. Sedangkan sisa-sisa gedung yang rusak di sana-sini dipergunakan untuk tinggal para pengungsi. Pedagang kaki lima bermunculan di sepanjang Jalan Babullah. Di lantai dua Ambon Plaza berderet kafe-kafe karaoke yang beroperasi siang hingga sore hari.

Sun Tuanaya, 25 tahun, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Darrussalam bahkan memberanikan diri membuka kafe karaokenya di Jalan AY Patti sampai tengah malam. Dengan modal sekitar Rp 25 juta ia menyulap ruko yang rusak akibat kerusuhan menjadi tempat hiburan. Tidak ada minuman berakohol dan tidak ada pekerja perempuan di kafe itu. "Orang butuh tempat refreshing. Dulu di Ambon banyak tempat-tempat hiburan. Sekarang mau ke mana? Ini satu-satunya jalan," kata Tuanaya.

***

BEGITU mendarat di Bandara Pattimura, setiap orang harus segera mengidentifikasi apakah ia seorang Muslim atau Kristen. Jalur untuk mencapai Kota Ambon berbeda antara jalur Muslim dan Kristen. Seorang Muslim mesti menempuh jalur dengan menggunakan mobil menuju pangkalan perahu cepat (speed boat) di Laha, melanjutkan perjalanan dengan menggunakan perahu cepat dengan tarif sewa Rp 130.000 sampai Rp 150.000, baru menyambung dengan angkutan darat di pangkalan perahu cepat di Pasar Mardika.

Seorang Kristen harus menempuh perjalanan darat dari Laha ke pangkalan perahu cepat di Tawiri, sambung dengan perjalanan laut menuju pangkalan perahu cepat di Tapal Kuda, dan kembali menggunakan jalan darat ke pusat Kota Ambon. Jalan darat hanya mungkin ditempuh dengan pengawalan aparat militer atau polisi.

Ruas-ruas jalan yang memisahkan antara wilayah Muslim dan Kristen dihalangi dengan barikade-barikade jalan dan dijaga oleh aparat militer dan Brimob yang bersiaga penuh siang-malam. Satu-satunya hotel di Ambon yang bisa diakses oleh Muslim atau Kristen hanyalah Hotel Amans. Depan hotel ini merupakan sepotong jalan aspal sepanjang tidak lebih dari 500 meter yang bisa dilewati oleh kedua komunitas.

Sebagian ruko-ruko di sepanjang jalan ini masih kosong. Sebagian rusak, sebagian hangus terbakar. Menjelang petang hari hampir-hampir tidak ada kehidupan ataupun mobil lalu lalang

"Hotel ini beberapa kali terkepung dan hampir dibakar. Selama kerusuhan, banyak orang mati di sepanjang jalan ini," kata Narto, karyawan hotel asal Solo.

Di kiri kanan jalan-jalan Kota Ambon masih terlihat gedung-gedung yang runtuh dan hangus terbakar. Namun, keadaan jauh lebih baik dibanding setahun lalu. Tidak ada lagi onggokan sampah bergunung-gunung, bau busuk menyengat telah menghilang, dan jalan-jalan relatif bersih. Sekat-sekat itu membuat masyarakat Ambon hanya dapat leluasa bergerak dalam radius tidak lebih dari empat kilometer persegi.

Tempat-tempat wisata pantai yang tersebar di Ambon, seperti Pantai Latuhalat, Manuala, dan Liang nyaris mati dan sepi pengunjung. Di kompleks Universitas Pattimura tidak ada gedung yang utuh. Sebagian hangus terbakar, sebagian lagi atap dan kayu-kayunya dijarah. Desa Rumah Tiga dan Poka hancur berantakan dan ditinggalkan penghuninya, kecuali sebagian kecil bangunan di tepi pangkalan perahu cepat. Demikian pula Desa Nania dan Negeri Lama.

***

AKSI-AKSI kekerasan dan pertikaian antara dua komunitas di Ambon kini jauh mereda namun jalan menuju rekonsiliasi dan pemulihan keadaan masih sangat kabur. Status darurat sipil memungkinkan pemerintah menghadirkan ribuan aparat militer di Maluku tetapi bila status darurat sipil dicabut dan pasukan ditarik, tak satu pun bisa menjamin kekerasan tidak muncul kembali.

Wakil Ketua Badan Pekerja Harian Gereja Protestan Maluku (GPM) Pdt L Lohy, STh mengakui bahwa frekuensi kekerasan di Ambon makin hari makin menurun. Namun, itu bukan berarti Ambon sudah aman. "Masih sangat tergantung situasi politik lokal, nasional, maupun internasional," kata Lohy. Ia mengatakan bahwa status darurat sipil masih dibutuhkan di Ambon namun yang penting bagaimana darurat sipil fungsional untuk menyelesaikan konflik di wilayah itu.

Pernyataan senada dikemukakan Uztad Ali Fauzi. "Tidak ada darurat sipil berarti semua aparat ditarik. Seandainya darurat sipil dicabut, bagaimana bila konflik terjadi. Senjata masih cukup banyak ada di tangan masyarakat," ujarnya.

Banyak langkah yang masih harus dilakukan untuk menyelesaikan konflik Maluku, dari masalah pengungsi, penanganan trauma psikis pada anak-anak dan remaja, pengaturan kembali kepemilikan dan permukiman, investigasi dan penegakan hukum, sampai rekonstruksi sosial ekonomi masyarakat dalam jangka panjang. Apalagi di kalangan tokoh-tokoh agama dan elite politik lokal masih belum ada ganjalan untuk mengakhiri konflik itu.

Tokoh-tokoh Muslim menghendaki agar pihak Kristen minta maaf atas peristiwa 19 Januari 1999 dan menuduh keterkaitan antara gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dengan masyarakat Kristen Maluku.

Raja Seith Mahfud Nukulele, tokoh masyarakat Muslim di Ambon, juga menyatakan hal yang sama. "Dari berbagai pertemuan, masyarakat Muslim selalu mengajukan tuntutan agar pihak Kristen minta maaf atas terjadinya peristiwa 19 Januari 1999. Kalau itu dilakukan, konflik dengan sendirinya akan berakhir," kata Mahfud.

Tuntutan permintaan maaf itu dikesampingkan oleh tokoh-tokoh Kristen. Gereja Protestan Maluku (GPM) juga menyatakan tidak ada keterkaitan dengan RMS ataupun Front Kedaulatan Maluku (FKM). Isu itu, kata Lohi, hanya dipergunakan sebagai komoditas politik untuk mendiskreditkan komunitas Kristen.

Terlepas dari sikap yang bertolak-belakang isu tersebut, baik tokoh-tokoh Muslim maupun Kristen memandang perlu pembentukan tim investigasi dan yang bersalah dihukum.

Marthen L Djali, staf ahli Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku, mengemukakan soal penegakan hukum merupakan perkara yang sulit di Maluku. Ada keterbatasan baik dari segi jumlah maupun keberanian para hakim. Di Ambon, hanya ada dua hakim yang sulit membuat keputusan. Baik untuk mereka yang seagama, apalagi yang beragama lain. "Penegakan hukum belum dikedepankan di sini karena kalau itu dilakukan, semua orang Maluku mesti masuk penjara. Setelah fase pertama penghentian kekerasan tercapai, kita akan mulai membangun dialog untuk melakukan musyawarah," kata Marthen.

Upaya-upaya dialog dan gerakan untuk penyelesaian konflik Maluku bukannya belum dimulai sama sekali. Beberapa kali pemerintah lokal dan pusat memprakarsai dialog antar-tokoh untuk mencari jalan penyelesaian namun gagal. Muncul pula gerakan rekonsiliasi konflik yang diprakarsai oleh masyarakat, seperti Keluarga Besar Masyarakat Maluku Tenggara (KBMMT), gerakan Baku Bae, Forum Komunikasi Nusanive-Sirimau (Forkonusi), dan sejumlah organisasi kecil lainnya. KBMMT telah berhasil mempersatukan kembali masyarakat di Maluku Tenggara dengan pendekatan adat dan kini mencoba berkiprah di Ambon. Baku Bae bergerak dengan merajut berbagai kelompok masyarakat dari tokoh-tokoh organinsasi non-pemerintah, adat, agama, pemuda, para kapitan perang, dan intelektual.

Mereka berencana mengadakan musyawarah rakyat Maluku tahun depan. Namun, gerakan itu masih sangat kecil, belum mendapatkan legitimasi dari tokoh-tokoh penentu dari dua komunitas, dan masih perlu bekerja ekstra keras untuk mencapai tujuan mereka.

Kapan konflik di Ambon akan selesai tidak ada orang yang bisa menjawab. Enam ratus senjata standar masih berada di tangan masyarakat, belum termasuk senjata selundupan, bom, dan senapan rakitan. Saling tuduh dan saling tuntut di kalangan tokoh-tokoh dari kedua komunitas masih kuat, meski suara mereka makin terdengar sumbang di tengah penderitaan masyarakat.

"Kita harus belajar sabar. Penyelesaian konflik Maluku masih panjang," kata Marthen Djali. (P Bambang Wisudo)

© C o p y r i g h t   1 9 9 8   Harian Kompas


Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to alifuru67@egroups.com