Jakarta Serukan Penghentian Pemboman Afganistan
Selama Ramadan, Bagaimana dengan Perang di Aceh?
Hilversum, Senin 12 November 2001 08:15 WIB
Intro: Kalau pemerintah Indonesia berseru supaya
pemboman terhadap Afganistan dihentikan selama bulan
Ramadan, maka ini menarik. Masalahnya apakah
pemberhentian kekerasan militer juga akan berlangsung di
Aceh selama Ramadan? Tak pelak lagi kuman di Afganistan
nampak besar di mata Jakarta, sementara Jakarta seolah
buta terhadap gajah di Aceh. Jadi, bisa diramalkan kalau
kunjungan Wakil Presiden Hamzah Haz ke Serambi Mekkah
ini tidak membawa hasil yang diharapkan. Koresponden
Syahrir mengirim laporan berikut dari Jakarta
Pemerintah mengakui kondisi politik, keamanan, dan
kepastian hukum, belum dapat menjadi stimulus positif
bagi kinerja pembangunan ekonomi dan bergeraknya dunia
usaha. Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono
mengemukakannya hari ini di Departemen Keuangan
Jakarta. Menyinggung mengenai situasi Aceh yang masih
memanas dan dikhawatirkan akan menghambat datangnya
investor asing ke Indonesia, Susilo menyatakan bahwa
investor yang cerdas dan berpandangan jauh ke depan akan
dapat melihat bahwa masalah Aceh merupakan salah satu
dari banyak persoalan yang tengah ditangani pemerintah
secara serius. Baginya, ini adalah perjalanan keluar dari
krisis. Yang penting ada kebijakan yang berkelanjutan dari
pemerintah dan tampaknya investor yang berpegalaman
luas pasti mengetahui bahwa Indonesia masih berada
dalam proses transisi.
Di Aceh sendiri Wakil Presiden Hamzah Haz mengajak
masyarakat Aceh yang berada di hutan atau gunung karena
berselisih pendapat, agar segera kembali serta melupakan
peristiwa masa lalu guna menuju Aceh baru yang lebih
makmur. Hamzah berharap jangan karena terbakar sebuah
rumah, lalu mengungkit-ungkit kesalahan seseorang, sebab
cara itu tidak akan menyelesaikan masalah. Demikian
Hamzah dalam pertemuan dengan tokoh masyarakat,
ulama dan pemuda Aceh, di Banda Aceh, kemarin.
Wapres pergi ke Aceh untuk mengajak mengajak
masyarakat disana melakukan ishlah untuk meraih kembali
masa depan yang lebih sejahtera. Tetapi Hamzah Haz
kembali ke Jakarta dengan tangan kosong. Sama halnya
seperti Megawati, September lalu. Wapres yang seharusnya
mengurus masalah kesejahteraan ternyata tidak membawa
apa-apa untuk menyenangkan rakyat Aceh khususnya bagi
mereka yang berada di hutan. Ia hanya bisa mengajak
rakyat Aceh melupakan peristiwa masa lalu dan duduk
dalam satu meja untuk memikirkan masa depan Aceh yang
lebih sejahtera.
Anehnya kalau pemerintah pusat meminta Amerika Serikat
menghentikan penyerangannya ke Afganistan, Hamzah
tidak meminta TNI dan Polri menghentikan peperangan di
Aceh selama bulan Ramadan, ujar seorang pengamat di
Banda Aceh. Memang setelah 12 tahun Jakarta melakukan
pendekatan militer untuk penyelesaian Aceh, bukan
membuat GAM tambah surut tapi malah tambah
menjadi-jadi. Dari dulu di Aceh dirasakan adanya
ketidakadilan terutama di bidang kesejahteraan ekonomi.
Para putra daerah tidak dapat menikmati kekayaan Aceh
dengan optimal.
Wapres Hamzah Haz diberitakan kemarin berada di Mesjid
Daud Beureuh, Pidie dan hari ini berada kembali di Banda
Aceh. Namun rakyat Aceh umumnya tidak peduli dan tidak
tertarik dengan kedatangannya. Yang hadir pada
acara-acara yang dihadiri Hamzah Haz hanyalah para
pejabat, aparat, pegawai negeri serta keluarga mereka.
Ulama-ulama yang bertemu dengan Hamzah pun umumnya
dari golongan ulama pro-Jakarta misalnya dari MUI yang
dahulu pun mendukung pemerintahan Golkar Soeharto.
Kontak senjata pun masih sering terjadi seperti yang
terjadi di pusat kota Lhokseumauwe kemarin. Tembak
menembak itu terjadi di Simpang Empat. Lalu berlanjut
pula di sekitar Geudong yang juga dekat dengan pusat
kota. Kedatangan Hamzah Haz hanya meningkatkan
aktivitas aparat di jalan-jalan. Mereka kemarin berada di
rumah-rumah rakyat di Pidie. Dan hari ini pun mereka
terlihat dalam jumlah yang banyak sekali di jalan-jalan
serta perumahan rakyat di Banda Aceh. Pemandangan
seperti ini tidak terlihat pada zaman Belanda atau zaman
Soekarno jika ada pejabat tinggi datang dari Batavia atau
Jakarta dahulu. Hamzah Haz memang tidak memabawa
sesuatu yang baru ke Aceh.
Sikap masyarakat yang tidak mau peduli dengan
kedatangannya juga diakui seorang ulama. Ia mengakui
dewasa ini ada dua dua macam ulama di Aceh. Ada yang
jadi corong pemerintah dan ada yang dekat dengan basis
rakyat. Seorang pekerja lapangan dari Aceh Utara
berceritera bagaimana kesulitan rakyat saat ini. Masyarakat
saat ini dibatasi membeli beras. Setiap keluarga hanya
boleh membeli tiga kilo beras untuk kebutuhan satu
minggu. Pihak Aparat takut makanan dibeli untuk GAM.
Desa Pantai Bahagia misalnya yang dekat dengan wilayah
EXXON Mobil Oil disana masyarakat yang mau memberi
kebutuhan sehari-hari diperiksa barang-barangnya oleh
aparat. Kalau lebih dari 3 kilo maka berasnya disita. Ia
heran bahwa Koran koran di Banda Aceh tidak mau
memberitakannya. Yang juga menjengkelkan ialah bahwa
lelaki yang mau membeli membeli bahan kebutuhan
sehari-hari dilarang. Hanya perempuan yang diperkenankan
berbelanja. Menurut Najamudin, petugas lapangan tersebut
seharusnya justru pemerintah dan aparat harus
membangun kembali rakyat Aceh. Dan ini tidak dilakukan
oleh Megawati maupun Hamzah Haz. Tanpa kepercayaan,
maka apapun yang dilakukan pemerintah terhadap Aceh
tidak ada gunanya. Salah satu cara untuk menarik
kepercayaan rakyat adalah mengadili militer yang
bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM semasa Orde
Baru dan sesudahnya.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|