|
|
Hubungan RI - AS Setelah Bush Menolak Bertemu Megawati Oleh: Derek Manangka Menteri Luar Negeri AS Colin Powell sebagaimana dikutip rekannya dari Indonesia, Menlu Hasan Wirayuda mengucapkan terima kasih kepada Indonesia atas pengamanan yang diberikan pada Kedubes AS di Jakarta berikut aset dan warganya. Ucapan terima kasih itu disampaikan Powel ketika ia bertemu dengan rekannya Menlu Hasan Wirayuda di Shanghai, RRC, menjelang dilangsungkannya KTT APEC. Kedua Menlu itu pekan lalu berada di Shanghai mendampingi ”boss”-nya masing-masing sebagai Pemimpin Ekonomi anggota APEC. Penjelasan Menlu Wirayuda sangat menarik, karena mencuat dikala hubungan Jakarta – Washington berada pada titik kulminasi yang kurang baik. Terutama setelah Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di Mesjid Istiqlal dalam rangka peringatan Isra Miraj, yang ”mengeritik” AS karena melakukan serangan militer ke Afghanistan. Bila sepotong pernyataan itu dijadikan ukuran, bahayanya masyarakat akan memperoleh gambaran yang keliru. Sebab tersirat, seakan-akan Menlu AS mengucapkan terima kasih, tanpa menyinggung ketidak puasan AS atas pernyataan yang inkonsisten dari Presiden RI. Jelas Wirayuda sedang berusaha memberikan gambaran bahwa hubungan RI- AS tidak terganggu kendati ada pernyataan yang cukup merugikan AS yang dikeluarkan di Jakarta. Bukan untuk meremehkan keterangan Menlu Wirayuda, tetapi ucapan terima kasih Powel hanya akan berarti banyak atau bisa ditafsirkan positif, apabila setelah pertemuan tersebut, Presiden George Bush bersedia mengadakan pertemuan khusus dengan Presiden Megawati. Bagaimanapun, tanpa pertemuan Bush-Mega di Shanghai – kendati alasannya karena kedua pemimpin itu padat dengan agendanya masing-masing, pernyataan Powel, harus dilihat dari kaca mata sopan santun diplomasi. Powel sedang berbasi-basi. Apalagi keputusan untuk memberikan pengamanan kepada Kedubes asing termasuk warganya, sudah merupakan sebuah keharusan dan kewajiban. Diminta atau tidak, pemerintah RI harus tetap memberikan jaminan keamanan. Lain halnya bila kedua negara tidak mempunyai hubungan diplomatik. Oleh karena itu sekalipun Menlu RI dengan senang hati memberikan kabar baik itu, tetapi di balik itu sebenarnya ada sesuatu yang tidak begitu menarik. Dan sudah semestinya Indonesia memperhatikan secara sungguh-sungguh apa yang disampaikan melalui body language oleh pihak AS. Sudah saatnya anggota kabinet seperti menteri luar negeri memberikan informasi yang mencerdaskan bagi masyarkat Indonesia. Penjelasan seperti itu dapat berdampak lain bagi para pengambil keputusan di dalam negeri, apakah di bidang politik ataupun bisnis dan ekonomi. Informasi yang beredar sebelum pertemuan Wirayuda – Powel santer menyebutkan Indonesia sangat antusias untuk memanfaatkan forum KTT APEC bagi pertemuan khusus Bush-Mega. Soalnya, setelah pidato Mega di mesjid Istiqlal, sambutan positif dari sejumlah kalangan di dalam negeri, terutama tokoh-tokoh Islam, cukup positif. Tetapi tidak demikian dengan Washington yang justru ”tersinggung” dan marah. Tampaknya Indonesia memahaminya, oleh karena itu penjelasan lewat pertemuan khusus presiden kedua negara perlu dilakukan. Hal itu juga didorong dengan banyaknya pertanyaan dari masyarakat korps diplomatik Jakarta. Seorang diplomat senior Indonesia pun misalnya mengaku terkejut dengan pernyataan Mega. ”Saya bisa mengerti kalau Bush menolak bertemu dengan Mega”, kata mantan Duta Besar yang tak mau disebut namanya itu. Banyak kalangan menyadari bahwa pernyataan Mega di Jakarta, tidak lepas dari tekanan-tekanan dalam negeri antara lain melalui demo-demo anti AS termasuk usaha melakukan pembersihan atau sweeping bagi warga AS di Indonesia. Perang Dingin Rasa tersinggung dan marah AS, tentu saja merisaukan Indonesia khususnya pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Karena pemerintahan Mega, tidak bisa seenaknya meremehkan Amerika seperti yang pernah dilakukan mendiang ayahnya, Presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Di era globalisasi dan teknologi informasi saat ini, Indonesia tidak bisa berkata seperti di zaman Perang Dingin : ”Go to hell with your aid…” Kalimat-kalimat penting yang harus keluar dari mulut para pemimpin, harus promotif dan positive thinking. Sebab bila ketersinggungan dan kebingungan AS memuncak atau betul-betul bersikap, katakanlah melarang para pengusahanya menanam modal di Indonesia – gara-gara pernyataan yang inkonsisten, atau bahkan memberlakukan semacam embargo kepada Indonesia, maka kebijaksanaan ini jelas akan sangat memukul Indonesia. Pemerintahan Mega otomatis akan melemah, tidak kredibel di mata negara-negara industri. Investor dari negara-negara maju tidak akan tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Saat ini saja, tanpa pelarangan, sanksi atau pemberlakuan embargo AS terhadap Indonesia, pemerintahan Mega sudah cukup sulit untuk melaksanakan program pemulihan ekonomi. Keputusan merekrut Dorojatun Kuntjoro-Jakti sebagai Menko Ekonomi dalam Kabinet Gotong Royong, dilakukan secara sadar oleh Presiden Mega. Sebagai mantan Dubes RI untuk AS, Dorojatun diharapkan akan menjadi sosok yang disukai oleh pemerintah dan kalangan investor AS. Artinya Mega ingin memperlihatkan kepada dunia dan AS khususnya, bahwa pemerintahannya menempatkan AS dalam posisi yang cukup penting. Terorisme KTT APEC telah usai, Bush sudah kembali ke Gedung Putih dan Mega sudah berkantor kembali di Istana Merdeka. Bush kembali ke Washington dengan kemenangan mutlak. Sebab para diplomat Amerika yang mempersiapkan deklarasi akhir KTT APEC berhasil memasukkan pernyataan tentang kutukan terhadap Peristiwa 11 September sekaligus bertekad memerangi terorisme. Bagaimana dengan Megawati? Tujuannya ke APEC memang tidak untuk memenangkan sebuah pertarungan diplomasi. Boleh jadi lebih sekedar memperkenalkan diri sebagai pemimpin baru RI. Oleh karena itu tidaklah terlalu penting mempermasalahkan bagaimana performance Pemimpin Ekonomi Indonesia ini di forum APEC. Yang menjadi kepedulian kita ke depan, berhubung APEC tidak akan ada maknanya tanpa kesungguhan dan dukungan AS, maka sudah semestinya diplomasi RI tetap memberikan prioritas tinggi kepada AS. Terlepas kelakuan-kelakuan dunia AS yang banyak membuat jengkel banyak orang, hubungan dengan Amerika, tidak bisa disejajarkan dengan Australia, negara yang sering mengaku-ngaku sebagai ”wakilnya” AS di Asia. Dalam konteks diplomasi RI dengan AS itu pulalah, sudah sepatutnya Jakarta segera menetapkan Duta Besarnya untuk Washington yang sudah cukup lama lowong. Washington sudah memanggil Robert Gelbard, salah satu diplomat AS yang paling kontroversial dan menghebohkan. Washington sudah mengumumkan penggantinya Ralph Boyce. Yang belum bereaksi, justru Jakarta. Dorojatun Kuntjoro-Jakti sudah lama kembali ke Jakarta. Tetapi Indonesia masih terus berputar-putar pada kesulitan mencari diplomat yang tepat untuk mewakili kepentingan Indonesia di AS. Akibatnya terjadi kepincangan antara Jakarta dan Washington. Bila saja Indonesia memiliki diplomat atau Dubes yang handal di Washington, peristiwa di Shanghai, di mana Bush tak punya keinginan bertemu Megu, mungkin tak akan terjadi. Setidak-tidaknya sebelum Wirayuda melobi Powel di Shanghai, Dubes RI di Washington sudah melakukan operasi diplomasi. Begitu Mega terpilih sebagai Presiden Agustus lalu, Bush yang baru 8 bulan berada di Gedung Putih langsung mengundang Mega ke Washington. Undangan itu menandakan, bahwa AS menyadari pentingnya posisi Indonesia. Oleh sebab itu cukup aneh dan mengejutkan, kalau dalam waktu kurang dari dua bulan, Bush tidak lagi melihat pentingnya Indonesia sehingga ia tidak merasa perlu bertemu dengan Presiden Megawati. Penolakan Bush untuk bertemu dengan Mega memang bukan sebuah tragedi nasional. Tetapi penolakan ini perlu dipahami dalam konteks bahwa Indonesia masih sangat memerlukan bantuan AS. Penulis adalah anggota Sidang Redaksi Sinar Harapan
|