From: "Siti Suwarni" <sitisuwarni@hotmail.com>
To: apakabar@radix.net
Subject: Pengalaman pertama masuk Gereja di AS
Date: Wed, 07 Nov 2001 01:04:49 +0700
Source: Apakabar
Pengalaman pertama masuk Gereja di AS
Dalam pertemuan mahasiswa international saya berkenalan dengan "friends of
international students", elderly couple yang ramah itu akhirnya menjadi teman baik
saya, saya sering diundang makan malam di rumahnya. Suatu hari saya tanya kalau
dia mau pergi ke farmer's market, sekalian saya bisa ikut. Eh ternyata besoknya itu
hari minggu dan mereka sudah merencanakan untuk ke gereja. Mungkin sehabis
gereja mereka mau ke farmer’s market yang buka sampai jam 12 siang. Semula
saya ragu-ragu, tapi kemudian saya pikir pengalaman menarik pergi ke gereja AS,
hanya untuk melihat-lihat saja. Apalagi pasangan yang sudah pensiun ini tidak
mengajak apalagi membicarakan kekristenan dengan saya, berarti mereka tidak mau
memasukkan saya ke gereja/Kristen.
Akhirnya saya putuskan untuk ikut ke Gereja. Ini rasanya aneh, karena saya ingat
waktu kecil dulu, entah dicekoki oleh apa, saya dan teman-teman sepermainan saya
kurang suka dengan orang yang pergi ke gereja. Rasanya mereka itu lain, sedikit
aneh, dan selalu teringat bahwa mereka itu makan babi, jadi walaupun kelihatan
bersih-bersih rasanya ada pikiran bahwa mereka itu haram jadi kalau bergaul dengan
mereka sedikit najis. Tentu saja perasaan itu hilang setelah ke kota dan punya
beberapa teman Kristen/Katolik.
Gereja itu namanya X Presbyterian Church, dan X itu sebetulnya nama jalan tempat
gereja itu berdiri. Gerejanya cukup megah, besar, dan kuno, terbuat dari batu asli dan
bisa menampung 700 orang, tambah 100 orang di Balkoni. Ketika saya masuk saya
disalami beberapa orang yang mengucapkan selamat dating dan membagikan brosur,
semula saya tidak ingin menerima brosur, teringat perasaan alergi saya pada
kelompok Kristen seperti Jehova Witness yang membagi-bagikan pamflet. Tapi saya
lihat brosur itu isinya ternyata daftar acara dan pengumuman gereja itu.
Saya satu-satunya orang Indonesia di dalam gereja. Ada beberapa orang hitam dan
saya lihat orang Korea. Karena musim panas, saya kira tidak apa-apa saya pakai jin
dan Tshirt, eh ternyata sebagian besar mereka berpakaian sedikit formal. Memang
ada beberapa tennagers yang hanya pakai celana pendek dan Tshirt (yang kalau di
mesjid kampung saya sudah dikucilkan). Yang dating waktu itu Cuma sekitar 300 dan
banyak sekali tempat duduk yang tak tersisi. Bukan hanya itu kebanyakan yang
dating adalah manula.
Yang paling mengesankan adalah bahwa pendetanya perempuan, dan semua orang
di situ panggil dia Peggy. Peggy pendeta muda, dan saya masih tidak bisa
membayangkan bagaimana perempuan bisa berkotbah dan mengatur ini dan itu dan
banyak yang dikotbahi itu adalah laki-laki. Hal seperti tidak mungkin terjadi di desa
saya, yang kotbahnya selalu oleh laki-laki, ustadznya juga hanya laki-laki. Wanita
hanya jadi pendengar. Yang menarik lagi adalah setelah kebaktian selesai ada acara
ramah tamah selama 20 menit. Karena host family saya tinggal sayapun tinggal. Tapi
saya sudah jaga-jaga, karena waktu itu saya yakin saya akan ditanyai banyak orang
dan kemudian ditanya alamatnya, kemudian pasti akan dikristenkan. Saya kecele.
Ternyata mereka hanya tanya dari mana dan malah tertarik berbicara mengenai
Indonesia dan segala masalahnya. Diantara mereka pernah ke Indonesia dan saya
harus mendengarkan pengalaman mereka. Sama sekali tidak ada yang mau bertemu
saya atau mengkotbahi saya.
Yang menarik lagi setelah kebaktian ada acara "sermon after thought", disukusi
mengenai kotbah pendeta bersama pendeta. Di sini pendeta boleh dikritik,
dipertanyakan, dan semua anggota jemaat bisa usul apa saja. Inilah yang saya yakin
tidak ada di desa saya. Pengkotbah seperti malaikat, tidak ada yang ngecek, tidak
ada yang ngritik atau meluruskan kalau salah. Critanya mengenai sorga dan neraka
serta siapa yang bisa masuk kesana sudah pakai analogi yang jauh dari Koran, serta
dibumbui oleh cerita-cerita serem membuat jemaah ketakutan. Kalau ada sermon
after thought di mesjid desa saya, mereka pasti kuatir bahwa saya adalah perempuan
pertama yang akan menanyakan isi kotbah mereka.
Yang juga menarik, dalam doa mereka diminta untuk memberitahu apa saja yang
bisa didoakan. Dan beberapa anggota jemaat saling memberitahu apa-apa yang perlu
didoakan. Yang paling menarik adalah selain doa untuk mereka yang menjadi korban
WTC, juga didoakan mengenai Afganistan, perlidungan pada sipil Afgan.
Akhirnya ada beberapa pengumuman dan yang diumumkan dibuletin gereja
diumumkan lagi secara lisan salah satunya adalah adalh tokoh Islam dari mesjid di
kota ini yang akan dating ke Gereja utnuk berbicara mengenai Islam. Wah, yang ini
betul-betul membuat saya heran. Masak Gereja memperbolehkan bahkan
mengundang tokok religious Islam untuk dating dan berbicara mengenai Islam. Apa
mungkin hal ini bisa terjadi di Indonesia. Yang nggak mungkin lagi adalah pendeta
Kristen berbicara mengenai kekristenan di Mesjid itu, atau di Indonesia. Sama sekali
tidak mungkin.
Pikir saya: apakah nggak terbalik. Bukannya para ustadz yang perlu belajar dari
acara di gereja seperti "sermon after thought" untuk mengurangi kediktaktoran
mereka. Mentang-mentang saya tidak hafal ayat-ayat Koran, jadi saya nggak boleh
ngritik kotbahnya para ustadz yang sering menebar benih kebencian. Pengalaman ke
Gereja ini tidak membuat saya tertarik pada agama Kristen, tapi membuka mata saya
lebih lebar lagi, betapa piciknya banyak pemimpin Islam (tidak semua), baik
mengenai Kristen, konsep kafir, maupun mengenai hidup beragama yang lebih
manusiawi, termasuk lebih menghargai posisi wanita.
Siti
|