The Cross
Under the Cross

Listen to the News
English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2001 -
1364283024
& 1367286044


Ambon - Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

TEMPO, 11 Oktober 2001

Saleh Latuconsina
"Kuncinya, Semua Pihak Harus Saling Memaafkan"

Situasi keamanan di Maluku di permukaan terlihat sudah mulai pulih, meski belum kembali normal seperti sebelum terjadi konflik antargolongan di wilayah itu. Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari pemberlakukan darurat sipil di daerah itu sejak 27 Juni 2000. Banyak kalangan yang tak setuju pemberlakukan status itu, namun sedikit banyak hal tersebut telah membawa perubahan positif.

Kritik atas status darurat sipil di Maluku ini tak lepas dari kekhawatiran munculnya represi dari aparat keamanan kepada masyarakat di sana. Hal itu ditakutkan memperkeruh konflik yang sudah berlangsung menahun.

Setelah lebih dari setahun diberlakukan darurat sipil, wartawan Tempo News Room, Y. Tomi Aryanto, pada tanggal 20-25 September 2001 melakukan liputan ke provinsi kepulauan di Indonesia Timur itu. Dari liputannya ke sejumlah tempat di daerah itu, diperoleh kesimpulan memang ada perubahan kondisi masyarakat. Sesekali memang masih terdengar adanya peristiwa kekerasan, namun jumlahnya sudah sangat rendah. Masyarakat mulai terlihat tak gampang terpengaruh oleh isu-isu kekeraan. Secara umum kehidupan masyarakat juga sudah membaik. Di Ambon, dan beberapa desa kecil di sekitarnya, sejumlah pasar tradisional sudah tumbuh kembali. Di sini terjadi interaksi antar-pedagang yang berasal dari dua kelompok masyarakat yang selama ini terlibat konflik.

Untuk mengetahui perkembangan terakhir di Maluku itu, Tempo mewawancarai Gubernur sekaligus Penguasa Darurat Sipil Maluku, Saleh Latuconsina. Wawancara berlangsung di ruang kerja gubernur di Ambon, Sabtu (22/9) siang, satu jam sebelum Saleh berangkat menuju Jakarta untuk sebuah keperluan dinas. Berikut petikannya.


Situasi Maluku tampaknya relatif sudah mulai aman. Bisakah segera normal?

Ini kan bukan menyelesaikan konflik vertikal. Ini konflik horisontal dan banyak warga yang menjadi korban. Jadi kita harus pelan-pelan. Ekses dari pertikaian yang lalu itu juga banyak. Misalnya dengan masalah angkutan, perdagangan, dan lain-lain. Jadi antara masyarakat sendiri saling memanfaatkan situasi konflik ini untuk kepentingannya sendiri. Ada semacam (maaf, red) bajingan-lah begitu, yang terus jadi preman atau yang lain. Banyak yang begitu. Nah, untuk menyelesaikan yang seperti ini kan tidak bisa seperti di Jakarta, misalnya dengan main tembak begitu.

Cara Anda mengatasi pihak yang punya kepentingan seperti itu?

Ya terus kita lakukan. Misalnya dengan mendorong pelaku lain yang memang punya keikhlasan dan tulus untuk ikut menyelesaikan masalah. Kepada mereka ini justru akan kami bantu dengan memberikan fasilitas.

Saat ini pemerintahan nasional telah berganti, adakah perbedaan signifikan kondisi di Maluku setelah pemerintahan dipimpin Megawati?

Setelah ini ada, mulai ada. Ini kan baru beberapa bulan, dan kami sudah dipanggil ke Jakarta untuk membicarakan beberapa hal dan dalam waktu dekat bersama anggota Dewan di sini akan bersama-sama ke Jakarta untuk menghadap lagi. Beliau (Presiden Megawati) sendiri akan memantau terus, juga akan ada tim yang datang ke sini untuk bisa membicarakan situasi yang berkembang di sini. Sehingga keputusan-keputusannya nanti bisa lebih operasional.

Upaya perdamaian melalui pendekatan budaya seperti Pela Gandong dan Baku Bae, apakah menurut Anda masih eksis?

Eksis, itu jelas. Kami tidak akan merekayasanya. Tapi, bila ada orang yang merekayasa upaya itu untuk kepentingan-kepentingan masyarakat, lalu menggunakan rakyat sebagai ‘kuda tunggangannya’, maka akan kami fasilitasi. Ada, misalnya tempat di dekat sini, saya tak usahlah sebutkan kampungnya. Karena, di sini kalau kita sebutkan tempatnya dan umumkan, malah bisa menjadi kontra-produktif. Nah, ada kampung-kampung Kristen yang saat ini panen cengkeh dan yang melakukan pemanenan itu adalah kampung pela-nya yang merupakan kampung Muslim. Jadi pendekatan budaya itu masih ada.

Jadi transaksi antar-komunitas sudah mulai jalan?

Sudah. Selama ini pun, kalau saya lihat, meskipun ada ramai-ramai, transaksi tetap jalan. Waktu panas-panasnya dulu, memang saat orang mengadakan transaksi terjadi macam-macam, ada ancaman dan ada yang tewas. Sekarang Anda bisa lihat di depan RST (Rumah Sakit Tentara Ambon, red) itu, jalanan sampai macet.

Apakah itu bisa diartikan kehidupan ekonomi mulai membaik?

Oh iya. Anda bisa tanyakan lebih jauh dengan Kepala Bank Indonesia. Ada peningkatan yang cukup signifikan, misalnya dari tabungan masyarakat, kemudian perputaran uang. Apalagi cengkeh saat ini (harganya) juga bagus. Nah, untuk cengkeh ini saya minta perhatian seluruh aparat. Soalnya kalau tidak kita awasi dengan baik, ini bisa menjadi lahan pemerasan baru. Di samping itu, ada juga kebun yang ditinggalkan pemiliknya.

Apakah membaiknya interaksi antar-komunitas itu juga sudah merembet ke kalangan generasi mudanya? Di lingkungan pendidikan mungkin?

Itu sudah jalan juga. Di beberapa sekolah sudah bisa menjalankannya dengan murid yang berbaur antara Muslim dan Kristen. Misalnya di Sekolah Keperawatan, lalu SMU 45 di dekat RST.

Dengan kondisi itu, apakah sudah dimungkinkan pengembalian pengungsi ke tempat asal?

Untuk mengambalikan pengungsi, kami sudah lakukan secara diam-diam. Seluruh bupati dan seluruh camat diberikan tugas itu. Dan, dengan seluruh jajarannya dan sesuai kondisi setempat melakukan tugas itu. Tapi ada juga pengungsi yang kembali secara sendiri-sendiri maupun diorganisasi lembaga tertentu. Ada pengungsi di Maluku Tenggara yang dulunya dari Maluku Tengah, di Pulau Air, dikembalikan oleh pemerintah.

Bagaimana jaminan keamanannya?

Nah, masalah jaminan ini, kalau kita mengembalikan pengungsi itu artinya mereka sendiri bisa menjamin keselamatannya. Jadi bukan jaminan keamanan dengan cara kita pasang pasukan demikian banyak dan baru kita kembalikan orang. Kalau begitu kan artinya keadaan belum aman. Tapi, orang memang mestinya sudah bisa kembali, lalu mereka minta pada kita misalnya satu regu pasukan untuk mengawal.

Bagaimana dengan properti mereka yang tertinggal, adakah jaminan untuk bisa memiliki kembali?

Selama ini saya tugaskan seluruh bupati, dengan kemampuan yang ada, untuk bisa menjamin properti mereka. Tapi Anda kan tahu, kemampuan untuk bisa menjamin itu sulit, karena berkaitan dengan situasi keamanan dan lain-lain.

Dengan perkembangan itu, apakah menurut Anda status darurat sipil masih diperlukan?

Sampai saat ini, dengan adanya status darurat sipil, banyak kewenangan yang ada di dalam ketentuan undang-undang itu dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menangani masalah di daerah ini.

Kabarnya ada gagasan untuk mengurangi wilayah darurat sipil itu?

Di Provinsi Maluku ada beberapa wilayah yang ditinjau dari segi keamanannya tidak lagi memerlukan penanganan khusus seperti, misalnya, pengerahan pasukan yang besar. Itu terjadi misalnya di Kabupaten Maluku Tenggara. Di sana saat ini sudah tidak lagi ada pasukan yang ditempatkan. Yang ada di sana tinggal pasukan organik yang memang bertugas di wilayah itu.

Tapi kabar yang beredar justru aparat keamanan ini yang melakukan pelanggaran atau terlibat konflik?

Begini, kalau kami itu istilahnya melakukan konsolidasi internal. Yang lebih banyak terjadi itu adalah aparat organik yang melakukan (pelanggaran) itu.

Kenapa itu bisa terjadi? Betulkah karena mereka stres?

Ya memang. Jadi ada batas tugas bagi pasukan sampai enam bulan, tapi itu tergantung pada situasi. Nah, sekarang ada (pasukan) yang bertugas sembilan bulan sampai satu tahun. Dalam waktu itu, memang mungkin terjadi seperti apa yang Anda sebutkan itu. Tapi dengan membaiknya situasi sekarang, hal itu juga bisa berkurang.

Apakah keberadaan aparat keamanan ini juga yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di wilayah Maluku?

Nah, mengenai penegakan hukum inilah yang jadi persoalan. Masalahnya, di sini baru bisa menangani, terus terang saja, kasus-kasus ringan saja. Baru itu yang bisa diangkat. Itu pun tidak berarti lah. Padahal, berkaitan upaya menenangkan situasi untuk menjadi lebih baik lagi kita perlu ada penegakan hukum yang lebih berarti. Salah satu kendalanya adalah tenaga aparat yang kurang, seperti tenaga hakim, jaksa, dan sebagainya. Di Maluku Tengah saat ini hakimnya kosong. Oleh karena itu, saat ini ada masalah untuk menyidangkan kasus penangkapan terhadap para pelaku aktifitas yang dilarang.

Ada upaya untuk minta tambahan hakim?

Sudah. Sudah berkali-kali kami minta dan sudah ada jawaban juga untuk menempatkan beberapa tenaga di sini. Tapi, ya mana, orangnya juga tidak datang-datang. Yang jadi masalah ini di Maluku Tengah yang kosong sama sekali. Sehingga kami minta adanya pengalihan untuk segera mengisinya. Tapi itu kan perlu minta ke Jakarta, tidak bisa begitu saja.

Apakah juga diusulkan peningkatan anggaran untuk Maluku?

Sampai saat ini anggaran ya tetap begitu, meskipun kami juga dibantu dengan adanya dana-dana kontinjensi dari APBN. Sekarang ini kami dapat Rp 68 miliar untuk satu tahun. Sedangkan dana dekonsentrasi juga turun, angkanya saya agak lupa, tapi kurang dari seratus miliar setahun. Memang berkaitan dengan pendanaan ini, situasi yang membaik akan meningkatkan tuntutan-tuntutan. Misalnya tuntutan untuk kembalinya pengungsi ke daerah asal. Dan untuk itu mereka minta pemerintah memberikan bantuan untuk membangun rumah. Itu sudah mulai tampak. Sedangkan sampai tahun depan, kita tinggal memiliki anggaran untuk sekitar seribu rumah saja. Dengan rincian per rumah adalah Rp 10-13 juta. Selama ini kita juga sudah bantu dan dirikan ratusan rumah. Nah, sekarang kalau ada orang mau kembali dan minta, lalu kita katakan tidak ada uang, orang bisa marah. Jadi memang kita berupaya agar dana itu selalu tersedia, sehingga orang juga ada harapan, meskipun jumlahnya tidak bisa maksimal.

Bagaimana dengan bantuan dari luar negeri?

Ada bantuan-bantuan yang kami terima, misalnya dari PBB melalui UNDP. Tapi kebanyakan itu disalurkan melalui LSM-LSM asing yang bekerja di sini. Misalnya untuk makanan, sanitasi, kesehatan, obat-obatan dan lainnya. Dari Jepang, kita dapat bantuan untuk operasional pengangkutan.

Tapi bisakah sebelum dana itu digunakan, dialokasikan untuk yang lain?

Ya kami tahan. Karena pasti itu akan digunakan. Sebab kalau kita realisasikan sekarang, nanti justru tidak sesuai tujuan. Itu pasti, hanya waktunya belum. Juga dana bantuan pendidikan yang sedang berjalan untuk membangun sekolah-sekolah.

Anda menyebut adanya penyaluran dana melalui LSM, padahal di sini ada banyak LSM, kabarnya di Ambon saja ada sekitar 300. Adakah usaha untuk mengaturnya, misalnya berkaitan pemanfaatan dan audit keuangannya?

Yang jelas begini, satu sisi yang saya lihat, di sini ini kami (pemerintah, red) tidak bisa melakukan langkah-langkah tertentu pada situasi tertentu. Katakanlah pada saat kondisi keamanannya rawan, jadi waktu itu perhatian LSM itu penting. Tapi ketika situasinya mulai membaik seperti saat ini, kami akan benahi lagi satu-satu. Pembenahan terhadap adanya kemungkinan overlapping penanganan terhadap bantuan kemanusiaan kepada masyarakat. Bantuan yang tumpang tindih ini juga bisa menjadi potensi konflik yang lain. Misalnya, kalau satu daerah ini dilayani lebih, sementara yang lainnya kurang, ini kan bisa memicu konflik baru lagi. Nah, saya ingin, bukan mengkoordinasi, tapi kegiatan LSM-LSM yang ada di sini itu dilaporkan. Sehingga, kami dapat lebih menata pembagiannya.

Tapi dengan ketidakjelasan koordinasi itu menjadikan laporan menjadi kacau. Contohnya, bagaimana mungkin jumlah pengungsi dilaporkan meningkat tajam pada saat konflik mulai berhenti?

Nah, itu memang ada masalah. Mengenai laporan pengungsi, saya memberi penugasan-penugasan khusus pada jajaran saya sampai pemerintah yang paling bawah. Peningkatan jumlah pengungsi itu terjadi setelah adanya pembagian-pembagian bantuan dari Departemen Sosial. Jadi, dari jumlah 240-an ribu pengungsi meningkat menjadi 330 ribuan pengungsi. Bantuan itu termasuk uang lauk-pauk. Nah, sekarang saya minta ada penelitian lagi dan didapat angka yang berbeda dari penelitian Bappeda dan Badan Statistik di sini. Khusus untuk Kota Ambon dan Maluku Tengah, yang dulu dilaporkan Satkorlak (Satuan Koordinasi Pelaksanaan untuk Penanggulangan Bencana –red.) 244 ribu sekian, ternyata angka yang ditemukan hanya 157 ribu sekian. Atas dasar indikasi ini, saya minta walikota untuk melakukan langkah-langkah terobosan yang lebih jitu. Kemarin ada ide dari walikota untuk seluruh orang dibuat kartu penduduk (KTP) baru.

Soal jumlah pengungsi itu, apakah ada kemungkinan manipulasi?

Bisa saja ada manipulasi, karena ini menyangkut uang dan sebagainya. Tapi, bisa juga ini terjadi karena situasi. Situasi yang bisa saja menjadikan laporannya tidak akurat.

Terakhir, optimiskah Anda situasi di Maluku segera membaik?

Kita harus optimis. Yang jelas begini, situasi kita ini kan satu situasi, kalau istilahnya kesehatan adalah luka di dalam. Akibat konflik ini menimbulkan dendam, yang bagi manusia, situasi itu tidak mudah. Kalau di luar gampang. Dan untuk itu saya selalu sampaikan pada masyarakat, mari sesuai dengan keyakinan masing-masing kita bisa saling memaafkan. Kuncinya ada di situ. Saat ini, walaupun tampak aman, tapi bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi sekarang ini konflik sudah sangat menurun dan kita lakukan (proses perdamaian) secara alamiah. Jadi dia berjalan seperti keinginan masyarakat, kami hanya memfasilitasi kegiatan-kegiatan itu. Sekarang ini situasi sudah cukup baik, tidak ada lagi penyerangan-penyerangan massal dari kampung satu dengan yang lain. *****


© tempointeractive.com

Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to alifuru67@egroups.com