Deutsche Welle, 19.09.2006
Pemukiman Kembali Pengungsi Maluku Tak Kunjung Beres
Masih belum tuntasnya upaya penanganan pengungsi korban konflik sosial di Maluku
dikhawatirkan menimbulkan konflik kembali. Dari sekitar 65 ribu pengungsi, masih
sekitar 3.000 orang belum memperoleh haknya.
Suatu siang di Ambon dengan suasananya yang khas. Matahari cukup benderang,
namun gerimis jatuh, bagaikan panah-panah kristal yang saling bersilangan mewarnai
langit. Mariam duduk di reruntuhan gedung bekas toko mebel yang terbakar. Gedung
yang tampak kumuh itu menjadi tempat bernaung bagi Mariam dan keluarganya,
sejak berakhirnya konflik berdarah di Maluku.
Belum Mendapat Bantuan
Mariam adalah satu dari sekitar 3.000 pengungsi kerusuhan Maluku, yang hingga kini
belum juga memperoleh bantuan. Ia hanya bisa gigit jari mengetahui, bahwa
kebanyakan pengungsi lainnya di kawasan yang sama sudah menerima bantuan,
meskipun jumlahnya banyak yang disunat.
Mariam "Bisa 12 juta atau 10 juta. Tapi itu belum dipotong lagi, entah dipotong untuk
orang pengurus lah untuk siapa lah, katong juga tidak tahu. Yang sekarang belum
dapat sampai sekarang. Alasannya uang tersebut belum cair. Yah masih nunggu.
(pertanyaan reporter :Jadi untuk makan sehari-hari bagaimana?) Yah..cari-cari
sedikit-sedikit di pasar. Jualan-jualan."
Bertahan Hidup
Tanpa dana bantuan, Mariam dan keluarganya tetap harus bertahan hidup. Dan mie
instan, selain menjadi makanan sehari-hari, juga menjadi pemenuhan kebutuhan
nafkah perempuan berusia 50 tahun itu.
Dengan warung mie itu Mariam beserta keluarganya berusaha membangun lembaran
hidup yang baru, meninggalkan lembaran lama yang begitu mengerikan. Yang tak
kuasa lagi ia tengok, karena membawanya kepada kenangan buruk. Masa lalu yang
berdarah. Maluku yang berdarah. Konflik rumit, yang memaksanya mengungsi dari
Ahuru ke Ambon.
Kriteria Penerima Bantuan
Senasib dengan Mariam adalah Kathy. Mahasiswi berusia 24 tahun ini yang tinggal di
Paso, setengah jam jalan kaki dari reruntuhan gedung tempat Mariam berlindung.
Dalam kerusuhan dulu, Kathy kehilangan kedua orang tuanya. Sementara rumahnya
rusak berat. Tetapi ia dinyatakan tidak berhak menerima ganti rugi, karena rumahnya
tak tergolong hancur total. Padahal tetap tak bisa dihuni. Terpaksa ia menumpang
hidup di rumah kerabatnya. Hingga kini.
Kathy "Kalau rumah saya kan di perbatasan, karena rumah yang di sebelah bawah
jalan kan terbakar semua. Bantuan dari pemerintah untuk korban kerusuhan
dipilah-pilah untuk rumah rusak dan perbatasan. Namun rumah saya sampai
sekarang kerusakannya belum diganti."
Waktu Habis, Penanganan Pengungsi Belum Selesai
Kini Maluku sudah relatif aman. Penduduk kedua belah pihak sudah tak punya tenaga
lagi untuk berkonflik. Dan mereka menyadari, buah dari amukan dan kebencian
hanyalah kehancuran dan kematian. Dijalankanlah berbagai program rekonsiliasi dan
pemukiman kembali. Bantuan dikucurkan.
Dan akhirnya, batas waktu penanganan pengungsi pun lewat sudah. Namun ternyata,
sebagaimana Mariam dan Kathy, masih ada 3.000 an pengungsi yang belum juga
bisa pindah dan membangun rumah baru. Ketua Posko Penanganan Pengungsi
Maluku, Rachman Soumena berdalih, selain terbatasnya dana, kerumitan
penanganan pengungsi disebabkan juga oleh sikap masyarakat desa yang enggan
menerima mereka kembali.
Pola Penanganan selalu Berubah
Sementara itu Ella Laupatti aktivis LSM Arika Mahina, lebih menyoroti
berubah-ubahnya pola penanganan sebagai musabab rumitnya penanganan
pengungsi.
Laupatti "Gubernur pertama dengan dana awal disediakan misal 15 juta. Periode
berikutnya lagi pola penangangannya berubah. Dulu tuh per kepala keluarga
kemudian per jiwa, lalu per tempat rumah. Dan lucunya kalau ditanya data base
berapa data pengungsi, boleh tanya deh belum ada datanya tentang itu. Karena itu
polanya berubah-ubah. Mereka harus buat ini-itu. Dulukan hanya bikin check list
setelah itu selesai. Sekarang harus ada lagi kartu kuning-kartu merah, mereka harus
bikin denah tempat rumah."
Andil Masyarakat
Kehancuran yang diakibatkan kerusuhan agama di maluku memang dahsyat tak
terkira. Baik secara sosial, maupun secara material. Sehingga Ketua Sinode Maluku
John Ruhulessin memahami, jika pemerintah kewalahan. Penanganan pengungsi
diperkirakannya baru bisa dituntaskan tahun 2007 mendatang.
Ruhulessin "Sekarang proses sedang berlangsung. Pemerintah berharap 2007 sudah
selesai. Kita berdoa saja ya. Tapi menurut hemat saya penanganan pengungsi tidak
hanya dari pemerintah tapi dari kesadaran masyarakat sendiri. Pengungsi itu
dimana-mana sulit, dimana-mana rumit."
Ruhulessin sepakat, aturan penanganan pengungsi banyak yang tidak jelas dan
akibatnya sering menjadi masalah..
Ruhulessin "Saya selalu mengatakan kadang-kadang saya merasa jengkel. Tapi kita
harus melihat apa sebetulnya masalahnya. Ada orang yang tidak pengungsi ngaku
pengungsi. Ada orang yang sudah dapat bantuan BBR (bahan bangunan rumah) juga
tidak mau pulang. Siapa yang harus disalahkan? Betul kita butuh pemerintah
bersikap tegas dan kita butuh keadilan dari pemerintah. Itu betul. Tapi masyarakat
juga perlu kita tanamkan kesadaran untuk menolong proses bersama."
Sebab Lain
Selain berbagai kerumitan itu, pemulihan Ambon juga diperparah oleh berbagai
dugaan korupsi dana bantuan. Sejumlah pejabat diduga terlibat. Untuk itu, baru-baru
ini tim dari Markas Besar Kepolisian Negara Indonesia bertemu Wakil Gubernur
Maluku Memet Latuconsina, di Ambon.
Tim Mabes Polri akan mengaudit realisasi penyaluran dana bantuan bahan bangunan
BBR, uang pemulangan dan ongkos tukang untuk membangun rumah. Tim tersebut
beranggotakan lima orang yang juga melibatkan staf Badan Pemeriksaan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP). Hampir senilai 13,5 miliar Rupiah dana bantuan
pemerintah pusat untuk anggaran pengungsi pada tahun anggaran 2004 - 2005 yang
diduga raib diselewengkan.
Ella Laupatti dari LSM Yayasan Arika Mahina bercerita dari banyaknya kasus dugaan
korupsi, belum satupun pejabat yang berhasil diseret ke meja hijau.
Laupatti "Dari tipe bangunan saja orang bisa melihat berapa sih sebenarnya, kalau 10
juta membuat tembok dengan hanya memakai gombloh, yang naiknya hanya 3
sampai 4 buah gombloh, beta pikir ada korupsi di situlah. Kalau suatu daerah bisa
100 sampai 200 rumah wah banyak. Walaupun kenyatakaannya bisa kita lihat
dengan kasat mata ini sudah terjadi korupsi. Tapi untuk mengambil langkahnya itu
belum ada."
Dikhawatirkan Munculnya Konflik Baru
Masalahnya, rumitnya persoalan bukan cuma berdampak pada lambatnya
pemukiman dan pembangunan kembali pemukiman penduduk. Yang lebih
dikuatirkan, masalah ini akan memunculkan konflik baru di kawasan seribu pulau itu.
Ella Laupati aktivis Yayasan Arika Mahina menyodorkan solusinya.
Laupatti: "Sebenarnya mekanismenya saja yang harus diubah, agar masyarakat lebih
nyaman waktu melakukan itu. Mekanismenya membangun kembali itu yang jadi
masalahnya. Kalau memang mereka mau bangun rumah, lebih baik diserahkan
kepada yang punya rumah. Mereka mau bikin tipe apa-tipe apa terserah. Tapi kalau
dilemparkan ke kontraktor ada sisi cari keuntungan kan? "
Ella boleh usul. Namun sejauh ini pemerintah Maluku memiliki kebijakan sendiri.
Kendati tampak tidak terlalu efektif. Orang seperti Mariam sang pengungsi penjual
mie instan, masih hidup di reruntuhan gedung, kendati damai sudah menyelimuti
Ambon.
Ayu Purwningsih
© DW 2006 |