Fanie's Room, Sep 23, '06 10:30 AM
Kronologis terjebaknya Tibo cs
Menurut Keterangan Fabianus Tibo dan Dibenarkan oleh Dominggus dan Marinus
Pada pertengahan Mei 2000, kami kedatangan seorang utusan dari Tentena yakni:
Sdr.Janis Simangunsong, yang bersangkutan membawa khabar bahwa Gereja Sta.
Maria Poso akan dibakar dan umatnya akan dibunuh. Sebagai orang tua/wali murid
kami merasa kuatir dan gelisah memikirkan nasib anak-anak panti asuhan, para guru,
suster, pastor dan lainnya. Pada saat itu pula kami mengadakan pertemuan sesama
orang tua/wali murid. Hadir pada pertemuan itu 23 orang. Kami sepakat untuk
secepat mungkin menjemput anak-anak bahkan seluruh penghuni yang berada di
Gereja Sta. Theresia, Desa Moengko Baru, Poso.
Tanggal 21 Mei 2000, kami 17 orang berangkat menuju lokasi Gereja Sta. Theresia.
Dalam perjalanan itu kami singgah di Tentena bertemu dengan Janis Simangunsong
si pembawa berita. Kami tanyakan kembali perihal beritanya, dan sdr Janis
menjawab: "terserah Om Tibo mau pecaya atau tidak, tapi yang pasti berita itu
benar". Sayapun balik menentang Sdr. Janis dengan mengatakan seperti "Bila berita
tersebut hanya issu" kamu harus menerima resikonya, kami akan lapor ke kantor
polisi sebagai provokator. Hari itu kami dan rombongan bermalam di Tentena.
Keesokan harinya pada tanggal 22 Mei 2000 kami dan rombongan berangkat
memakai mobil kijang menuju Gereja St. Theresia Poso. Sekitar jam 3 sore kami tiba
dan langsung menanyakan berita tersebut kepada Pastor serta Suster dan para Guru,
jawab mereka "kami belum tau". Kalau begitu, bagaimana kalau Pastur, Suster, Guru
serta lainnya ikut kami saja sekarang kembali ke Beteleme bersama anak-anak, dan
mereka katakan "tanggung" karena besok hari ujian akan berakhir, bagaimana kalau
habis ujian? Kami semua menyetujui, dan kami bermalam di asrama Gereja karena
baru besok akan kembali ke Beteleme.
Tanggal 23 Mei tahun 2000, sekitar jam 04.00 (jam 4 subuh) kami terbangun oleh
teriakan histeris minta tolong berlari memasuki halaman gereja langsung naik ke
gunung di belakang gereja. Ada yang memanggil nama saya seperti "Om Tibo" tolong
kami, tolong kami. Saya tidak habis pikir kenapa, sebagian massa ada yang
memanggil nama saya.
Saat itu pula saya keluar halaman, tiba-tiba lampu mobil mengena muka saya dan
terdengar teriakan "siapa itu" (maksudnya saya), saya jawab "ini saya Om Tibo".
Polisi-polisi langsung mendekat kepada saya, salah satunya saya kenal yaitu Bapak
Anton. Terjadi perbincangan dengan pars polisi. Mereka mengira kamilah yang
mengadakan penyerangan semalam, tetapi saya jawab kami semua penghuni yang
ada di dalam tidak tau apa-apa, kami mempersilahkan bapak polisi memeriksa ke
dalam.
Sementara berbicara dengan para polisi, masa dari Kelompok Putih sudah mulai
memasuki halaman gereja, bahkan sudah mengelilingi saya di hadapan para polisi.
Sekali lagi saya mencoba menjelaskan bahwa para Suster, Guru yang ikut keluar
asrama mau menjelaskan kepada polisi serta massa dari Kelompok Putih, tetapi
penjelasan tersebut sia-sia, massa sudah mulai emosi, sebagian meneriaki seperti
"Sudah dia, om Tibo" yang melakukan penyerangan dan telah membunuh polisi serta
mantan lurah Kaimanya, bahkan ada yang mau memukul dan sudah mengancam
dengan parang kepada Suster dan Para Guru yang mau menolong menjelaskan
duduk persoalan yang sebenarnya. Saat itu pula saya menyuruh suster dan para guru
untuk masuk ke dalam karena saya berpikir situasi sudah lain. Saya mengenal salah
satu Tokoh Islam yang saat itu ada di TKP bernama Abdul Gafar. Saya sempat
menyapa sebagai seorang sahabat.
Selang, beberapa saat para polisi mau membawa saya ke kantor polisi dengan
alasan perintah langsung Kapolres lewat HT akan tetapi saya tidak mau karena tujuan
kami dan para orang tua/wali termasuk Marinus dan Dominggus yang berada di
asrama Gereja adalah membawa dan menyelamatkan anak-anak Panti Asuhan. Saat
itu pula para polisi mulai meninggalkan saya sendirian di tengah massa Kelompok
Putih. Polisi tidak membubarkan massa saat itu dan selang beberapa lama polisi
tinggalkan saya, mulailah massa menjadi-jadi bahkan dengan beringasnya mereka
merusak bahkan membakar semua asset-asset gereja, bahkan rumah Gereja Katolik
itu sendiri.
Di tengah-tengah amukan massa yang sudah tidak terkendali lagi, saya tidak bisa
berbuat apa-apa dan hanya berdoa supaya saya dan penghuni yang ada di dalam
bisa selamat dan oleh kemurahan Tuhan sajalah saya bisa menerobos di
tengah-tengah massa dan kembali ke dalam asrama, saat itu saya sudah tidak
melihat lagi seluruh penghuni asrama. Rupanya mereka sudah menyelamatkan diri
lewat belakang asrama naik ke gunung, tinggal saya sendirian di dalam asrama, saya
tetap hanya berdoa "Tuhan lindungilah kami". Tiba-tiba saya dikejutkan oleh
seseorang yang memakai sepati lars, berkaos loreng, juga bercelana loreng seperti
seorang Tentara yang mengatakan kepada saya "Om" cepat lari selamatkan diri,
saya jawab terima kasih. Saat itu pula lewat belakang asrama saya menuju gunung
menyelamatkan diri.
Tanpa disangka kami bisa bertemu dan berkumpul di atas gunung. Puji Tuhan.
teman-teman lain menyangka bahwa saya sudah mati, tetapi Tuhan menyelamatkan
saya, berkumpul dengan anak-anak, Pastur, Suster dan Para Guru, kamipun
menengok ke bawah, gumpalan-gumpalan asap tebal sudah menghanguskan rumah
gereja, Asrama tinggal, Aula dan lainnya. Selanjutnya kami mulai berjalan bersama
dengan anak-anak Panti Asuhan berjumlah 85 (delapan puluh lima) orang anak, tidak
terhitung para wali/orangtua, guru, suster, pastur. Akan tetapi Pastur, Suster serta
Sopir Pastur sudah terlebih dahulu berpisah di kebun milik Daeng Hulle.
Saya dan rombongan tetap berjalan walaupun belum sempat makan, kami harus
selamat. Dalam hati saya berpikir bahwa jebakan-jebakan kepada kami sudah
disusun rapi. Rupanya mereka ingin supaya kami terlibat dalam setiap masalah yang
terjadi. Saya yakin Sdr. Janis Simangunsong, bahkan petugas-petugas di Tentena
terlibat langsung dalam skenario penyerangan semalam Mereka sengaja mau
melibatkan kami padahal kasian kami hanya pendatang yang mau mencari kehidupan
buat anak-anak kami. Semakin jauh kami berjalan semakin pula menguras tenaga,
hanya buah-buah dan makanan apa adanya yang kami dapati untuk menguatkan
tubuh kami disertai Doa kepada Tuhan.
Akhirnya kami tiba di Pinggir kali. Sambil melepas lelah kami bertemu dengan
seorang masyarakat yang nama: Henry Mangkawa warga desa Tambaru, saya
katakan tolong kami, karena kami dikejar oleh Kelompok Putih, mereka menuduh
kami yang menyerang di desa Kaimanya semalam bahkan mereka juga mengatakan
bahwa kamilah yang membunuh polisi serta mantan lurah Kaimanya. Akibatnya
Gereja kami St. Theresia Poso dibakar oleh massa kelompok Putih. Tapi syukurlah
anak-anak, serta Pastur, Suster dan Guru dapat diselamatkan. Bapak Herry katakan:
"kami akan menolong bersama seluruh warga Desa Tambaru, akan tetapi kami
menolong dulu rombongan yang lebih dahulu, yang dipimpin oleh Ir. Lateka, itu
orangnya yang lagi duduk di bawah pohon kelapa yang kepalanya diikat dengan
handuk". Rupanya Sdr. Lateka sudah terluka parah dan seorang perawat di desa
Tambaru merawatnya. Setelah pertolongan warga kepada Sdr. Lateka dan
anggotanya selesai, mereka langsung menuju Tentena, karena mobil mereka sudah
datang. Sdr. Lateka selalu memegang Radio (HT) untuk komunikasi. Saya yakin
benar dialah orangnya yang menyerang semalam bersama anggota-anggotanya.
Sesudah rombongan Lateka pergi barulah saya dan rombongan ditolong oleh Bapak
Herry serta seluruh warga desa Tambaru. Saat itu pula seluruh warga, juga Bapak
Herry mengatakan bahwa penyerangan di desa Kaimanya dilakukan oleh Saudara
Lateka beserta pasukannya, terbukti 1 (satu) pucuk pistol milik anggota polisi yang
terbunuh ada di genggaman Sdr. Lateka.
Selanjutnya jam menunjukkan 03.30 wita (subuh) tanggal 24 Mei tahun 2000 kami
meninggalkan desa Tambaru menuju Tentena, sampai di Tentena jam 06.00 wita,
sebelumnya kami mampir di desa Kuku Umbu menurunkan anak-anak Panti Asuhan
yang tinggal di desa Kuku.
Setelah kami tiba di Tentena kami langsung ditahan serta diancam akan dibunuh bila
tidak mengikuti semua petunjuk yang dilakukan oleh Sdr. Paulus Tungkanan.
Rupanya beliau sangat dihormati oleh Kelompok Merah sebagai Panglima atau
Pimpinan Perang yang sangat ditakuti. Kami tidak bisa berbuat apa-apa apalagi kami
hanya sebagai warga pendatang yang tujuannya untuk mencari hidup untuk masa
depan anak-anak kami. Syukur anak-anak Panti Asuhan yang kami bawa dari Posso
diperbolehkan pulang ke rumah beserta para Guru, Suster, Pastur dan lainnya.
Sedangkan kami tetap tinggal di Tentena dengan maksud dan tujuan yang tidak jelas.
Saya dan Marinus juga Dominggus saat itu sudah dipisah-pisahkan di Tentena, oleh
Saudara Paulus Tungkanan sebagai Panglima Perang Kelompok Merah.
Suatu ketika saya ikut pertemuan di desa Kelei, kurang lebih 4 (empat) km dari
Tentena di rumah anaknya Sdr. Herman Parito. Hasil pertemuan tersebut saya
diperintahkan untuk menuju Desa Tagolu, saya sempat bertanya, untuk apa saya
mau kesana? Untuk apa tanya-tanya? Hardik Sdr. Paulus Tungkanan. Terus terang
saya sangat rindu berkumpul dengan keluarga saya, tetapi saya tidak bisa berbuat
apa-apa, nyawa saya dan keluarga saya sangat terancam. Untuk Marinus dan
Dominggus saya sudah tidak tau lagi keberadaannya. Saya mencoba mengikut
Petunjuk Sdr. Paulus Tungkaman apa maunya dia. Sekira jam jam 15.00 wita (jam 3
sore) saya berangkat ke desa Tagolu, saya mampir dulu di desa Sayo, oleh Bapak
Lurah serta masyarakat memberi saya makan bahkan sempat didoakan oleh Ibu
Pendeta Sayo.
Saya berangkat dari Desa Sayo jam 7 malam dan tiba di desa Tagolu sudah malam.
Nanti ketemu Ir. A. Lateka sudah larut malam. Di situ ada Sdr. Erik Rombot, Soni
Rumead yang sibuk bicara via HT. Sdr. Lateka berbicara kepada saya yaitu
menggantikan dia dalam melaksanakan tugas, tetapi saat itu pula saya tidak
menerima tugas tersebut karena tidak ada kejelasan. Saya tetap waspada karena
ternyata saat ke Tagolu hanya semata-mata untuk menggantikan tugas dari Sdr. Ir.
A. Lateka. Saya tau setelah saya menolak tawaran mereka yang bertentangan
dengan hati nurani, gerak gerik saya selalu dimonitor oleh Sdr. Paulus Tungkanan
beserta anak buahnya serta petinggi-tinggi kelompok Merah (kristiani).
Pada tanggal 28 Mei 2000 sekitar jam 07.30 di rumah Sdr. Bate Lateka di Desa
Tagolu, kami kedatangan 5 (lima) orang anggota Polres Posso yang dipimpin oleh
Kapten Mandagi dan 4 (empat) anak buahnya membawa perintah langsung dari
Bapak Kapolres Posso sekaligus memohon bantuan kelompok Merah (Kristiani) yang
ada di Desa Tagolu untuk mengevakuasi seluruh perempuan dan anak-anak yang
berada di KM.9, Komp. Wali Songo dan akan diamankan di Asrama Kompi Kawu,
sedangkan para lelaki tetap ditempat untuk menjaga lokasi tersebut. Bapak-Bapak
Polisi tersebut diterima oleh Saudara Erik Rombot, Bate Lateka, Angke Tungkanan,
serta Ventje Angkouw. Perbincangan tetap berlanjut, saya mohon pamit karena mau
menuju Desa Sayo atas perintah langsung Panglima Perang, Paulus Tungkanan via
telepon yang diterima oleh Sdr. Erik Rombot.
Saya dan kurang lebih 60 (enam puluh) orang berangkat ke Desa Sayo untuk
menjemput 9 orang yang sudah tak berdaya akibat gempuran massa dari kelompok
putih. Sekembalinya saya dan teman-teman dari Desa Sayo, di ujung kampung kami
dihadang oleh sebahagian masyarakat desa Tagolu yang menyampaikan bahwa di
Km.9, komp. Wali Songo sudah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok
Merah (Kristiani) yang dipimpin oleh Sdr. Erik Rombot, Bate Lateka, Angki
Tungkanan, Ventje Angkouw. Saya tidak mengerti mengapa bisa terjadi
penyerangkan di Km.9 (komp. Wali Songo)?
Rupanya perintah langsung Bapak Kapolres untung mengevakuasi massa perempuan
dan anak-anak di km.9 ternyata merupakan suatu rekayasa dan permainan politik
yang rapi, bahkan masyarakat mengatakan bahwa kejadian di km.9 (komp. Wali
Songo) adalah pembuatan Kapten Mandagi dan 4 (empat) anggotanya yang telah
memprovokasi massa kelompok Merah (Kristiani), yang saat penyerangan dipimpin
langsung oleh Sdr. Erik Rombot, Bate Lateka, Angki Tungkanan, dan Ventje
Angkouw, bahkan sebelumnya ada salah satu anggota polisi bernama Peter Pasepe
yang berteriak-teriak sambil menangis yang tujuannya mencari simpati massa
kelompok Merah (Kristiani) katanya "Rumahnya Habis Terbakar di bakar Kelompok
Putih (Islam) di Posso. Mulai saat itu disertai emosi yang meluap-luap terjadi
penyerangan di Km.9 (komp. Wali Songo) mengakibatkan pembunuhan, pembakaran
rumah, di Km.9 (komp. Wali Songo) tidak terelakkan lagi, tetapi ada sebahagian
masyarakat yang beragama Kristiani di Desa Tagolu tidak mau mengikuti
penyerangan tersebut yang saya yakin semata-mata disuluh oleh api provokasi dari
Kapten Mandagi dan 4 (empat) anggotanya. Perintah langsung Bapak Kapolres
kepada Kapten Mandagi, saya bisa artikan yaitu Perintah Penyerangan.
Ada beberapa hal yang bisa saya sampaikan sehubungan dengan peristiwa
penyerangan di Km. 9 (komp. Wali Songo), sebagai berikut :
1. Apa betul Bapak Kapolres Posso (Pa Basaopu) memerintahkan Kapten Mandagi
untuk mengevakuasi seluruh perempuan dan anak-anak di Km.9 (komp. Wali Songo)
serta harus dibawa di asrama Komp. Kawua? Tetapi mengapa bukan di asrama
Polres, karena yang evakuasi tersebut adalah Bapak Kapolres? Atau kenapak pihak
TNI tidak dilibatkan untuk pelaksanaan evakuasi?
2. Mengapa perintah Bapak Kapolres hanya ditujukan kepada Massa Kelompok
Merah (Kristen) sedangkan yang mau dievakuasi adalah kaum perempuan dan
seluruh anak-anak yang beragama Islam?
Saya menduga lanjutan pembicaraan Kapten Mandagi dan 4 (empat) anak buahnya
bersama pimpinan Kelompok Merah yang bisa saya sebut Sdr. Erik Rombot, Angki
Tungkanan, Bate Lateka dan lainnya, setelah saya tinggalkan menuju Desa Sayo,
merupakan strategi penyerangan yang akan dilakukan di km. 9 (komp. Wali Songo).
Perlu saya sampaikan juga bahwa untuk diketahui kehidupan antar umat beragama di
km. 9 (komp. Wali Songo) sebelumnya sangat damai, rukun dan tidak konflik. Akan
tetapi mengapa kehidupan yang damai rukun bisa mengakibatkan kehancuran?
Apalagi mayoritas di km.9 (komp. Wali Songo) adalah warga pendatang. Semua ini
terjadi karena ada kepentingan-kepentingan tertentu baik pribadi maupun
organisasi/kelompok. Begitupun karena api provokasi yang sengaja diciptakan,
orang-orang yang tidak mau bertangung jawab karena tidak suka damai, dan hanya
mau mementingkan diri sendiri.
Saya sangat berharap apa yang saya sampaikan dapat dipertimbangkan, karena
saya yakin jeritan saya ini merupakan jeritan begitu banyak orang-orang yang
tertindas, teraniaya, terancam karena tidak bisa bicara tentang kebenaran dan
semuanya ditimpahkan dan dituduhkan kepada kami.
Sayapun sangat berterima kasih bila penyampaian saya ini boleh menjadi
pertimbangan Bapak guna pengusutan lebih lanjut, dan saya tiap menjadi saksi
apapun resiko yang akan saya terima demi keadilan dan kebenaran!
Sayapun sempat kecewa karena suara hati kami mulai persidangan tingkat
pengadilan negeri, sampai peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, belm
diperhatikan secara hukum, semoga saatnya sekarang kebohongan publik tidak akan
terjadi lagi. Semua yang melanggar hukum harus taat pada hukum dan perundangan
yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Inilah yang dapat saya sampaikan dengan sebenarnya semoga teriakan hati nurani
kami dapat didengar sehingga bisa terungkap kebenaran yang sebenarnya.
Terima kasih.
Palu, April. 2005
Yang menyampaikan, Fabianus Tibo
Dibenarkan oleh Dominggus da Silva, Marinus Riwu
---------
KETERANGAN TAMBAHAN PASCA KERUSUHAN PADA TANGGAL 28 MEI THN
2000 DI - KM. 9 (KOMP. WALISONGO)
Pada akhir Mei tahun 2000 Pasca Kerusuhan di Km.9 (Komp. Walisongo), Bapak
Kapolres Posso dalang di Desa Togolu bersama 1 (satu) truck aparat Brimob Kelapa
Dua Jakarta, berkumpul bersama masyarakat untuk mendengar arahan-arahan Bapak
Kapolres. Kesempatan itulah kami bersama masyarakat menyampaikan usul kalau
bisa aparat dari TENTARA NASIONAL INDONESIA, (TNI) untuk bersama-sama
membantu mengamankan konflik yang belum saja berakhir karena kami melihat
aparat kepolisian belum mampu mengatasi kerusuhan yang ada. Akan tetapi
tanggapan Bapak Kapolres selang beberapa waktu kami mendengar Radio bahwa
Pihak TNI sudah berada di Perbatasan menuju Pondok akan tetapi terhalang oleh
pohon-pohon besar yang rupanya sengaja ditebang oleh masyrakat Pondok setelah
tahu dipimpin oleh Sdr. Charti Arima dan Sdr. Hery Balibi agar pihak TNI memerlukan
waktu untuk sampai di Posso. Kami merasa sangat gembira setelah tau bahwa pihak
TNI dan Mahas..sudah berada di Perbatasan, pengharapan kami, masyarakat sangat
besar karena kami melihat sendiri kinerja aparat kepolisian Posso sangat perlu untuk
tenaga tambahan keamanan, apalagi dari pihak TNI.
Akan tetapi di satu pihak masyarakat sangat senang dan gembira tenaga keamanan
dri ihak TNI akan membantu pihak kepolisian untuk sama-sama menjaga situasi
keamanan agar tetap kondusif, tetapi dipihak lain petinggi-petinggi kelompok Merah,
seperti Lampadely dan Paulus Tungkanan tidak suka pihak TNI berada di wilayah
Posso, makanya merekalah yang memerintahkan Sdr. Charli Arima dan Nery Balibi
untuk mengajak masyrakat Pendolo menebang pohon-pohon besar di perbatasan
untuk menghalangi Pasukan TNI agar supaya lambat masuk kota Posso.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh petinggi-petingginya Kelompok Merah seperti
Paulus Tungkanan dan Lampadelly yang memprovokasi masyarakat supaya
menghalangi pihak TNI masuk ke wilayah Posso, adanya tindakan yang merugikan
masyarakat umumnya, dan mereka rupanya senang bila terjadi kerusuhan di sana.
Demikian keterangan ini saya buat, dengan harapan bisa menjadi pertimbangan guna
pengusutan lebi lanjut AKTOR UTAMA kerusuhan yang selama ini terjadi di Posso
supaya bila dikehendaki sayapun bersedia untuk memberikan keterangan/saksi yang
sebenarnya bersama masyarakat yang saat itu tau persis yang terjadi, tetapi tidak
bisa mengungkapkannya. Semoga keterangna saya ini bisa menjadi acuan untuk
membuka tabir kebenaran yang sebenarnya, dan dengan harapan Bapak-Bapak
sebagai Penegak Hukum dapat dengan bijaksana, dengan berdasar keadilan
sehingga masyarakat mempunyai kepercayaan kembali bahwa di Negeri kita
Republik Indonesia mempunyai Pemimpin-Pemimpin yang adil dan benar serta
Bijaksana.
Terima kasih.
Palu, 2005
Yang membuat,
ttd
Fabianus Tibo
--------
KRONOLOGI PROSES PENANGKAPAN PASCA KERUSUHAN POSSO A. N.
FABIANUS TIBO
Pada Bulan Mei - Juni 2000
Pada pertengahan bulan Juni tahun 2000, 2 (dua) pejabat Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (GKST), yang saya sebut Ibu Lumentut sebagai Penasihat Sinode, dan Ketua
Sinode Bapak Pesik berkunjung ke Desa kami Desa Jamur Djaya Kecamatan Lembo,
saya sebagai Kepala Desa serta Masyarakat menerima kunjungan kedua Pejabat
Sinode tersebut. Adapun maksud kedatangan Kedua Pejabat tersebut untuk meminta
supaya Sdr. Fabianus Tob Cs untuk menyerahkan diri, serta dapat memberikan
keterangan-keterangan yang ada hubungannya dengan permasalahan di Posso
kepada aparat Penegak Hukum (Kepolisian).
Namun bujukan kedua Pejabat Sinode tersebut tidak serta merta saya tanggapi,
harus mempunyai proses. Pihak Desa beranggapan bahwa yang harus memberikan
keterangan-keterangan perihal kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Posso
seharusnya pihak Sinode GKST, karena merekalah yang paling tau akar dari setiap
persoalan-persoalan yang terjadi di Posso bukan Rakyat kami (Fabianus Tibo cs)
yang memberikan keterangan.
Upaya-upaya yang dilakukan pihak sinode sampai 3 (tiga) kali mendatangi Desa kmai
untuk membujuk Sdr. Fabianus Tibo supaya dapat disrahkan kepada pihak
PENEGAK HUKUM (Kepolisian) agar dapat memberikan keterangan-keterangan,
tetapi upaya-upaya tersebut tetap gagal, dan saya sebagai Kepala Desa Jamur Jaya
serta masyarakat umumnya justru mempertanyakan hal-hal sebagai berikut
- Mengapa rakyat kami FABIANUS TIBO Cs, yang menjadi korban? Seakan-akan
merekalah kunci segala-galanya kejadian kerusuhan yang selama ini timbul di
Wilayah Posso, padahal mereka hanya warga pendatang!
Kami menduga justri Pihak SINODE yang paling tau akar permasalahan yang
sebenarnya terjadi, dan harus bertanggung jawab, bukan masyarakat kami yang
dijadikan tumbal pihak-pihak tertentu.
DIMANAKAH KEBENARAN ITU?
- Karena upaya-upaya Pejabat Sinode untuk membujuk Sdr. Fabianus Tibo Cs, tidak
berhasil, maka selang beberapa hari kemudian aparat keamanan TNI yang bergabung
"PASUKAN CINTA DAMAI" mendatangi Desa kami guna menjemput Sdr. Fabianus
Tibo Cs untuk dimintai keterangan. Atas berbagai pertimbangan-pertimbangan saya
sebagai Kepala Desa menyerahkan Saudara Fabianus Tibo, ke POLDA SULTENG di
Palu, akan tetapi Sdr. Marinus Riwu dan Dominggus Da Silva tidak disertakan karena
tidak berada di tempat.
Demikian keterangan kami mengatasnamakan pribadi dan keluarga serta masyarakat
Desa Jamur Jaya Kecamatan Lembo, sebagai bahan pertimbangan Para Penegak
Hukum, tanpa ada unsure paksaan. Terima kasih.
Morowali, 2005
KEPALA DESA JAMUR JAYA
ttd
YULIUS SEBI |